Capres - cawapres 2014 |
Sudah sejak semula, serangan
kampanye hitam kepada Jokowi terasa sudah terlalu vulgar. Segala macam issue
diketengahkan. Dari mulai soal asal–usul, kedaerahan, masalah agama yang
dianutnya, tentu karena pasangan Joko WIdodo dalam pemilihan gubernur DKI
Jakarta adalah Basuki T Purnama yang beragama Kristen dan berasal dari etnis
Cina, sampai hal–hal lain yang terasa sangat keterlaluan.
Usai terpilih sebagai
gubernur DKI Jakarta, ternyata cercaan masih tetap berlangsung. Masyarakat
banyak dibuta-tulikan oleh black campaign. Banyak permainan kotor politisi busuk yang
menguasai DPRD Jakarta terjadi untuk men down grading kinerja pasangan gubernur dan wakil gubernur yang mengusung slogan Jakarta Baru.
Rancangan APBD terhambat,
upaya menertibkan dan merapikan kesemrawutan Jakarta dihadang. Bahkan segala
masalah yang ada di DKI Jakarta ditimpakan pada Jokowi–Ahok, begitu nama
pasangan ini disebut orang seolah mereka berdualah biang keladi dari segala
keruwetan yang ada di DKI Jakarta. Padahal sebagai segelintir orang yang
memiliki wawasan lebih baik dari kebanyakan rakyat seharusnya kita tahu bahwa
berbagai masalah di DKI Jakarta adalah akumulasi dari berbagai masalah yang
selama puluhan tahun sejak bang Ali Sadikin, gubernur legendaris itu lengser, tidak pernah terselesaikan atau
mungkin tidak pernah diperhatikan dan diniatkan untuk diselesaikan.
Pasangan gubernur DKI
Jakarta, Jokowi–Ahok baru mulai membenahi Jakarta. Hasilnya …. Kalau kita mau jujur dan tidak
membuta-tulikan hati–nurani, sudah mulai terasa. Dimulai dari pembenahan kawasan
Tanah Abang yang banyak ditentang bahkan oleh salah satu pentolan di DPRD
Jakarta yang …. eh …. ternyata, dia memang “jawara” yang hidup dari kutipan
pada pedagang liar yang memenuhi dan membuat ruwet kawasan Tanah Abang.
Lalu pembenahan kawasan
waduk Pluit di Jakarta Utara dan waduk Ria–rio di Jakarta Timur, pelapisan jalan raya, perbaikan kampung dengan
membuat kampung deret dan saya yakin banyak lagi yang saya tidak bisa
menuliskan karena saya memang bukan pengamat, apalagi berkepentingan atas
prestasi kerja mereka kecuali sebagai penduduk DKI Jakarta yang memiliki akar
nenek moyang etnis Betawi.
Paling tidak … saya merasa
betul perubahan itu karena jalan dari depan rumah hingga ke kantor sejauh +
8 km sudah dilapisi aspal yang tebalnya bukan basa–basi. Padahal sudah 14 tahun saya
tinggal di kawasan tersebut dan baru pada era Jokowi–Ahok inilah ada perbaikan
jalan yang bukan sekedar tambal sulam setempat.
Tentu, tidak semua cerita
sukses saja. Masalah kronis banjir dan kemacetan masih belum teratasi, apalagi
dengan terbitnya kebijakan “tolol” pemerintah pusat berupa ijin penjualan low cost green car–LCGC yang sesungguhnya juga sudah sejak awal ditentang Jokowi-Ahok.
Sewajarnyalah bila kita
berpikir jernih … banjir adalah masalah kronis yang sudah ada sejak jaman
Belanda. Itu sebab bila kita mau berbesar hati memeriksa dokumentasi tata kota,
maka kita bisa melihat betapa rancangan pembuatan “banjir kanal Barat dan Timur”
sudah ada sejak dulu. Sejak jaman penjajahan Belanda! Begitu juga dengan berbagai sodetan untuk mengalirkan air
hujan.
Pembangunan di Jakarta
memang sangat tidak terkendali. Aturan tata kota terutama yang berkaitan dengan
tata guna tanah dan koefisien dasar bangunan–KDB banyak dilanggar. Wilayah
resapan air di wilayah Jakarta Selatan dengan KDB 20% ternyata, secara massif, dilanggar melalui kongkalikong
antara masyarakat dengan pejabat/aparat pemerintah yang koruptif.
Jokowi RI1? |
Mereka lupa bahwa proses
perusakan alam yang berjalan massif selama puluhan tahun, begitu juga dengan
kesalahan kebijakan transportasi tidak akan bisa diselesaikan dengan segera.
Butuh waktu yang cukup panjang bukan saja dari pemerintah daerah saja tetapi juga harus
didukung selain oleh pemerintah pusat yang turut membebani kinerja DKI Jakarta
dengan tugas sekaligus sebagai ibukota Negara, juga oleh seluruh masyarakat Jakarta dari berbagai lapisan sosial itu sendiri.
Kuncinya .... patuh pada aturan tata
kota !!! Ada berbagai peraturan daerah dan banyak hal harus dipatuhi guna tercapainya
tujuan memperbaiki kualitas kehidupan di Jakarta.
Kalau perusakan ini sudah
terjadi sejak berakhirnya masa jabatan bang Ali Sadikin pada tahun 1977, berarti sudah berjalan selama 37 tahun. Maka wajar saja kalau hasil perbaikannya belum terlihat
karena pasangan gubernur DKI ini baru memerintah selama + 19 bulan saja.
Gaya kepemimpinan Jokowi
yang menjungkirbalikan gaya komunikasi dan penampilan pejabat pemerintah
membuat Jokowi menjadi “media darling” sekaligus menjadi sasaran empuk lawan
politik yang sepertinya melihat Jokowi sebagai ancaman bagi ambisi berkuasa
segelintir elit politik negeri ini. Penetapan Joko WIdodo sebagai calon presiden
RI dari PDIP memang semakin membuat runyam sosok Joko Widodo. Penampilan “lugu”
dan merakyat yang didukung dengan wajah “ndeso” …., wajah rakyat kebanyakan,
ternyata semakin membuat runyam.
Ada pendapat pragmatis
bila Jokowi terpilih jadi RI1 pada pemilihan presiden bulan Juli 2014 yang akan
datang, maka koordinasi penyelesaian masalah DKI-pusat menjadi lebih mudah
sehingga perbaikan kualitas hidup di Jakarta akan lebih lancar. Benarkah
begitu…? Kita lihat saja karena ini memang baru asumsi ...
***
Semangatnya masih tinggi |
Lalu …., bagaimana dengan
Prabowo Subianto?
Konon … andai Prabowo
menjadi presiden RI ke 9, maka TNI–RI akan memasuki babak baru yang "aneh
bin ajaib". Akan tercatat dalam sejarahnya serta mungkin hanya
satu-satunya di dunia. Bisa masuk MURI atau bahkan Guinness book of record,
yaitu ······ TNI akan "diperintah" oleh Presiden RI sebagai panglima
tertinggi TNI yang adalah jenderal yang sudah dipecat.
Itu sebabnya dalam
berbagai kesempatan Agum Gumelar berulangkali meminta Prabowo Subianto untuk mengingat
sejarah
Prabowo Subianto yang kita tahu adalah anak kandung Sumitro Djojohadikusumo, dan cucu Margono
Djojohadikusumo. Keduanya, bapak dan kakeknya adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam tatanan perekonomian
Indonesia pada jamannya. Prabowo Subianto kemudian menikah dengan salah satu anak penguasa negeri
ini. Tentu saja, kehidupan Prabowo sangat nyaman. Jauh dari perih penderitaan hidup
yang diderita rakyat jelata.
Saya sangat menghargai keluarga Prabowo
Subianto. Sebagai orang yang lahir dari keluarga terpandang di kalangan intelektual, tumbuh
dan besar di luar negeri, Prabowo Subianto tentu sudah biasa bergaul dengan
kalangan atas. Kalangan “terhormat” di berbagai bidang. Para pengusaha, kalangan militer dalam dan luar negeri, diplomat dari berbagai negara asing dan sebagainya. Ditunjang dengan kemampuannya berbicara dalam
berbagai bahasa asing serta lingkungan pergaulannya ini akan menjadi modal kuat
bagi Prabowo Subianto untuk membawa Indonesia masuk dalam kancah pergaulan
diplomasi internasional dengan penuh percaya diri. Kita sama tahulah ... bahwa
kebanyakan orang Indonesia, langsung menjadi "bisu" saat harus berbicara,
berdiplomasi, bernegosiasi apalagi harus berdebat dengan bule....
***
keren ya, dulu, waktu masih jadi jendral |
Melihat profil kedua calon presiden
Indonesia 2014, kita seperti diajak melihat persaingan dan pertarungan antara seorang ksatria
melawan seorang dari golongan sudra. Perlawanan
rakyat jelata melawan kaum intelektual. Antara golongan orang kota dan intelek, yang diwakili oleh Prabowo Subianto yang sudah terbiasa bergaul di kalangan
masyarakat kelas atas melawan Joko Widodo yang "cuma" anak pengusaha mebel "kampungan" yang
lekat dengan kesulitan hidup rakyat.
Sayangnya, politik Indonesia pada era
demokrasi saat ini, sudah mengarah pada pembodohan rakyat. Pemilihan umum kini
sarat dengan praktek Money politic. Bahkan penguasa Negara memanfaatkan
kekuasaannya “menjarah” APBN untuk digunakan sebagai alat money politic berbalut
program pemerintah untuk meredam turunnya pendapatan rakyat akibat kenaikan
BBM.
Gara–gara money politic
ini pula, maka ongkos pribadi untuk pencalonan diri sebagai calon legislatif
maupun eksekutif menjadi sangat tinggi. Maka tidak mengherankan kalau korupsi
mejadi semakin massif dan merata demi “mengembalikan” modal yang sudah dikeluarkan.
Kampanye pemilihan juga
semakin vulgar dan membabi buta. Etika dan sopan santun sudah semakin hilang.
Caci maki semakin kerap dilakukan dan diumbar. Sayang sekali hal ini juga
dilakukan oleh orang–orang yang relatif berpendidikan tinggi.
Kalau sudah begini, siapa yg akan anda pilih...?
Tentu yang sesuai dengan hati nurani dan harapan2 yg kita inginkan
Kalau sudah begini, siapa yg akan anda pilih...?
Tentu yang sesuai dengan hati nurani dan harapan2 yg kita inginkan
Jangan ikut-ikutan ....
Vote
for new era Indonesia 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar