Ditengah maraknya black campaign yang beredar di media sosial, tulisan yang saya temukan terselip di antara hiruk pikuk black campaign ini cukup jernih dan berimbang menilai dua calon presiden RI mendatang.
Mari cermati dengan baik .... perasaan suka atau tidak suka, tentu akan tetap ada. Jadi baca saja dengan kepala dingin ...
Mari Mengukur Jokowi dan Prabowo
by Laurencius Simanjuntak
Mari cermati dengan baik .... perasaan suka atau tidak suka, tentu akan tetap ada. Jadi baca saja dengan kepala dingin ...
Mari Mengukur Jokowi dan Prabowo
by Laurencius Simanjuntak
Tulisan saya ini berangkat dari
opini Sunny Tanuwidjaja di Harian Kompas 6 Mei 2013 berjudul 'Standar Jokowi'.
Dalam opini itu, Sunny cukup
memakai logika sederhana namun telak untuk menggugat mereka yang tidak adil
'mengukur' Jokowi.
Belakangan ini, utamanya setelah Jokowi mendapat mandat
untuk nyapres dari Megawati, standar 'keberhasilan mengurus Jakarta' marak lagi
dipakai oleh beberapa pihak–tak jarang para elite–untuk 'mengukur' kelayakan
Jokowi menjadi capres.
Gampangannya, jika dianggap berhasil mengurus Jakarta,
Jokowi layak nyapres, dan jika tidak, Jokowi tak layak nyapres. Bahkan, mereka
yang ekstrim langsung ‘melarang’ Jokowi nyapres dengan alasan tugas politikus
PDIP itu belum tunai, sehingga tak mungkin keberhasilan kinerjanya di Jakarta diukur.
Entah apapun alasan mereka, Sunny
telah jeli membongkar cara berpikir mereka dengan logika sederhana. Menurut
Sunny, mengukur kelayakan Jokowi dan tokoh–tokoh lain yang ingin nyapres
haruslah menggunakan 'penggaris' yang sama. Artinya, jika ukurannya adalah
'keberhasilan mengurus Jakarta', maka para capres lain harus diukur dengan
ukuran itu.
Namun, "Jika memang kelayakan para figur capres tidak bisa
diukur dengan 'penggaris' yang sama maka sebaiknya dicarikan yang 'penggaris'
setara.
Di sinilah letak titik
persoalannya. Panggung memimpin Ibukota yang dimiliki Jokowi tidak dimiliki
oleh capres-capres yang lain sehingga tidak mungkin ukuran kelayakan menjadi
capres yang digunakan untuk Jokowi tersebut bisa digunakan kepada calon yang
lain. Bahkan sangat sulit, jika bukan mustahil, untuk mencarikan uji kelayakan
yang setara tingkat kesulitannya dengan panggung memimpin ibukota
tersebut." (Sunny, 2013)
Karena tidak mungkin mencari ‘penggaris’ yang
sama, marilah kita mencari 'ukuran yang setara' untuk menguji kelayakan Jokowi
dan capres lain.
Saya akan membandingkan Jokowi
dengan Prabowo. Kenapa Prabowo? Karena capres Partai Gerindra inilah yang
menurut sejumlah lembaga survei paling mampu bersaing dengan Jokowi.
Perbedaan
yang mencolok dari Jokowi, 52 tahun, dan Prabowo, 62 tahun, adalah latar
belakang keduanya. Jokowi jelas orang sipil murni. Sedangkan Prabowo (62)
hampir separuh hidupnya mengabdi pada TNI (dulu ABRI). Dari fakta itu,
sebenarnya sulit mencari ukuran yang setara untuk menakar kedua tokoh tersebut.
Akan tetapi, jika dipaksakan mencari ukuran yang mendekati setara, maka titik
temunya adalah Jokowi dan Prabowo pernah (atau masih) menjadi penyelenggara
negara/pejabat publik–dalam artian jabatan yang digaji negara untuk mengurusi
kepentingan publik.
Jokowi, yang sebelumnya pengusaha
mebel, mulai meniti karier politik saat terpilih secara demokratis dalam
Pilkada Kota Surakarta pada 2005. Memimpin Surakarta selama satu periode,
Jokowi terpilih kembali dengan kemenangan mutlak–di atas 90 persen suara–pada
Pilkada Surakarta 2010. Masa jabatan periode kedua di Pemkot Surakarta (2010–2015)
tak selesai dijalaninya, karena menang di Pilgub DKI 2012. Wali Kota Surakarta
2005–2012 dan Gubernur DKI Jakarta 2012–sekarang adalah dua jabatan publik yang
pernah dan masih diemban Jokowi.
Sedangkan Prabowo, berkarier sebagai anggota
TNI (dulu ABRI) sejak 1974–seangkatan dengan SBY–dia pernah menjabat dua
jabatan penting dalam kesatuan di Angkatan Darat. Pertama adalah Komandan
Komando Pasukan Khusus (1996–1998) dan Panglima Komando Cadangan Strategis yang
hanya dijabatnya selama dua bulan (20 Maret–22 Mei 1998).
Jabatan yang singkat
itu adalah imbas dari pencopotan Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad
sekaligus anggota TNI oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, karena dinyatakan
terlibat penculikan aktivis pada 1998. Inilah jabatan terakhir Prabowo sebagai
penyelenggara negara/pejabat publik di republik ini.
Setelah dicopot tanpa melalui
peradilan militer, Prabowo hijrah ke Yordania untuk berbisnis dan balik lagi
pada 2004 untuk mengikuti Konvensi Capres Partai Golkar 2004, namun kalah. Menghilang
setelah kalah, Prabowo muncul lagi jelang Pemilu 2009 dengan mendirikan Partai
Gerindra. Kalah di Pilpres 2009 sebagai cawapres Megawati, akhirnya pada 2014
ini Prabowo nyapres.
Lalu apa yang hendak diukur dari
Jokowi (Wali Kota Surakarta 2005–2012 dan Gubernur DKI 2012–sekarang) dan
Prabowo (Danjen Kopassus 1996–1998 dan Pangkostrad 20 Maret–22 Mei 1998)? Mari
mengukur prestasi keduanya dalam jabatan publik tersebut.
Saat ingin mencoba mengukur
prestasi keduanya, saya merasa tidak adil terhadap Prabowo yang ‘hanya’ pernah
menjabat jabatan publik sebagai petinggi militer. Sebab, saya sadar jabatan
Danjen Kopassus dan Pangkostrad efeknya kurang bisa dirasakan publik langsung
oleh publik. Beda dengan jabatan wali kota dan gubernur yang (pernah) diemban
Jokowi. Semua pelayanan publik yang baik di sebuah daerah, hampir selalu
diasosiasikan dengan kinerja kepala daerahnya. Apalagi, jika kepala daerah memiliki
strategi komunikasi yang ciamik seperti Jokowi.
Mungkin saja ternyata prestasi
Prabowo di militer jauh lebih besar dari Jokowi, namun karena tidak dirasakan
langsung, publik menjadi tidak sadar bahwa sesuatu yang baik itu–misalnya
keamanan negara–adalah hasil kerja Prabowo. Bukankah kerja militer itu–apalagi
bidang intelijen–jauh dari peliputan media sehingga pengetahuan publik minim
atas hal itu.
Karena merasa kurang adil itu, maka saya mencoba mengukur Jokowi
dan Prabowo bukan dari prestasi (positif), tapi dalam sudut pandang negatif.
Maksudnya, mari kita lihat
pelanggaran apa saja yang sudah mereka perbuat selama menjabat. Pelanggaran di
sini tidak semata-mata harus ada vonis pengadilan. Sebab, melihat potret
penegakan hukum dan pengadilan yang karut marut sekarang ini, sulit untuk
berpegang sepenuhnya pada putusan hakim.
Lalu apa yang negatif dari
Jokowi?
Mungkin yang paling mencolok belakangan ini adalah pengadaan bus Transjakarta dari China yang bermasalah. Tak usah saya sebut apa permasalahannya, karena penyelidikan oleh KPK terhadap pengadaan itu sudah cukup memberi kesan ada yang tak beres dalam proyek lebih dari Rp 1 triliun itu. Jokowi pun mengakui ada persoalan dan mendukung KPK mengusutnya. Terlepas Jokowi terlibat atau tidak nantinya dalam ‘permainan’ proyek tersebut, kesan ‘kelalaian’ Jokowi dalam mengawasi proyek di bawah pemerintahannya sulit dilepaskan.
Mungkin yang paling mencolok belakangan ini adalah pengadaan bus Transjakarta dari China yang bermasalah. Tak usah saya sebut apa permasalahannya, karena penyelidikan oleh KPK terhadap pengadaan itu sudah cukup memberi kesan ada yang tak beres dalam proyek lebih dari Rp 1 triliun itu. Jokowi pun mengakui ada persoalan dan mendukung KPK mengusutnya. Terlepas Jokowi terlibat atau tidak nantinya dalam ‘permainan’ proyek tersebut, kesan ‘kelalaian’ Jokowi dalam mengawasi proyek di bawah pemerintahannya sulit dilepaskan.
Kemudian apa yang negatif dari
Prabowo?
Satu dari beberapa hal negatif yang paling sulit dilepas dari Prabowo adalah keterlibatannya saat menjadi Danjen Kopassus dalam kasus penculikan aktivis dalam pergolakan reformasi 1998. Prabowo sendiri mengakui telah memerintahkan Tim Mawar untuk menculik. Namun, Mahkamah Militer tidak pernah menyentuh Prabowo yang masih menjadi menantu Soeharto kala itu. Belakangan, selagi hiruk pikuk pencapresan 2014, Prabowo kepada sebuah media mengatakan seluruh aktivis yang dia culik sudah kembali. Dengan kata lain, Prabowo membenarkan bahwa dia memerintahkan penculikan, tapi bukan terhadap 13 orang aktivis yang masih hilang hingga sekarang. Kasarannya, Prabowo tidak bertanggung jawab atas yang 13 itu.
Satu dari beberapa hal negatif yang paling sulit dilepas dari Prabowo adalah keterlibatannya saat menjadi Danjen Kopassus dalam kasus penculikan aktivis dalam pergolakan reformasi 1998. Prabowo sendiri mengakui telah memerintahkan Tim Mawar untuk menculik. Namun, Mahkamah Militer tidak pernah menyentuh Prabowo yang masih menjadi menantu Soeharto kala itu. Belakangan, selagi hiruk pikuk pencapresan 2014, Prabowo kepada sebuah media mengatakan seluruh aktivis yang dia culik sudah kembali. Dengan kata lain, Prabowo membenarkan bahwa dia memerintahkan penculikan, tapi bukan terhadap 13 orang aktivis yang masih hilang hingga sekarang. Kasarannya, Prabowo tidak bertanggung jawab atas yang 13 itu.
Kesamaan sisi negatif Jokowi dan
Prabowo di atas adalah belum pernah ada putusan hukum atas dua hal itu.
Terlebih dalam kasus pengadaan bus DKI yang baru tahap ‘penyelidikan’. Berbeda
dengan penyidikan, penyelidikan adalah tahap awal mencari barang bukti atas
suatu dugaan tindak pidana korupsi. Artinya, bisa saja kemudian tidak ada bukti
atas proyek bus tersebut. Namun, seandainya ada, belum tentu itu akan menyeret
Jokowi.
Beda dengan Jokowi, Prabowo,
meski belum pernah diproses hukum, sudah mengakui telah melakukan penculikan.
Tindakan brutal itu akhirnya harus dibayar mahal dengan pencopotannya sebagai
Pangkostrad, yang baru dijabatnya selama dua bulan. Sementara Jokowi belum
pernah sama sekali dicopot sebagai penyelenggara negara/pejabat publik karena
pelanggaran, baik hukum maupun etik.
Belum pernah diproses secara hukum, bukan
berarti Prabowo lepas sepenuhnya dari jeratan hukum atas kasus penculikan. Sebab, Pansus Orang Hilang DPR pada 2009 sudah mengeluarkan rekomendasi kepada
Presiden RI agar membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.
Presiden SBY membiarkan
rekomendasi tersebut, tapi bisa saja tidak bagi presiden terpilih pasca–SBY.
Artinya, jika Pengadilan HAM Ad Hoc atas kasus penculikan akhirnya digelar,
bukan tidak mungkin Prabowo yang lolos dalam Mahkamah Militer bisa dijerat
dalam pengadilan HAM (sipil). Atas proses yang masih menggantung itu, Amerika
Serikat tetap tidak mencabut larangan visa bagi Prabowo masuk ke negeri Abang
Sam itu.
Begitulah saya mengukur Jokowi
dan Prabowo dengan ‘penggaris’ negatif yang diupayakan setara. Cara begini juga
bisa dipakai untuk mengukur atau membandingkan para capres yang ada. Sebab,
seperti kata Sunny (2013), kontestasi pilpres bukan bicara seorang tokoh
‘layak’ atau ‘tidak layak’ sebagai capres, tetapi apakah seorang tokoh ‘lebih
layak’ atau ‘kurang layak’ dibandingkan yang lain.
Dalam sebuah kompetisi harus ada
pemenangnya, dan siapa yang menang tentu diharapkan adalah yang terbaik dari
deretan peserta yang mungkin kurang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar