Sabtu malam yang lalu, usai makan malam, kami bertiga keluar rumah menuju ke sebuah "grand surface" milik dan merek asing. Apa boleh buat ... bukan karena tidak cinta produk Indonesia, tapi ini karena kebetulan kami sudah kehabisan buah2an untuk disantap. Selain itu ... ada langganan yang, agak ge'er nih..." selalu menunggu kedatangan kami dan itu ditandai dengan matanya yang berbinar-binar saat melihat kami turun dari mobil. Dia adalah pedagang kue semprong ... Makanan rakyat yang sekarang ini, penggemarnyapun sudah mulai langka. Itulah salah satu sebab 1 bulan sekali, kami sempatkan untuk "mencari-cari" alasan berbelanja ke lokasi tersebut.
Sebetulnya, saya punya juga langganan penjual buah di pasar Pondok Labu. Sayangnya, si tukang buah itu sudah pindah profesi. Anaknya jadi tukang penganan gorengan sedang si bapak, sekarang mengkhususkan diri hanya menjual jambu biji merah. Jadi agak repot juga kalau setiap minggu, hanya menyantap jambu biji merah terus. Kurang variatif jadinya.
Begitulah, seperti yang sudah ditulis pada awal cerita ini, malam itu, kami pergi ke grand surface tersebut untuk membeli buah-buahan. Buah incaran kami biasanya nanas madu yang kecil itu lho .... Rasanya jauh lebih manis daripada nanas madu yang besar. Seratnyapun lebih halus sehingga enak digigit. Selain itu, kami juga mencari buah naga merah. Ini kesukaan suami karena konon katanya "nendang" banget buat membersihkan isi perutnya. Biasanya kami beberapa buah roti karena setelah jam 21.00, ada diskon, selain membeli roti jenis cheese royale yang sedap banget. Roti Cheese Royale ini nggak kena diskon.
Malam itu, kami juga membeli kopi kapal api buat suami. Entah bagaimana seleranya, berbagai jenis dan merek kopi disodorkan, balik-balik selalu kopi kapal api. Padahal ..... sudah berbagai macam kopi dibeli ... bahkan kopi Turki yang langsung beli ditempatnyapun tak disukai. Maka ... terpaksalah dia tak minum kopi, selama kami belum sempat belanja.
Usai membayar sejumlah belanjaan, kasir mengingatkan saya untuk mengambil hak PARKIR GRATIS di counter Penerangan di lantai di bawah tempat kami membayar. Maka saya menuju tempat itu ... Saya pikir, lumayanlah .... toh itu hak, sekaligus mengecek points dari akumulasi pembelanjaan.
Di counter, sudah ada 1 orang yang sedang menyelesaikan permintaan parkir gratis. Kepadanya, petugas memberikan uang sejumlah Rp.6.000,- sebagai pengganti karcis parkir.
Giliran saya, karena sudah beberapa kali memperoleh parkir gratis, maka kepada petugas lelaki saya ajukan bukti pembayaran dan tiket parkir. Biasanya tiket parkir itu digunakan untuk pencatatan dan pemeriksaan nomor polisi kendaraan. Seusai tiket parkir distempel, petugas tersebut menyobek bagian bawah bukti pembayaran dan mengembalikannya berikut tiket parkir. TANPA UANG.
Agak heran, saya tanyakan padanya :
" Karcis ini bisa digunakan untuk pembayaran parkir?"
" Ya bu ....", jawabnya.
" Maksud saya, cukup diperlihatkan saja... tanpa bayar?", ulang saya sekali lagi.
" Ya bu ..."
Walau agak bingung, karena melihat orang sebelum saya mendapat uang tunai, saya ambil juga tiket parkir yang sudah distempel PARKIR GRATIS itu. Masih berbaik sangka ... mungkin uang tunai pecahan Rp.2.000,- nya sudah habis. Jadi, sebagai ganti, cukup membubuhi tanda PARKIR GRATIS, dan nanti.... manajemen parkir yang akan melakukan/mengajukan klaim penggantian parkir tersebut. Toh, saya juga seringkali mendapatkan fasilitas sejenis di beberapa gedung perkantoran di Jakarta. Cukup dibubuhi stempel tanda bebas parkir alias gratis, maka kita bisa keluar tanpa bayar.
Begitulah ..... kami keluar dan dengan pede alias percaya diri, tidak menyiapkan uang parkir. Tapi ...., sungguh kaget ketika petugas gerbang parkir meminta pembayaran.
"Enam ribu rupiah, pak...." katanya kepada suami yang mengemudikan mobil.
"Hah ...., kan sudah ada tanda parkir gratis. Tadi diberi tahu cukup memberikan tiket yang sudah distempel saja". sahutnya
"Tidak pak ...., bapak kan sudah dapat uang pembayaran parkir ... Jadi uang itulah yang harus bapak gunakan untuk pembayaran parkir" sahutnya lagi.
Sambil bersungut-sungut, dikeluarkannya sejumlah uang pembayar parkir tersebut. Sepanjang jalan dia mengomel atas kejadian itu.
"Bikin surat komplen ke manajemennya ...", perintahnya pada saya.
"Tumben ngomel .....", sahut saya.
"Nggak bener tuh ....! Bukan soal besar uangnya, tapi ini soal hak ..... Korupsi dimulai dari yang kecil-kecil, tau nggak?"
"Iya tau .... Cuma ...., nggak biasanya kamu ngomel. Biasanya saya yang ngomel kalau ada urusan seperti ini dan lalu kenyang dinasehati ....!"
"Ini soal prinsip ....."
"Iya ... tapi ngebayang enggak sih ...., berapa sih gaji petugas informasi itu? Kalau dilapori kemudian dipecat ... kan orang kecil juga yang kena...", begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran saya saat itu.
***
Saya, kemudian, cuma menumpahkan kekesalan itu dalam status di FB. Tindak ingin memperpanjang soal kecil itu. Tanpa bermaksud sombong ... insya Allah, kami tidak akan kekurangan dan jatuh miskin hanya karena terpaksa membayar Rp.6.000,-. Tetapi kalau kasus ini kami laporkan kepada manajemen grand surface tersebut, bisa jadi petugas informasi itu akan ditegur atau terkena sanksi. Tetapi membiarkan hal tersebut terjadi, dampaknya akan jauh lebih luas .... Ada bibit penyelewengan wewenang disitu. Bayangkan ... diberi wewenang pengelolaan dana parkir yang mungkin hanya berjumlah 1 juta rupiah per hari saja sudah menjadi godaan perbuatan curang. Apalagi kalau diberi kesempatan yang lebih luas lagi di masa yang akan datang.
Maka ... setelah dipertimbangkan lebih jauh akhirnya tadi pagi, dengan berat hati saya menulis keluhan kepada manajemen grand surface terkait sekaligus mengusulkan agar fasilitas parkir gratis tidak lagi diberikan dalam bentuk tunai. Cukup dengan stempel dengan tulisan PARKIR GRATIS saja.
Tanggapan dari manajemennya, melalui email juga, cukup cepat. Tidak lebih dari 2 jam saja saya sudah mendapat tanggapan. Tapi ... saya tidak ingin memperpanjang masalah dengan memenuhi permintaan mereka untuk memberikan nomor telpon pribadi atau apapun untuk melakukan komunikasi lagi dengan mereka. Case closed.
***
Saya sadar bahwa keluhan yang disampaikan kepada manajemen, mungkin akan berdampak pada petugas terkait. Kepada "orang kecil", yang mungkin gajinya masih di bawah UMR. Apalagi menurut penjelasan dari Section Head customer service, petugas tersebut baru direkrut. Entah dimana salahnya ..... Si petugas lupa SOP pekerjaannya atau kesengajaan untuk melakukan "manipulasi"? Kalau lupa... rasanya tidak mungkin karena konsumen sebelum saya menerima uang parkir.
Sebetulnya .... ada rasa terenyuh menyadari apabila keluhan saya berakibat pada pemutusan hubungan kerja. Tetapi membiarkannya terjadi seperti membiarkan "benih" kecurangan dan perilaku manipulatif berkembang biak ...
Entahlah .... Semua sudah terjadi .... Penyimpangan sekecil apapun memang harus dikurangi, karena dari situlah timbul bibit-bibit penyimpangan yang lebih besar lagi ...
Sebetulnya, saya punya juga langganan penjual buah di pasar Pondok Labu. Sayangnya, si tukang buah itu sudah pindah profesi. Anaknya jadi tukang penganan gorengan sedang si bapak, sekarang mengkhususkan diri hanya menjual jambu biji merah. Jadi agak repot juga kalau setiap minggu, hanya menyantap jambu biji merah terus. Kurang variatif jadinya.
Begitulah, seperti yang sudah ditulis pada awal cerita ini, malam itu, kami pergi ke grand surface tersebut untuk membeli buah-buahan. Buah incaran kami biasanya nanas madu yang kecil itu lho .... Rasanya jauh lebih manis daripada nanas madu yang besar. Seratnyapun lebih halus sehingga enak digigit. Selain itu, kami juga mencari buah naga merah. Ini kesukaan suami karena konon katanya "nendang" banget buat membersihkan isi perutnya. Biasanya kami beberapa buah roti karena setelah jam 21.00, ada diskon, selain membeli roti jenis cheese royale yang sedap banget. Roti Cheese Royale ini nggak kena diskon.
Malam itu, kami juga membeli kopi kapal api buat suami. Entah bagaimana seleranya, berbagai jenis dan merek kopi disodorkan, balik-balik selalu kopi kapal api. Padahal ..... sudah berbagai macam kopi dibeli ... bahkan kopi Turki yang langsung beli ditempatnyapun tak disukai. Maka ... terpaksalah dia tak minum kopi, selama kami belum sempat belanja.
Usai membayar sejumlah belanjaan, kasir mengingatkan saya untuk mengambil hak PARKIR GRATIS di counter Penerangan di lantai di bawah tempat kami membayar. Maka saya menuju tempat itu ... Saya pikir, lumayanlah .... toh itu hak, sekaligus mengecek points dari akumulasi pembelanjaan.
Di counter, sudah ada 1 orang yang sedang menyelesaikan permintaan parkir gratis. Kepadanya, petugas memberikan uang sejumlah Rp.6.000,- sebagai pengganti karcis parkir.
Giliran saya, karena sudah beberapa kali memperoleh parkir gratis, maka kepada petugas lelaki saya ajukan bukti pembayaran dan tiket parkir. Biasanya tiket parkir itu digunakan untuk pencatatan dan pemeriksaan nomor polisi kendaraan. Seusai tiket parkir distempel, petugas tersebut menyobek bagian bawah bukti pembayaran dan mengembalikannya berikut tiket parkir. TANPA UANG.
Agak heran, saya tanyakan padanya :
" Karcis ini bisa digunakan untuk pembayaran parkir?"
" Ya bu ....", jawabnya.
" Maksud saya, cukup diperlihatkan saja... tanpa bayar?", ulang saya sekali lagi.
" Ya bu ..."
Walau agak bingung, karena melihat orang sebelum saya mendapat uang tunai, saya ambil juga tiket parkir yang sudah distempel PARKIR GRATIS itu. Masih berbaik sangka ... mungkin uang tunai pecahan Rp.2.000,- nya sudah habis. Jadi, sebagai ganti, cukup membubuhi tanda PARKIR GRATIS, dan nanti.... manajemen parkir yang akan melakukan/mengajukan klaim penggantian parkir tersebut. Toh, saya juga seringkali mendapatkan fasilitas sejenis di beberapa gedung perkantoran di Jakarta. Cukup dibubuhi stempel tanda bebas parkir alias gratis, maka kita bisa keluar tanpa bayar.
Begitulah ..... kami keluar dan dengan pede alias percaya diri, tidak menyiapkan uang parkir. Tapi ...., sungguh kaget ketika petugas gerbang parkir meminta pembayaran.
"Enam ribu rupiah, pak...." katanya kepada suami yang mengemudikan mobil.
"Hah ...., kan sudah ada tanda parkir gratis. Tadi diberi tahu cukup memberikan tiket yang sudah distempel saja". sahutnya
"Tidak pak ...., bapak kan sudah dapat uang pembayaran parkir ... Jadi uang itulah yang harus bapak gunakan untuk pembayaran parkir" sahutnya lagi.
Sambil bersungut-sungut, dikeluarkannya sejumlah uang pembayar parkir tersebut. Sepanjang jalan dia mengomel atas kejadian itu.
"Bikin surat komplen ke manajemennya ...", perintahnya pada saya.
"Tumben ngomel .....", sahut saya.
"Nggak bener tuh ....! Bukan soal besar uangnya, tapi ini soal hak ..... Korupsi dimulai dari yang kecil-kecil, tau nggak?"
"Iya tau .... Cuma ...., nggak biasanya kamu ngomel. Biasanya saya yang ngomel kalau ada urusan seperti ini dan lalu kenyang dinasehati ....!"
"Ini soal prinsip ....."
"Iya ... tapi ngebayang enggak sih ...., berapa sih gaji petugas informasi itu? Kalau dilapori kemudian dipecat ... kan orang kecil juga yang kena...", begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran saya saat itu.
***
Saya, kemudian, cuma menumpahkan kekesalan itu dalam status di FB. Tindak ingin memperpanjang soal kecil itu. Tanpa bermaksud sombong ... insya Allah, kami tidak akan kekurangan dan jatuh miskin hanya karena terpaksa membayar Rp.6.000,-. Tetapi kalau kasus ini kami laporkan kepada manajemen grand surface tersebut, bisa jadi petugas informasi itu akan ditegur atau terkena sanksi. Tetapi membiarkan hal tersebut terjadi, dampaknya akan jauh lebih luas .... Ada bibit penyelewengan wewenang disitu. Bayangkan ... diberi wewenang pengelolaan dana parkir yang mungkin hanya berjumlah 1 juta rupiah per hari saja sudah menjadi godaan perbuatan curang. Apalagi kalau diberi kesempatan yang lebih luas lagi di masa yang akan datang.
Maka ... setelah dipertimbangkan lebih jauh akhirnya tadi pagi, dengan berat hati saya menulis keluhan kepada manajemen grand surface terkait sekaligus mengusulkan agar fasilitas parkir gratis tidak lagi diberikan dalam bentuk tunai. Cukup dengan stempel dengan tulisan PARKIR GRATIS saja.
Tanggapan dari manajemennya, melalui email juga, cukup cepat. Tidak lebih dari 2 jam saja saya sudah mendapat tanggapan. Tapi ... saya tidak ingin memperpanjang masalah dengan memenuhi permintaan mereka untuk memberikan nomor telpon pribadi atau apapun untuk melakukan komunikasi lagi dengan mereka. Case closed.
***
Saya sadar bahwa keluhan yang disampaikan kepada manajemen, mungkin akan berdampak pada petugas terkait. Kepada "orang kecil", yang mungkin gajinya masih di bawah UMR. Apalagi menurut penjelasan dari Section Head customer service, petugas tersebut baru direkrut. Entah dimana salahnya ..... Si petugas lupa SOP pekerjaannya atau kesengajaan untuk melakukan "manipulasi"? Kalau lupa... rasanya tidak mungkin karena konsumen sebelum saya menerima uang parkir.
Sebetulnya .... ada rasa terenyuh menyadari apabila keluhan saya berakibat pada pemutusan hubungan kerja. Tetapi membiarkannya terjadi seperti membiarkan "benih" kecurangan dan perilaku manipulatif berkembang biak ...
Entahlah .... Semua sudah terjadi .... Penyimpangan sekecil apapun memang harus dikurangi, karena dari situlah timbul bibit-bibit penyimpangan yang lebih besar lagi ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar