batik Madura |
Isi pembicaraan via blackberry itu kira-kira begini :
"Pagi bu .... Hari ini, Rabu 2 Oktober, hari Batik Nasional. Diharapkan agar pakai batik (ke kantor)", begitu sapanya.
Sudah agak terlambat sebetulnya kalau sapaan itu dimaksudkan untuk mengingatkan agar kami mengenakan baju batik ke kantor, karena saya yakin, semua rekan kerja sudah dalam perjalanan menuju kantor.
"Kan saya selalu pakai baju batik....!"
"Ya bu... Nasionalisme tinggi!!!", begitu jawabnya
Memang sudah hampir 3 tahun ini, sejak "berkenalan" kembali dengan batik dan warna batik yang masuk pasar sudah mengikuti trend warna tahunan dalam dunia mode, saya mulai membeli batik dan menjahitnya. Bukan sekedar untuk diri sendiri, tapi anak dan suamipun jadi "korban paksa" dijahitkan dan harus memakai batik. Bahkan anak lelaki saya yang kebetulan sedang berlibur akhir tahun sempat saya buatkan 2 buah kemeja batik. Tentu dia tidak akan pernah bisa menolak..., karena dia tahu persis, si ibu bukan menyuruh penjahit profesional yang menjahit kemeja batik. Tetapi betul-betul dijahit sendiri, meluangkan waktu ditengah segala aktifitasnya sebagai pekerja kantoran. Begitu juga dengan anak gadis saya dan suami ...
Secara bergurau ... saya sering meledek suami sebagai "bapak batik" di kantornya, karena nyaris tiada hari tanpa batik saat bekerja.
Tapi .... jawaban rekan saya tentang nasionalisme tinggi hanya karena setiap hari memakai baju batik ke kantor, membuat saya sedikit terhenyak.
blazer 2 muka untuk anak gadis saya |
"Biasanya, kalau pernah tinggal di luar negeri, (kita akan memiliki) masionalisme tinggi, karena tahu Indonesia itu lebih baik. Betul nggak, bu...?"
Jawaban itu lagi-lagi membuat saya semakin terhenyak .... Menurut saya, tidak sesederhana itu untuk mendefinisikan rasa nasionalisme seseorang.
"Kalau bagi saya, pengalaman tinggal di luar Indonesia, lebih tepatnya merasa prihatin dengan kondisi Indonesia. Saat tinggal di luar negeri, kita akan melihat masalah secara makro. Untuk kepentingan bersama sebagai bangsa. Jadi lebih toleran terhadap perbedaan. Sementara di dalam negeri kita mungkin melihat berbagai masalah secara mikro. Kepentingan suku/agama/kelompok (lebih dominan sehingga seringkali menjadi) militan, saat membela kepentingannya". Mungkin ini jawaban yang sangat tidak diharapkannya. Tapi, minimal inilah yang saya rasakan sejak dulu ..... saat saya memang berkesempatan tinggal di negeri orang.
***
Saat itu ...... Indonesia sedang memasuki masa pemerintahan Suharto periode ke 3. Pemilu yang digelar saat itu, kalau tidak salah mulai menuai kerusuhan karena mulai muncul keinginan untuk mengganti presiden, setelah gerakan mahasiswa pada tahun 1978 yang ingin mengusung Ali Sadikin menjadi presiden bisa diredam pemerintah dan kelompok petisi 50 pun mulai "diamputasi" pemerintah.
Di wilayah Timur Tengah yang sejak jaman nabi-nabi dahulu selalu bergejolak, sedang ramai dengan adanya perebutan kekuasaan di Libanon. Beirut yang sebelumnya dijuluki sebagai surga di Timur Tengah porak poranda karena bom dan perang saudara. Dua bersaudara Gemayel yang digadang-gadang sebagai pemimpin negara akhirnya satu demi satu tewas terbunuh.
blus untuk si gadis |
Melihat begitu porak porandanya negara-negara di Timur Tengah karena pertikaian dan terutama perang saudara akibat perebutan kekuasaan, seringkali saya membatin...
"Biar deh Suharto mau jadi diktator atau apapun juga, yang penting asal Indonesia tetap aman tenteram ... Jangan sampai terjadi perang saudara, baik berupa perang suku atau perang dengan latar belakang agama"
***
Indonesia pasca 1998 memasuki era baru. Dari era Suharto yang diktator dan korup menjadi era reformasi yang konon lebih demokratis. Demokratis karena sejak saat itu, semua menjadi lebih terbuka. Bisa ngomong apa saja, apalagi didukung oleh teknologi dan social media networking. Jadilah segala macam ucapan, dari yang baik-baik hingga caci maki kepada siapapun bisa dilontarkan. Buruh-buruh yang pada era Suharto patuh bekerja, sekarang demo melulu, walau pasti ada provokatornya. Bukan buruh dan mahasiswa saja yang rajin demo, bahkan ibu-ibupun jadi rajin demo sambil buka baju, kalau hajat hidupnya terganggu. Tuntutannyapun beragam..., dari yang masuk akal hingga yang sangat tidak masuk akal.
Bukan itu saja..., teror bom, tawuran dan bahkan "perang saudara" antar etnis maupun agama acap terjadi. Kita pasti masih ingat akan "perang saudara" di Ambon antar umat Islam dan Kristen. "Perang saudara" di Poso, keributan yang berbuntut pengusiran etnis Madura dari ranah Kalimantan dan yang belum lama terjadi adalah pengusiran penganut aliran Syiah dari Sampang. Begitulah ... demokrasi membawa auranya sendiri pada masyarakat Indonesia yang mayoritasnya, secara intelektual ternyata memang belum siap menerima perbedaan dengan sikap bijak.
Demokrasi juga membawa konsekuensi sendiri dalam kehidupan politik negara. Bila pada era Suharto, eksekutif begitu berkuasanya sehingga legislatif dan yudikatif hanya bertindak sebagai pelaksana yang patuh dalam menjalankan apa yang "diperintahkan dan sudah digariskan" oleh eksekutif yaitu presiden dan para pembantunya, maka pada era pasca 1998, semua lembaga eksekutif - legislatif - yudikatif, berebut dan beradu kekuasaan. Saling memperlihatkan "taringnya"
Akhirnya ...... untuk mengatasi segala perbedaan dan "perebutan leluasaan/wewenang" ternyata, uanglah yang jadi pemenang! Segala sesuatu bisa diselesaikan dengan uang! Tentu saja secara "bisik-bisik". Tidak terlihat di permukaan, tapi aroma dan auranya begitu jelas terasa,
Begitulah, akhirnya era reformasi 1998 berhasil memeratakan dan meningkatkan pola kerja korup dari semula hanya ada pada lingkungan eksekutif, sekarang merata ke segala lini. Eksekutif - legislatif - yudikatif. Dari tingkat pusat hingga pelosok daerah. Dari level pejabat tinggi Negara dan bukan tidak mungkin hingga pejabat tingkat RT. Betul-betul pemerataan yang nyaris sempurna.
kemeja untuk suami |
Ya, begitulah .... Hubungannya adalah soal rasa nasionalisme, yang tidak bisa diukur hanya dengan memakai batik setiap hari. Nasionalisme baiknya diukur dengan seberapa konsistennya kita untuk bersikap lurus, amanah terhadap tugas yang dibebankan/diamanatkan. Satu kata dengan perbuatan. Jelasnya tidak munafik...!!! Tidak menggunakan topeng!
Aduh .... sikap munafik ini yang rasanya sering kita jumpai sekarang. Tidak ada kesatuan antara kata dan perbuatan. Ibadah yang seharus menyatu dengan perilaku sehari-hari menjadi hanya ritual dan seremonial belaka. Akibatnya .... terlihat misalnya pada masyarakat yang beragama Islam. Lelaki dengan jidat menghitam yang dianggap sebagai tanda betapa orang tersebut rajin bersujud menyembahNya, namun mereka tak segan-segan melakukan perbuatan tercela. Perempuan dengan hijab yang menutupi tubuhnyapun tak segan memeras dan memperkaya diri dengan cara yang tidak patut sama sekali.
Jadi .... sama halnya dengan ciri-ciri fisik tersebut, maka nasionalisme tidak mungkin dan sama sekali tidak bisa dinilai dengan seberapa seringnya kita memakai batik atau berkoar-koar tentang indah dan kayanya alam Indonesia atau kebanggaannya akan kekayaan ragam tradisi dan budaya negeri ini. Tapi yang lebih penting adalah seberapa besar tindakan/perilaku kita dilaksanakan untuk kepentingan/kemajuan bangsa dan negara serta tidak merugikan siapapun yang ada di bumi Indonesia ini. Wallahu alam
Luar biasa Bu. Banyak pelajaran yang saya dapatkan dari Tema Blog tentang 'Batik dan Nasionalisme' ini. Terima kasih Bu Lina.
BalasHapus