Minggu lalu, saat libur panjang–long
week end berkenaan dengan perayaan Idul Qurban 1434 H, kami berkesempatan atau
lebih tepatnya menyempatkan diri menonton film.
Kecuali anak gadis saya, kami –
saya dan suami bukanlah pengemar film yang fanatik. Kalau bisa disebut, malah
cenderung pemilih. Suami saya sih tidak memiliki preferensi film. Lebih tepat
disebut “pengikut” setia dari perempuan–perempuan “pemilih” yang tinggal
serumah dengannya. Dia akan ikut apa yang kami inginkan. Cuma … kalau filmnya
ber genre science fiction seperti Harry Potters, The Hunger Games dan
sebangsanya, atau genre horror, saya sudah pasti menolak untuk ikut serta. Maka
suami dan anak gadis saya akan nonton berdua saja. Sementara saya lebih suka nonton film
“true story”. Beberapa film lepas terutama yang alur ceritanya lebih
“membumi”, menjadi pilihan utama. Kalaupun ada titik temu tontonan saya dengan
si gadis, adalah film–film kartun seperti Mandagaskar, Finding Nemo, Tangled,
Rapunzel dan sejenisnya.
Nah … pilihan melihat the Butler,
tentu saja atas usulan saya. Alasan utamanya, apalagi kalau bukan karena film
tersebut dibuat berdasarkan cerita nyata alias true story dari salah satu
kepala rumah tangga White House, warganegara Amerika berkulit hitam, yang
mengabdikan dirinya sejak jaman pemerintahan presiden Dwight Eisenhower hingga ke Ronald Reagan.
Dalam film, dia bernama Cecil Gaines, anak
buruh perkebunan kapas dari Negara bagian Arizona yang kemudian mencoba peruntungannya
“di kota” setelah menyadari bahwa cepat atau lambat, dia akan terlibat
keributan dengan anak pemilik perkebunan, yang mungkin beresiko kematian.
Mereka tentu saling menyimpan rasa tidak suka. Ibu Cecil menjadi hilang ingatan setelah perkosaan yang dilakukan oleh anak majikannya. Suaminya – ayah Cecil ditembak mati si pemerkosa, di depan mata Cecil, karena memprotes perlakuan yang dialami istrinya. Beruntung bagi Cecil, mungkin karena rasa berdosa atas perlakuan anak majikannya kepada para buruh kapas, ibu tua pengawas perkebunan, lalu “memasukkan” Cecil ke dalam rumah. Mendidik Cecil menjadi pelayan rumah tangga dan mengajarinya baca–tulis. Pengetahuan itulah, yang kemudian menjadi bekal Cecil untuk mengadu untung di kota.
Mereka tentu saling menyimpan rasa tidak suka. Ibu Cecil menjadi hilang ingatan setelah perkosaan yang dilakukan oleh anak majikannya. Suaminya – ayah Cecil ditembak mati si pemerkosa, di depan mata Cecil, karena memprotes perlakuan yang dialami istrinya. Beruntung bagi Cecil, mungkin karena rasa berdosa atas perlakuan anak majikannya kepada para buruh kapas, ibu tua pengawas perkebunan, lalu “memasukkan” Cecil ke dalam rumah. Mendidik Cecil menjadi pelayan rumah tangga dan mengajarinya baca–tulis. Pengetahuan itulah, yang kemudian menjadi bekal Cecil untuk mengadu untung di kota.
Kesimpulan apa yang bisa kita
peroleh setelah menonton film The Butler? Selain sebagai hiburan, tentunya.
Yang pertama adalah, perjuangan
menuju kesetaraan hak dalam kehidupan sosial di Amerika Serikat, Negara yang
selalu mengaku sebagai Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, belum
sepenuhnya selesai. Secara legal–formal, Amerika Serikat memang sudah memberlakukan UU
kesetaraan hak warga negaranya. Tidak membedakan warganegara berdasarkan warna
kulit. Namun tidak demikian halnya dalam praktek dan kenyataan di lapangan.
Perbedaan perlakuan warganegara atas dasar warna kulit masih dan akan tetap
berlaku. Bahkan hingga di White House sekalipun.
Kita mungkin diingatkan kembali
betapa kematian JFK alias John Fitzgerald Kennedy. Presiden Amerika Serikat termuda
yang “flamboyant” itu ternyata tewas ditembak setelah yang bersangkutan
menunjukkan dukungannya atas pemberlakuan UU kesetaraan warganegara tersebut. UU yang akan menempatkan hak warganegara berkulit hitam setara dengan hak warganegara
kulit putih.
Betapa bertahun-tahun setelah
kematian JFK dan bahkan hingga 5 presiden selanjutnya perbedaan perlakuan
terutama yang jelas dirasakan Cecil Gaines adalah dalam hal nominal gaji yang
diterimanya dibandingkan dengan gaji staff kulit putih dalam posisi yang sama.
Padahal, seluruh presiden yang dilayaninya, sangat memuji pelayanan yang
diberikan oleh Cecil Gaines dan toh… seluruh pengabdian dan prestasinya
tersebut tetap tidak cukup untuk diganjar dengan penghargaan berupa kenaikan
gaji atau bahkan persamaan gaji dengan untuk staff selevel yang berkulit putih.
Saya juga baru mengetahui bahwa
di Amerika Serikat sana, Negara adi kuasa penjunjung tinggi hak asasi manusia ternyata
masih dan mungkin akan tetap ada universitas khusus untuk warganegara kulit
hitam, walau sekarang universitas itu juga dimasuki oleh warganegara kulit
putih. Namun saya yakin warga kulit putih yang kuliah di universitas “hitam” tersebut, mungkin berasal dari masyarakat dengan strata sosial rendah atau mereka yang
memiliki kualitas akademis rendah. Entahlah … ini memang cuma dugaan saja.
Entah apa yang dirasa Cecil
Gaines, mendengar langsung diskusi presiden dengan staffnya berkenaan dengan pro–kontra
penghapusan diskriminasi hak warganegara kulit hitam, saat dia melayani
presiden. Betapa, mungkin, sakit hatinya dia pada staff tertentu yang menolak
penghapusan diskriminasi tersebut, namun di sisi lain dia harus tetap menutup
mulut, mata dan telinga atas apa–apa yang dilihat dan didengarnya. Sementara
itu, di luar tempat kerjanya, dia “melepas” anak sulungnya berjuang mati–matian, menghadapi diskriminasi
perlakuan, di luar sana.
Perjuangan Jesse Jackson beberapa
tahun lalu dalam konvensi calon presiden, tentu layak dipuji. Tentu menjadi
sangat tidak mudah untuk menembus dominasi kulit putih dalam penentuan berbagai
kebijakan baik pada level partai apalagi pada level penguasa publik, yaitu gubernur
Negara bagian dan lembaga kepresidenan. Bagi warganegara berkulit putih
pendukung penghapusan diskriminasipun, tidaklah mudah untuk membuat agar kebijakan yang berpihak
pada warganegara kulit hitam dapat dilaksanakan sebagaimana tujuannya. Tanpa reserve. Dukungan yang berlebihan bisa membuat nyawa, menjadi taruhannya. Seperti yang dialami JFK.
Terpilihnya Barack Husein Obama
sebagai presiden USA, hingga masa jabatan yang ke 2 kali, saya yakin tidak berarti diskriminasi
perlakuan terhadap warganegara kulit hitam atau kulit berwarna berakhir.
Apalagi terbukti belum sampai 1 tahun masa pemerintahan ke 2 Barack H Obama,
kesulitan ekonomi yang luar biasa melanda USA dan memaksanya mengambil
keputusan penghentian pelayanan publik alias governmental shut down. Hal yang mungkin tidak pernah terjadi pada berbagai pemerintahan sebelumnya dalam kondisi krisis
ekonomi separah apapun juga.
Bukan tidak mungkin penolakan oposisi untuk mendukung program yang dicanangkan pemerintah Obama lebih didasari sebagai upaya “balas dendam” sekaligus menunjukkan kepada khalayak Amerika, bahwa presiden kulit hitam hanya “membawa“ kesusahan bagi rakyatnya. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi presiden berkulit hitam memerintah negeri adi kuasa ini.
Bukan tidak mungkin penolakan oposisi untuk mendukung program yang dicanangkan pemerintah Obama lebih didasari sebagai upaya “balas dendam” sekaligus menunjukkan kepada khalayak Amerika, bahwa presiden kulit hitam hanya “membawa“ kesusahan bagi rakyatnya. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi presiden berkulit hitam memerintah negeri adi kuasa ini.
Saya juga masih bisa mengingat
dengan sangat jelas, betapa kami ditolak mentah-mentah saat kami menelpon
pemilik studio saat kami sedang mencari tempat tinggal di suatu kota kecil di
tenggara Paris di tahun 1980. Alasannya sangat jelas dikatakan …. tidak menerima penyewa
berkewarganegaraan asing. Hanya atas jaminan dan telpon langsung dari
sekretariat l’ENSMA lah, akhirnya kami bisa diterima untuk menyewa studio yang
kami minati dan lama kelamaan mereka (pemilik rumah) bisa menerima kami dengan
baik dan bahkan sempat mengundang kami untuk “gouter” di ruang keluarga mereka
saat liburan Natal.
Pengalaman itu hanyalah satu dari
berbagai pengalaman tidak menyenangkan menjadi warganegara asing, kulit
berwarna yang tinggal di Negara maju milik kulit putih. Di Negara penyandang
semboyan egalite–fraternite–liberte alias persamaan
(hak)–persaudaraan–kemerdekaan. Mereka lupa bahwa karakteristik dan sifat manusia
sebetulnya tidak bergantung pada warna kulit. Budaya masing–masing memang
sangat berpengaruh pada perilaku manusia. Memang karakteristik budaya
orang–orang berkulit hitam berbeda dengan orang kulit putih. Tetapi itu lebih
pada masalah budaya yang berbeda dan tentunya akan menghasilkan “manner” yang berbeda pula. Jadi tidak
berarti bahwa orang kulit berwarna tidak ada yang baik, pengacau dan berbagai
cap buruk lainnya, Tetapi memang karena ada system nilai yang berbeda.
***
Tidak perlu jauh–jauh melanglang
buana ke Negara orang. Perilaku rasisme sebetulnya juga terjadi di negeri kita.
Lihat saja betapa setiap ada kerusuhan, selalu saja etnis Cina menjadi sasaran.
Pertikaian antar ras, yaitu antara pribumi dengan non pribumi yang dikonotasikan
dengan etnis Cina tidak putus–putusnya terjadi. Sama halnya dengan pertikaian
antar suku atau antar agama. Padahal sudah jelas tercantum dalam berbagai
dokumen perundang–undangan, berbagai peraturan dimana saja kecuali di Negara
yang menganut system pemerintahan apartheid (itupun kalau masih ada), bahwa
seluruh warganegara memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Perlakuan diskriminatif, apakah
karena perbedaan warna kulit, ras, agama, suku, kasta dan sebagainya
sesungguhnya disebabkan karena adanya perasaan “lebih tinggi, lebih benar,
lebih berbudaya dan berbagai perasaan lebih lainnya” pada salah satu pihak
terhadap pihak lainnya.
Kalau dalam hati, dalam perasaan
kita sudah ada perasaan superioritas terhadap pihak lainnya, maka percayalah …
dari situ akan timbul pola, cara dan perilaku diskriminatif dan … segala undang–undang,
declaration of human rights atau sejanisnya tidak akan bermanfaat lagi dan akan
dijungkir balikkan dengan berbagai cara.
There have been several occurrences of goverment shutdown in the USA. This was not the first time. en.wikipedia.org/wiki/Government_shutdown_in_the_United_States
BalasHapusthank you for info, never pay attention on this before
BalasHapus