Selasa, 10 Juni 2014

Ayo kenali "diri kita"

Setiap akhir tahun atau kapanpun kita bicara tentang kondisi ekonomi Indonesia, kita selalu disuguhi berbagai terminologi "tingkat tingi" seperti pertumbuhan ekonomi sekian persen, produk domestik bruto, pendapatan per kapita dan lain-lain yang rasanya tidak terlalu berarti bagi masyarakat awam. Namun terminologi ini sangat disukai oleh segelintir orang yang menamakan dirinya sendiri atau kerap dijuluki sebagai pakar ekonomi.

Segala terminologi "ajaib" itu mungkin berarti bagi para investor yang "bermain" pada sektor ekonomi di"awang-awang" alias bursa saham. Bukan bagi sektor ekonomi riel yang kerap terseok-seok dalam mengembangkan bisnisnya. Sejak membaca buku Confession of an Economic Hit Man karya John Perkins beberapa tahun yang lalu, saya tidak lagi percaya pada segala macam indikator pertumbuhan ekonomi a la Amerika Serikat yang didasarkan pada statistika tingkat pertumbuhan ekonomi, GDP - gross domestic product, Income per capita dan sejenisnya yang seringkali berbeda jauh antara angka-angka yang tertera dibandingkan realita. DIbandingkan dengan kenyataan yang ada di masyarakat. 


Bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa negara kita memiliki income per capita yang tinggi manakala kita rajin melihat dan meresapi kondisi nyata di sekeliling kita. Tidak perlu jauh hingga ke pelosok daerah yang masih sukar di tembus oleh alat transportasi umum. Cukup berjalan ke pelosok kota Jakarta, maka kita akan melihat betapa disparitas alias perbedaan dan ketidak seimbangan antara golongan kaya dan golongan miskin di Indonesia memang sangat luar biasa.



Kawasan Kumuh Jakarta
Marilah kita tengok beberapa kondisi masyarakat yang sangat nyata namun seringkali luput dari pengamatan kita. Di balik gemerlapan ibukota dan kota2 besar lainnya di Indonesia, kita dengan mudah menemukan banyak kawasan kumuh yang sangat tidak layak huni. Dimana rumah atau lebih tepat disebut gubuk karton rombeng berukuran 3 x 4 meter dihuni oleh beberapa orang atau bahkan 2 hingga 3 generasi. Tanpa ventilasi dan sudah barang tentu tanpa sanitasi yang baik.

Pada saat segolongan masyarakat terutama di ibukota Jakarta atau kota-kota besar lainnya berbondong-bondong antri dan berebut cepat hanya untuk membeli gadget terbaru yang harganya hingga jutaan rupiah, nun .... di pojok kota sebagian lagi masyarakat justru harus antri untuk mendapatkan raskin - istilah yang digunakan untuk beras yang dijual murah kepada golongan masyarakat perpenghasilan rendah - yang sudah berbau atau untuk mendapatkan air bersih yang distribusinya tak kunjung merata menjangkau kebutuhan masyarakat.

Pada saat perempuan kota dengan pakaian yang sangat chic dan elegante berebut "branded items" yang harganya mampu membuat kening berkerut karena terkadang jumlah uangnya bisa digunakan untuk membangun sebuah rumah yang sangat layak huni bagi satu keluarga, lalu mereka dengan bangga memamerkannya kesana-kemari. Tengok dan berempatilah bahwa masih banyak perempuan desa, baik gadis maupun kaum ibu yang dengan sangat terpaksa meninggalkan desa dan keluarganya untuk "menantang" keganasan negeri asing. 


Mereka, perempuan-perempuan lugu itu harus menjual tenaga di negara asing demi sesuap nasi dan impian memberikan kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Mungkin hanya nasib baiklah yang mereka harapkan agar segala impiannya terwujud karena bukanlah hal asing pula bila aib atau lebih menyedihkan lagi, nyawalah yang menjadi taruhannya.



Jermal
Pada saat sebagian anak muda kota dengan sedikit polesan wajah dan kegenitannya berseliweran di layar kaca dengan honor hingga puluhan juta rupiah menawarkan mimpi yang kemudian perilaku serta gaya hidupnya ditiru oleh rekan sebayanya di seantero negeri, di pelosok sana .... terutama di kantong-kantong pemukiman nelayan masih banyak remaja dan bahkan anak di bawah umur terpaksa mengais rejeki di jermal. Sekolah ......? Mungkin kosa kata itu tidak pernah singgah di telinga anak-anak jermal.

Pada saat sebagian masyarakat kelas menengah ke atas yang tinggal di perkotaan ramai berobat atau sekedar melakukan medical check up hingga ke negara jiran, di sini ... sebagian masyarakat golongan bawah menangis tanpa daya karena anak yang dilahirkan tersandera di rumah sakit oleh ketiadaan biaya.


Itulah sebagian kenyataan kondisi sosial-ekonomi negara kita yang tercinta.

Distribusi kekayaan (gross domestic product) Indonesia yang katanya sudah relatif meningkat lagi setelah hancur luluh lantak selama periode tahun 1997 - 1998, tidak merata dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Jumlah penduduk kaya memang meningkat namun kita tidak pernah memiliki data yang valid berapa banyak jumlah penduduk yang kekayaannya meningkat pesat dan darimana asal kekayaan. Satu-satunya fakta yang bisa kita lihat dan rasakan adalah maraknya kasus penyalahgunaan wewenang oleh pejabat atau aparat-aparat demi penumpukan kekayaan.


Kita tahu, salah satu kelemahan masyarakat dan pemerintahan Indonesia adalah "catatan/data" tidak tersimpan dan terpelihara dengan baik. Data resmi yang tersaji di BPS - Biro Pusat Statistik seringkali kurang up to date. Kita juga memiliki kelemahan dalam analisa masalah. Di samping itu, masyarakat kita seringkali "mencurigai dan mencari kambing hitam" tatkala ada survey, temuan atau data yang sedikit menyimpang dari "impian" yang kita bangun sendiri untuk kepuasan diri. Lembaga survey tidak lagi bisa dipercaya karena dalam bisik-bisik dikatakan bahwa hasil survey bisa dibuat sesuai pesanan. Apapun bisa dibuat sesuai pesanan, selama imbalannya memuaskan. 

Akhirnya, kita mungkin memang tidak pernah/belum mampu untuk menerima kekurangan diri sendiri untuk kemudian menggunakannya sebagai alat untuk mengevaluasi demi perbaikan dan kemajuan diri. Kita cenderung mencari kambing hitam. Saat ada orang membicarakan tentang perbedaan antara si kaya dan si miskin, tudingan atas kemungkinan timbul dan hidupnya kembali paham komunisme segera menyeruak. Padahal .... 


Jangan katakan pemahaman ini sebagai awal kebangkitan komunisme di Indonesia, 

Cobalah sedikit berempati ke sekeliling kita ... 
Tajamkan mata hati dan nurani kita .... 
Maka kita bisa tahu dan merasakan bahwa sesungguhnya disparitas antara si kaya dan si miskin memang ada. Bukan karena negara Indonesia miskin tetapi karena distribusi kekayaan negeri ini tidak merata. Hanya dikuasai "secara serakah" oleh segelintir kelompok orang.

Inilah kenyataan kondisi ekonomi yang riel di negara Indonesia tercinta. 
Jangan mencari kambing hitam. 
Lebih baik kita sadarai bahwa banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan negeri ini.
Demi Indonesia tercinta .....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...