Senin, 02 Juni 2014

Mengukur CAPRES secara berimbang

Ditengah maraknya black campaign yang beredar di media sosial, tulisan yang saya temukan terselip di antara hiruk pikuk black campaign ini cukup jernih dan berimbang menilai dua calon presiden RI mendatang. 

Mari cermati dengan baik .... perasaan suka atau tidak suka, tentu akan tetap ada. Jadi baca saja dengan kepala dingin ...

Mari Mengukur Jokowi dan Prabowo 
by Laurencius Simanjuntak



Tulisan saya ini berangkat dari opini Sunny Tanuwidjaja di Harian Kompas 6 Mei 2013 berjudul 'Standar Jokowi'.

Dalam opini itu, Sunny cukup memakai logika sederhana namun telak untuk menggugat mereka yang tidak adil 'mengukur' Jokowi.

 Belakangan ini, utamanya setelah Jokowi mendapat mandat untuk nyapres dari Megawati, standar 'keberhasilan mengurus Jakarta' marak lagi dipakai oleh beberapa pihak–tak jarang para elite–untuk 'mengukur' kelayakan Jokowi menjadi capres.
 Gampangannya, jika dianggap berhasil mengurus Jakarta, Jokowi layak nyapres, dan jika tidak, Jokowi tak layak nyapres. Bahkan, mereka yang ekstrim langsung ‘melarang’ Jokowi nyapres dengan alasan tugas politikus PDIP itu belum tunai, sehingga tak mungkin keberhasilan kinerjanya di Jakarta diukur.



Entah apapun alasan mereka, Sunny telah jeli membongkar cara berpikir mereka dengan logika sederhana. Menurut Sunny, mengukur kelayakan Jokowi dan tokoh–tokoh lain yang ingin nyapres haruslah menggunakan 'penggaris' yang sama. Artinya, jika ukurannya adalah 'keberhasilan mengurus Jakarta', maka para capres lain harus diukur dengan ukuran itu.
 Namun, "Jika memang kelayakan para figur capres tidak bisa diukur dengan 'penggaris' yang sama maka sebaiknya dicarikan yang 'penggaris' setara.

Di sinilah letak titik persoalannya. Panggung memimpin Ibukota yang dimiliki Jokowi tidak dimiliki oleh capres-capres yang lain sehingga tidak mungkin ukuran kelayakan menjadi capres yang digunakan untuk Jokowi tersebut bisa digunakan kepada calon yang lain. Bahkan sangat sulit, jika bukan mustahil, untuk mencarikan uji kelayakan yang setara tingkat kesulitannya dengan panggung memimpin ibukota tersebut." (Sunny, 2013)

 Karena tidak mungkin mencari ‘penggaris’ yang sama, marilah kita mencari 'ukuran yang setara' untuk menguji kelayakan Jokowi dan capres lain.

Saya akan membandingkan Jokowi dengan Prabowo. Kenapa Prabowo? Karena capres Partai Gerindra inilah yang menurut sejumlah lembaga survei paling mampu bersaing dengan Jokowi. 

Perbedaan yang mencolok dari Jokowi, 52 tahun, dan Prabowo, 62 tahun, adalah latar belakang keduanya. Jokowi jelas orang sipil murni. Sedangkan Prabowo (62) hampir separuh hidupnya mengabdi pada TNI (dulu ABRI). Dari fakta itu, sebenarnya sulit mencari ukuran yang setara untuk menakar kedua tokoh tersebut. Akan tetapi, jika dipaksakan mencari ukuran yang mendekati setara, maka titik temunya adalah Jokowi dan Prabowo pernah (atau masih) menjadi penyelenggara negara/pejabat publik–dalam artian jabatan yang digaji negara untuk mengurusi kepentingan publik.



Jokowi, yang sebelumnya pengusaha mebel, mulai meniti karier politik saat terpilih secara demokratis dalam Pilkada Kota Surakarta pada 2005. Memimpin Surakarta selama satu periode, Jokowi terpilih kembali dengan kemenangan mutlak–di atas 90 persen suara–pada Pilkada Surakarta 2010. Masa jabatan periode kedua di Pemkot Surakarta (2010–2015) tak selesai dijalaninya, karena menang di Pilgub DKI 2012. Wali Kota Surakarta 2005–2012 dan Gubernur DKI Jakarta 2012–sekarang adalah dua jabatan publik yang pernah dan masih diemban Jokowi.

 Sedangkan Prabowo, berkarier sebagai anggota TNI (dulu ABRI) sejak 1974–seangkatan dengan SBY–dia pernah menjabat dua jabatan penting dalam kesatuan di Angkatan Darat. Pertama adalah Komandan Komando Pasukan Khusus (1996–1998) dan Panglima Komando Cadangan Strategis yang hanya dijabatnya selama dua bulan (20 Maret–22 Mei 1998). 

Jabatan yang singkat itu adalah imbas dari pencopotan Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad sekaligus anggota TNI oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, karena dinyatakan terlibat penculikan aktivis pada 1998. Inilah jabatan terakhir Prabowo sebagai penyelenggara negara/pejabat publik di republik ini.



Setelah dicopot tanpa melalui peradilan militer, Prabowo hijrah ke Yordania untuk berbisnis dan balik lagi pada 2004 untuk mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar 2004, namun kalah. Menghilang setelah kalah, Prabowo muncul lagi jelang Pemilu 2009 dengan mendirikan Partai Gerindra. Kalah di Pilpres 2009 sebagai cawapres Megawati, akhirnya pada 2014 ini Prabowo nyapres.



Lalu apa yang hendak diukur dari Jokowi (Wali Kota Surakarta 2005–2012 dan Gubernur DKI 2012–sekarang) dan Prabowo (Danjen Kopassus 1996–1998 dan Pangkostrad 20 Maret–22 Mei 1998)? Mari mengukur prestasi keduanya dalam jabatan publik tersebut.



Saat ingin mencoba mengukur prestasi keduanya, saya merasa tidak adil terhadap Prabowo yang ‘hanya’ pernah menjabat jabatan publik sebagai petinggi militer. Sebab, saya sadar jabatan Danjen Kopassus dan Pangkostrad efeknya kurang bisa dirasakan publik langsung oleh publik. Beda dengan jabatan wali kota dan gubernur yang (pernah) diemban Jokowi. Semua pelayanan publik yang baik di sebuah daerah, hampir selalu diasosiasikan dengan kinerja kepala daerahnya. Apalagi, jika kepala daerah memiliki strategi komunikasi yang ciamik seperti Jokowi.

 Mungkin saja ternyata prestasi Prabowo di militer jauh lebih besar dari Jokowi, namun karena tidak dirasakan langsung, publik menjadi tidak sadar bahwa sesuatu yang baik itu–misalnya keamanan negara–adalah hasil kerja Prabowo. Bukankah kerja militer itu–apalagi bidang intelijen–jauh dari peliputan media sehingga pengetahuan publik minim atas hal itu.

 Karena merasa kurang adil itu, maka saya mencoba mengukur Jokowi dan Prabowo bukan dari prestasi (positif), tapi dalam sudut pandang negatif.

Maksudnya, mari kita lihat pelanggaran apa saja yang sudah mereka perbuat selama menjabat. Pelanggaran di sini tidak semata-mata harus ada vonis pengadilan. Sebab, melihat potret penegakan hukum dan pengadilan yang karut marut sekarang ini, sulit untuk berpegang sepenuhnya pada putusan hakim.



Lalu apa yang negatif dari Jokowi? 
Mungkin yang paling mencolok belakangan ini adalah pengadaan bus Transjakarta dari China yang bermasalah. Tak usah saya sebut apa permasalahannya, karena penyelidikan oleh KPK terhadap pengadaan itu sudah cukup memberi kesan ada yang tak beres dalam proyek lebih dari Rp 1 triliun itu. Jokowi pun mengakui ada persoalan dan mendukung KPK mengusutnya. Terlepas Jokowi terlibat atau tidak nantinya dalam ‘permainan’ proyek tersebut, kesan ‘kelalaian’ Jokowi dalam mengawasi proyek di bawah pemerintahannya sulit dilepaskan.



Kemudian apa yang negatif dari Prabowo? 
Satu dari beberapa hal negatif yang paling sulit dilepas dari Prabowo adalah keterlibatannya saat menjadi Danjen Kopassus dalam kasus penculikan aktivis dalam pergolakan reformasi 1998. Prabowo sendiri mengakui telah memerintahkan Tim Mawar untuk menculik. Namun, Mahkamah Militer tidak pernah menyentuh Prabowo yang masih menjadi menantu Soeharto kala itu. 

Belakangan, selagi hiruk pikuk pencapresan 2014, Prabowo kepada sebuah media mengatakan seluruh aktivis yang dia culik sudah kembali. Dengan kata lain, Prabowo membenarkan bahwa dia memerintahkan penculikan, tapi bukan terhadap 13 orang aktivis yang masih hilang hingga sekarang. Kasarannya, Prabowo tidak bertanggung jawab atas yang 13 itu.



Kesamaan sisi negatif Jokowi dan Prabowo di atas adalah belum pernah ada putusan hukum atas dua hal itu. Terlebih dalam kasus pengadaan bus DKI yang baru tahap ‘penyelidikan’. Berbeda dengan penyidikan, penyelidikan adalah tahap awal mencari barang bukti atas suatu dugaan tindak pidana korupsi. Artinya, bisa saja kemudian tidak ada bukti atas proyek bus tersebut. Namun, seandainya ada, belum tentu itu akan menyeret Jokowi.



Beda dengan Jokowi, Prabowo, meski belum pernah diproses hukum, sudah mengakui telah melakukan penculikan. Tindakan brutal itu akhirnya harus dibayar mahal dengan pencopotannya sebagai Pangkostrad, yang baru dijabatnya selama dua bulan. Sementara Jokowi belum pernah sama sekali dicopot sebagai penyelenggara negara/pejabat publik karena pelanggaran, baik hukum maupun etik.

 Belum pernah diproses secara hukum, bukan berarti Prabowo lepas sepenuhnya dari jeratan hukum atas kasus penculikan. Sebab, Pansus Orang Hilang DPR pada 2009 sudah mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI agar membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

Presiden SBY membiarkan rekomendasi tersebut, tapi bisa saja tidak bagi presiden terpilih pasca–SBY. Artinya, jika Pengadilan HAM Ad Hoc atas kasus penculikan akhirnya digelar, bukan tidak mungkin Prabowo yang lolos dalam Mahkamah Militer bisa dijerat dalam pengadilan HAM (sipil). Atas proses yang masih menggantung itu, Amerika Serikat tetap tidak mencabut larangan visa bagi Prabowo masuk ke negeri Abang Sam itu.



Begitulah saya mengukur Jokowi dan Prabowo dengan ‘penggaris’ negatif yang diupayakan setara. Cara begini juga bisa dipakai untuk mengukur atau membandingkan para capres yang ada. Sebab, seperti kata Sunny (2013), kontestasi pilpres bukan bicara seorang tokoh ‘layak’ atau ‘tidak layak’ sebagai capres, tetapi apakah seorang tokoh ‘lebih layak’ atau ‘kurang layak’ dibandingkan yang lain.

Dalam sebuah kompetisi harus ada pemenangnya, dan siapa yang menang tentu diharapkan adalah yang terbaik dari deretan peserta yang mungkin kurang baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...