Pemerintah, akhirnya mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi (premium) dari Rp.4.500,- per liter menjadi Rp.6.500,- Sudah beberapa bulan ini, harga barang-barang konsumsi rumah tangga bergejolak hebat. Mulai dari harga daging sapi yang kenaikannya gila-gilaan. Dari yang semula hanya sekitar 60 ribu per kilo sekarang di sekitar 100 ribu per kilo. Lalu kenaikan harga bawang putih dan buah impor... Yang ini sih, nggak apalah ... toh konsumennya juga terbatas, dibandingkan dengan kenaikan harga daging yang sama-sama impor. Pasalnya, masyarakat umumnya tidak banyak mengkonsumsi buah, apalagi buah impor. Bawang putih, kalaupun ada kenaikan harga, penggunaannya sedikit.
Ironi ... bayangkan, negara yang dulu dikenal sebagai negara agraris dengan luas lahan/daratan yang sangat luas dan berada di wilayah hutan tropis, harus mengimpor kebutuhan rumah tangga hasil produk pertanian. Padahal .... di tahun 1980an, Indonesia sempat mendapat penghargaan karena swasembada beras.
Belum usai gonjang-ganjing harga daging dan buah impor, muncul isu kenaikan harga BBM yang kemudian selain memicu demonstrasi, tentu saja diikuti kenaikan harga segala kebutuhan rumah tangga. Padahal .... harga BBM (premium) bersubsidi belum lagi naik. Padahal lagi.... sebagian besar alat transportasi hasil bumi lebih banyak menggunakan solar (setahu dan menurut pengamatan saya, maaf kalau salah). Jadi entah bagaimana dan darimana hitung-hitungan kenaikan harga tersebut. Bahasa terangnya.... ada segelintir manusia yang serakah dan memanfaatkan keriuhan isu kenaikan BBM.
Sedih .... karena bulan Ramadhan dan Idul Fitri ... bulan dimana sudah sangat dipastikan harga kebutuhan rumah tangga, sandang, pangan dan segala macam barang konsumsi dipastikan akan naik tinggal dalam hitungan hari saja. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi masyarakat golongan bawah dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jangan-jangan, tingkat kriminalitas akan meningkat drastis termasuk tingkat bunuh diri karena alasan tekanan ekonomi.
Apakah memang ada subsidi dalam penetapan harga BBM dalam negeri? Entahlah .... itu kan tergantung dari sudut pandang masing-masing pihak. Ada yang bilang subsidi itu akal-akalan pemerintah saja atau ... lebih tepatnya pemerintah terjebak atau dijebak dalam tata cara menghitung harga BBM berdasarkan masukan dari konsultannya Bappenas sejak jaman awal-awal pemerintahan Suharto (coba baca Confession of an Economic Hit Man nya Jihn Perkins deh...). Sehingga terbitlah istilah subsidi harga BBM dalam negeri.
Padahal, kalau mengacu pada pasal 33 UUD 45, harga BBM kan cukup dihitung dari biaya produksi + sedikit keuntungan bagi operatornya saja, karena minyak mentah yang nota bene berada di dalam tanah, adalah milik rakyat dan selayaknya digunakan untuk kepentingan dan untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk memperkaya perusahaan operator, apalagi kalau operatornya adalah operator asing.
Subsidi BBM konon ditimbulkan dari disparitas harga jual minyak mentah dunia ditambah dengan biaya kilang & transportasi dengan harga jual dalam negeri yang dianggap murah. Disparitas yang dianggap subsidi inilah yang menyandera rakyat dimana pemerintah lama - kelamaan menganggap rakyat menjadi manja dan melakukan penghamburan energi (bbm). Walaupun ada benarnya, .... penghamburan energi (bbm), salah satunya juga karena kesalahan pemerintah yang tidak cermat menggunakan anggaran, apalagi ada banyak kebocoran. Transportasi massal tidak pernah dikembangkan karena kuatnya tekanan pemodal ATPM alias produsen mobil sehingga penjualan mobil meningkat dan menimbulkan kemacetan dimana-mana.
Maka .... mungkin tidak ada salahnya bila harga BBM dalam negeri dipatok dengan acuan harga pasar saja. Pemikiran ini dengan tujuan agar masyarakat tidak tersandera dan jadi permainan pemerintah/dpr atas apa yg dinamakan SUBSIDI seperti yang sekarang terjadi.
Kalau harga BBM dalam negeri dipatok dengan harga pasar, maka pemerintah tidak punya dalih lagi untuk menghamburkan APBN melalui subsidi/BLSM dll yang ujung2nya kita semua tahulah dimana bocor2nya.
Memang pasti akan ada korban, terutama masyarakat golongan berpenghasilan rendah. Tapi mereka cukup babak belur/hancur sekali aja, walau mungkin habis2an. Sesudah itu, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menaikkan harga bbm dengan dalih mengurangi subsidi. Toh kita sudah pernah hancur2an saat krisis moneter 1997-1998 dimana harga melambung gila-gilaan. Nilai tukar dolar Amerika yang semula bertengger di sekitar Rp.2.200,- saja, melambung hingga kisaran Rp.16.000 - Rp.18.000,-, hingga sekarang nilai tukar tersebut tidak pernah lagi bisa turun di bawah Rp.8.250,-, yaitu nilai terendah saat Megawati naik menggantikan Gus Dur dan dianggap tidak mampu menangkap momentum penurunan harga dolar tersebut untuk memperbaiki kondisi dalam negeri
Apakah PERTAMINA binasa karena menerapkan harga jual BBM yang sama dengan SHELL? Logikanya, kalau Shell untung besar dengan harga jual sekarang (super+super extra), maka Pertamina pasti akan mengalami hal yang sama, apalagi kalau premium tidak lagi dijual lebih murah. Pertamina seharusnya UNTUNG BESAR juga ...... Apalagi sebaran SPBU Pertamina jauh lebih luas dari sebaran SPBU pemain asing. Maka dengan cara itu, maka PERTAMINA akan punya dana yang besar untuk mengeksplorasi/ekspolitasi ladang minyaknya.
Kalau memang biaya produksi Pertamina rendah, ya jual saja BBM itu dengan harga rendah (dengan mengutip keuntungan sepantasnya saja) seperti yang dihitung para pakar itu. Pasti pemain asing (Shell, Total dll) tidak akan kuat bersaing dengan Pertamina dan mereka akan segera hengkang dari Indonesia seperti Petronas. Tapi masalahnya ternyata memang tidak sesederhana itu.
Berapa biaya produksi/pembelian minyak mentah+komisi makelar + transportasi + ongkos kenakalan pejabat negara dll? Tidak ada yang tahu persis kecuali para pejabat terkait! Belum lagi kebocoran sana-sini akibat "permintaan jatah" atau "kebocoran" yang disengaja. Mungkin kita masih ingat bahwa beberapa tahun yang lalu pernah ditemukan pipa minyak mentah dari salah satu ladang Pertamina di Kalimantan menuju pantai, yang keberadaan pipa tersebut ternyata "tidak tercatat" oleh Pertamina/operator manapun.
Memakai ongkos produksi operator asing sebagai acuan biaya produksi juga percuma kok, karena dalam biaya produksi mereka (cost recovery) sarat dengan mark up. Mereka bahkan memasukkan OHC kantor pusat di negaranya ke dalam biaya produksinya.
Masalah yang kita hadapi sekarang ini bukan sekedar harga jual BBM bersubsidi atau non subsidi, tapi lebih luas lagi adalah soal TATA KELOLA PEMERINTAHAN, di seluruh lini. Tidak ada keberpihakan kepada rakyat atau keinginan untuk bahu membahu demi kemajuan bangsa dan negara. Para penyelenggara pemerintahan dari tingkat pusat hingga pada level rendah lebih memikirkan kepentingan sesaat baik bagi pribadi, kelompok dan golongannya dan ini tidak saja para seniornya tetapi juga sudah merasuk ke generasi muda.
Kalaupun ada yang masih idealis, maka jumlahnya sangat tidak mencukupi untuk menggerakkan kesadaran akan masa depan bangsa dan negara ini. Menyedihkan ...? SANGAT .....!!!
Ironi ... bayangkan, negara yang dulu dikenal sebagai negara agraris dengan luas lahan/daratan yang sangat luas dan berada di wilayah hutan tropis, harus mengimpor kebutuhan rumah tangga hasil produk pertanian. Padahal .... di tahun 1980an, Indonesia sempat mendapat penghargaan karena swasembada beras.
Belum usai gonjang-ganjing harga daging dan buah impor, muncul isu kenaikan harga BBM yang kemudian selain memicu demonstrasi, tentu saja diikuti kenaikan harga segala kebutuhan rumah tangga. Padahal .... harga BBM (premium) bersubsidi belum lagi naik. Padahal lagi.... sebagian besar alat transportasi hasil bumi lebih banyak menggunakan solar (setahu dan menurut pengamatan saya, maaf kalau salah). Jadi entah bagaimana dan darimana hitung-hitungan kenaikan harga tersebut. Bahasa terangnya.... ada segelintir manusia yang serakah dan memanfaatkan keriuhan isu kenaikan BBM.
Sedih .... karena bulan Ramadhan dan Idul Fitri ... bulan dimana sudah sangat dipastikan harga kebutuhan rumah tangga, sandang, pangan dan segala macam barang konsumsi dipastikan akan naik tinggal dalam hitungan hari saja. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi masyarakat golongan bawah dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jangan-jangan, tingkat kriminalitas akan meningkat drastis termasuk tingkat bunuh diri karena alasan tekanan ekonomi.
Apakah memang ada subsidi dalam penetapan harga BBM dalam negeri? Entahlah .... itu kan tergantung dari sudut pandang masing-masing pihak. Ada yang bilang subsidi itu akal-akalan pemerintah saja atau ... lebih tepatnya pemerintah terjebak atau dijebak dalam tata cara menghitung harga BBM berdasarkan masukan dari konsultannya Bappenas sejak jaman awal-awal pemerintahan Suharto (coba baca Confession of an Economic Hit Man nya Jihn Perkins deh...). Sehingga terbitlah istilah subsidi harga BBM dalam negeri.
Padahal, kalau mengacu pada pasal 33 UUD 45, harga BBM kan cukup dihitung dari biaya produksi + sedikit keuntungan bagi operatornya saja, karena minyak mentah yang nota bene berada di dalam tanah, adalah milik rakyat dan selayaknya digunakan untuk kepentingan dan untuk kemakmuran rakyat. Bukan untuk memperkaya perusahaan operator, apalagi kalau operatornya adalah operator asing.
Subsidi BBM konon ditimbulkan dari disparitas harga jual minyak mentah dunia ditambah dengan biaya kilang & transportasi dengan harga jual dalam negeri yang dianggap murah. Disparitas yang dianggap subsidi inilah yang menyandera rakyat dimana pemerintah lama - kelamaan menganggap rakyat menjadi manja dan melakukan penghamburan energi (bbm). Walaupun ada benarnya, .... penghamburan energi (bbm), salah satunya juga karena kesalahan pemerintah yang tidak cermat menggunakan anggaran, apalagi ada banyak kebocoran. Transportasi massal tidak pernah dikembangkan karena kuatnya tekanan pemodal ATPM alias produsen mobil sehingga penjualan mobil meningkat dan menimbulkan kemacetan dimana-mana.
Maka .... mungkin tidak ada salahnya bila harga BBM dalam negeri dipatok dengan acuan harga pasar saja. Pemikiran ini dengan tujuan agar masyarakat tidak tersandera dan jadi permainan pemerintah/dpr atas apa yg dinamakan SUBSIDI seperti yang sekarang terjadi.
Kalau harga BBM dalam negeri dipatok dengan harga pasar, maka pemerintah tidak punya dalih lagi untuk menghamburkan APBN melalui subsidi/BLSM dll yang ujung2nya kita semua tahulah dimana bocor2nya.
Memang pasti akan ada korban, terutama masyarakat golongan berpenghasilan rendah. Tapi mereka cukup babak belur/hancur sekali aja, walau mungkin habis2an. Sesudah itu, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menaikkan harga bbm dengan dalih mengurangi subsidi. Toh kita sudah pernah hancur2an saat krisis moneter 1997-1998 dimana harga melambung gila-gilaan. Nilai tukar dolar Amerika yang semula bertengger di sekitar Rp.2.200,- saja, melambung hingga kisaran Rp.16.000 - Rp.18.000,-, hingga sekarang nilai tukar tersebut tidak pernah lagi bisa turun di bawah Rp.8.250,-, yaitu nilai terendah saat Megawati naik menggantikan Gus Dur dan dianggap tidak mampu menangkap momentum penurunan harga dolar tersebut untuk memperbaiki kondisi dalam negeri
Apakah PERTAMINA binasa karena menerapkan harga jual BBM yang sama dengan SHELL? Logikanya, kalau Shell untung besar dengan harga jual sekarang (super+super extra), maka Pertamina pasti akan mengalami hal yang sama, apalagi kalau premium tidak lagi dijual lebih murah. Pertamina seharusnya UNTUNG BESAR juga ...... Apalagi sebaran SPBU Pertamina jauh lebih luas dari sebaran SPBU pemain asing. Maka dengan cara itu, maka PERTAMINA akan punya dana yang besar untuk mengeksplorasi/ekspolitasi ladang minyaknya.
Kalau memang biaya produksi Pertamina rendah, ya jual saja BBM itu dengan harga rendah (dengan mengutip keuntungan sepantasnya saja) seperti yang dihitung para pakar itu. Pasti pemain asing (Shell, Total dll) tidak akan kuat bersaing dengan Pertamina dan mereka akan segera hengkang dari Indonesia seperti Petronas. Tapi masalahnya ternyata memang tidak sesederhana itu.
Berapa biaya produksi/pembelian minyak mentah+komisi makelar + transportasi + ongkos kenakalan pejabat negara dll? Tidak ada yang tahu persis kecuali para pejabat terkait! Belum lagi kebocoran sana-sini akibat "permintaan jatah" atau "kebocoran" yang disengaja. Mungkin kita masih ingat bahwa beberapa tahun yang lalu pernah ditemukan pipa minyak mentah dari salah satu ladang Pertamina di Kalimantan menuju pantai, yang keberadaan pipa tersebut ternyata "tidak tercatat" oleh Pertamina/operator manapun.
Memakai ongkos produksi operator asing sebagai acuan biaya produksi juga percuma kok, karena dalam biaya produksi mereka (cost recovery) sarat dengan mark up. Mereka bahkan memasukkan OHC kantor pusat di negaranya ke dalam biaya produksinya.
Masalah yang kita hadapi sekarang ini bukan sekedar harga jual BBM bersubsidi atau non subsidi, tapi lebih luas lagi adalah soal TATA KELOLA PEMERINTAHAN, di seluruh lini. Tidak ada keberpihakan kepada rakyat atau keinginan untuk bahu membahu demi kemajuan bangsa dan negara. Para penyelenggara pemerintahan dari tingkat pusat hingga pada level rendah lebih memikirkan kepentingan sesaat baik bagi pribadi, kelompok dan golongannya dan ini tidak saja para seniornya tetapi juga sudah merasuk ke generasi muda.
Kalaupun ada yang masih idealis, maka jumlahnya sangat tidak mencukupi untuk menggerakkan kesadaran akan masa depan bangsa dan negara ini. Menyedihkan ...? SANGAT .....!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar