Selasa, 03 Desember 2013

Bencana dan Mencari Kebahagiaan Hidup

Bulan sudah berganti ....... sekarang malah sudah hari ke 2 bulan terakhir di tahun 2013. tidak sampai 30 hari lagi kita akan memasuki tahun 2014. Apa yang sudah kita lakukan selama lebih dari 320 hari di tahun 2013 ini?

Susah mengingatnya, karena begitu banyak yang sudah terjadi, baik dalam susah dan sedih maupun senang dan bahagia. Satu yang saya ingat ......., saya melewati bulan Nopember tanpa sekalipun menulis di blog ini. Rekor terburuk selama memiliki blog.

Entah kenapa, selama bulan Nopember ini, pikiran serasa buntu. Ada banyak hal yang terjadi dan rasanya patut ditulis, tapi tangan terasa enggan untuk diajak kompromi dan otak, juga serasa beku untuk mencairkan apa yang terekam selama itu ke dalam bentuk tulisan. Ya... sudahlah ... Sudah terjadi.

Pagi tadi, Senin 2 Desember 2013 ..., ketika saya menyalakan blackberry, masuk pesan duka dari salah satu teman ngrumpi di hari Sabtu. Adik salah satu rekan kami di kelas Sabtu Pagi IF alias Institute Francaise, meninggal dunia setelah beberapa tahun menahan sakit dan serangan ganasnya sel cancer. Ternyata bukan hanya satu jenis cancer, tetapi dua macam cancer, langsung menyerangnya. Perjalanan serangkaian pengobatan rutin sejak tahun 2008, yang dimulai dengan operasi pengangkatan sel cancer, kemudian diikuti dengan chemotherapy dan check up rutin setiap 3 bulan ternyata tidak juga mampu mendeteksi dan menghambat ganasnya penyebaran sel cancer.

Baru hari Sabtu lalu, berarti kurang dari 48 jam sebelumnya, di kelas, sang kakak dengan mata yang berkaca-kaca menceritakan niatnya untuk meminta agar kedua orangtuanya membisikkan kata perpisahan dan keikhlasan mereka melepaskan roh kehidupan putri bungsunya yang cantik itu. Saya juga sempat meng"iya"kan niat tersebut sambil menyarankan agar keluarganya banyak berdoa, dzikir dan membaca surat Yasin menjelang akhir hayat si adik. Mengiringinya dengan kalimat dan doa-doa yang baik, yang inshaa Allah mendekatkannya pada Illahi dan mempermudah "perjalanan"nya.

Pasti berat menghadapi detik-detik, saat salah satu anggota keluarga dekat melepaskan roh kehidupan..., tapi saya selalu meyakini bahwa akan lebih berdosa lagi kalau kita mendzalimi si sakit pada saat terakhir tersebut dengan tetap mempertahankan penggunaan peralatan-peralatan yang dari kaca mata duniawi sebagai "alat memperpanjang nyawa" manusia. Sementara, secara medis, dokter sudah "angkat tangan" dan secara kasat mata, kitapun melihat betapa si sakit sudah terlihat demikian menderita dan kesakitan. Cancer yang sudah menyebar, memang merusak penampilan manusia dan menimbulkan kesakitan yang sangat luar biasa bagi penderitanya.

Saya juga teringat, suatu waktu, beberapa tahun yang lalu, sempat mengunjungi teman perempuan suami saya di RSCM yang juga menderita cancer payudara yang sudah menyebar. Saat itu, walau dia berusaha tampil cantik, dengan membubuhkan lipstick di bibirnya. Mencoba menutupi rasa sakit dan "bebauan" yang menyebar dari luka terbuka cancernya, tapi .... ganasnya penyebaran sel ganas tetap "terlihat". Betapa kelopak matanya sudah tidak bisa berkedip, bengkak berwarna merah. Begitu juga dengan bentuk mulutnya yang sudah tertarik sel cancer serta perban berdarah di bagian dada, menutupi sel cancer yang pecah.

Saya juga masih ingat, betapa dengan tegarnya dia bercerita tentang rasa sakit yang harus dia tahan tatkala serangan datang. Belum lagi betapa besarnya biaya yang harus ditanggung keluarga untuk membiayai seluruh rangkaian pengobatan dan perawatannya. Mungkin dia "sedikit beruntung" karena pada masa kritis tersebut, dia memperoleh pendamping setia setelah beberapa tahun sebelumnya berpisah dengan suaminya.

Konon dalam banyak kasus, kesembuhan penderita cancer lebih bersifat semu, yaitu saat sel ganas tersebut dalam fase "dormant" alias tidur. Dan .. "tidur"nya sel ganas itu tidak berarti dia berhenti membelah diri. Mungkin ... peralatan buatan manusia yang sampai saat ini dianggap canggih seperti MRI dan PET scan belum mampu mendeteksi keberadaan sel cancer, kecuali saat dimensi sel tersebut sudah mencapai suatu besaran yang "dapat ditangkap".

Maka ......, dalam kondisi seperti ini, doa apalagi yang pantas kita panjatkan kepada Allah SWT selain ..." Ya Allah .... berikan yang terbaik bagi yang sakit dan seluruh keluarganya. Bila memang sudah waktunya Kau panggil dia, maka mudahkanlah jalannya". Begitu yang selalu saya do'akan bagi anggota keluarga atau teman yang kondisinya sudah sangat kritis, termasuk juga saat almarhumah ibu saya dirawat adik di rumahnya setelah beberapa minggu tinggal di RS.
***

Pada bulan Nopember ini, kalau kita percaya pada pengaruh magnet bumi dan peredaran planet pada kehidupan manusia, mungkin memang bukan "bulan baik". Kata orang Jawa, bulan Suro, konon bukan bulan baik .... Ada banyak bencana terjadi baik bencana alam maupun bencana akibat kelalaian manusia.

Berkenaan dengan bencana alam, pernahkan kita introspeksi diri, bahwa sesungguhnya, kita sendirilah yang "memancing" datangnya bencana? Manusia sendiri, jugalah yang kelak secara sadar atau tidak, akan mempercepat akhir kehidupan bumi ini. Pernahkan kita berpikir bahwa eksploitasi alam sudah sedemikian hebatnya sehingga alam semesta ini "terpaksa" mencari kesetimbangan yang baru dan dalam upaya serta proses menemukan kesetimbangan yang baru inilah terjadi apa yang kita sebut bencana.

Tanpa kita sadari, penyedotan minyak bumi yang semakin hari semakin besar jumlahnya akan menyisakan "ruang kosong" di perut bumi, apalagi kalau posisi minyak bumi tersebut berupa cerukan/cekungan - basin. Maka tatkala cairan yang disebut emas hitam hitum disedot ke muka bumi, maka akan terjadi ruang kosong di dalam perut bumi. Kalaupun minyak bumi bercampur dengan material lainnya, maka akan selalu ada ruang kosong yang ditinggalkannya. Maka perputaran bumi pada porosnya pasti akan sangat berpengaruh pada kesetimbangan ruang-ruang kosong di dalam perut bumi tersebut.

Perputaran bumi pada porosnya lama kelamaan akan "memampatkan" ruang kosong yang ditinggalkan "penghuninya" baik berupa benda cair (minyak mentah) maupun bahan tambang. Proses pemampatan itu pasti berakibatkan terjadinya pergerakan untuk mencari kesetimbangan baru. Ya proses pemadatan kembali ruang kosong itulah. Pergerakan itu menyebabkan, pergeseran, patahan, retakan pada bumi yang di permukaannya, yaitu di tempat kita tinggal akan menyebabkan gempa bumi, tsunami dan berbagai macam bencana alam lainnya. Tapi .... siapa yang peduli?

Belum lagi pembabatan hutan tropis yang sangat kaya dengan ragam hayati berupa flora dan fauna. Pembukaan besar-besaran hutan tanaman industri seperti perkebunan kelapa sawit menyebabkan hutan tropis yang kaya itu berubah menjadi hutan mono kultur yang menyebabkan tersingkirnya binatang-binatang liar. Hilangnya beragam spesies tanaman dan binatang ... dan yang pasti ... intensifikasi hutan tanaman industri merusak komposisi humus dan lapisan tanah. Tapi siapa yang memikirkan dampak tersebut ketika tumpukan lembaran dolar atau rupiah melambai-lambai di depan mata, mengundang syahwat keserakahan manusia?

Kita hanya akan tersadar sebentar saat bencana dan duka menghampiri ... Beruntung kalau kita mampu menyadari bahwa apapun yang kita alami dan hadapi sesungguhnya buah dari perbuatan kita sendiri. Siapa menanam benih dia akan menuai hasilnya .... Begitu peribahasanya.
***

Hari Sabtu beberapa waktu yang lalu, saat "me time", acara rutin mingguan ngerumpi, madame Hermien yang menggantikan monsieur le Directeur d'une société Indonésienne de l'assurance de la santé, memberikan satu artikel yang cukup panjang berkenaan dengan psikologi positif, yaitu suatu aliran ilmu psikologi yang dipelopori oleh Martin Seligman. Artikel itu, walaupun dituliskan berdasarkan penelitian perilaku anak kembar, tetapi rasanya bisa diterima dan diadaptasikan siapapun.

Intinya adalah ... Perilaku manusia, pada dasarnya dapat dibagi 3 golongan, yaitu 50% berasal dan diturunkan secara genetik. 40% merupakan "pemberian" Tuhan dan karenanya merupakan "perilaku" unik dan individu. Sisa 10% nya terbentuk karena faktor internal, yaitu pengaruh pengasuhan orangtua, hubungan dalam keluarga, pengaruh lingkungan/pergaulan dan lain-lain. Apakah yang 40% tersebut bisa mempengaruhi 50% (genetik) +10% (faktor eksternal) sehingga kita bisa menjadi pribadi unik yang "sempurna" dalam arti kata unsur "kebaikan"nya lebih dominan daripada keburukannya.

Konon katanya .... pada saat kita mendapat musibah, apapun bentuknya ..., maka "receptive alarm" dalam tubuh akan otomatis bereaksi negatif. Otak manusia akan merekam signal negatif untuk membangkitkan "perlawanan" terhadap "signal bahaya" yang masuk. Setelah itu .... tergantung kita....! Kalau 40% sifat dasar kita "terlatih" untuk berpikiran positif, maka reaksi atas signal bahaya yang masuk tersebut akan berupa reaksi yang memberikan beragam solusi positif. Namun kalau 40% sifat dasar tersebut berasosiasi dengan pikiran negatif, maka yang muncul adalah reaksi negatif yang "melebih-lebihkan" signal bahaya" yang masuk tersebut menjadi seolah-oleh bencana besar yang tak tertanggungkan ... lupa bahwa segala sesuatu yang terjadi harus "dilawan" tetapi jangan berlebihan. Kalaupun bereaksi ... maka reaksinyapun destruktif, bukan solusi. Maka, sebagaimana sering dikatakan dalam bahasa sehari-harinya ... jangan LEBAY deh ... hehe....

Perlukan signal bahaya itu ditanggapi negatif? Pada awalnya, tentu perlu ... supaya ada "perlawanan". Karena kalau signal yang masuk selalu ditanggapi positif, maka "daya tolak/daya juang" manusia menjadi tipis ... Nrimo terus .... ya sudahlah ... memang begini adanya nasibku ... Kira-kira begitu. Tapi kalau reaksi "otak" terhadap signal yang masuk, negatif, maka secara otomatis akan terjadi perlawanan. Tapi, tentu harus merupakan perlawanan yang positif.

Ini rasanya sejalan dengan apa yang pernah ditulis dalam buku the Secret dan Mestakung (Semesta Mendukung). Kita secara tidak sadar sebetulnya "menentukan" sendiri, mau jadi apa kelak. Masa depan dan kehidupan manusia sesungguhnya sesuai dengan apa yang direncanakan, baik secara sadar ataupun tak sadar. Kalau alam pikiran kita selalu memiliki aura positif, maka kita akan mampu "menangkap" makna dan hikmah atas apapun yang terjadi dan apapun yang kita hadapi, baik dalam kesusahan maupun kebahagiaan. Dengan demikian akan selalu ada optimisme dalam setiap langkah.

Namun kalau alam pikiran kita memiliki aura negatif, maka hal sekecil apapun yang kita alami, akan selalu dilihat dari kacamata negatif. Bahkan saat mendapat rejekipun, kita luput bersyukur ... karena sibuk melirik dan mengintip seberapa besar kekayaan/harta tetangga dan membandingkannya dengan kekayaan kita. Akhirnya ... hanya penderitaanlah yang diperoleh. Penderitaan yang dibuat sendiri karena perasaan/pikiran negatif yang ada dalam relung pikiran kita. Begitu .....???
Wallahu alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...