Anak lelaki itu berjalan terseok-seok dengan susah payah, di sela-sela kendaraan yang sedang antri di per4an jalan Pati Unus dengan jalan Kyai Maja. Kulitnya hitam mengkilat dan badannya bulat - liat. Sekel ... begitu konon istilahnya dalam bahasa Jawa. Di bahunya tergantung kantung kresek bening yang masih terisi penuh. Sementara di tangannya, tergenggam beberapa kantung kertas tissu yang dijualnya.
Dia tak mampu berjalan cepat ...., tidak seperti temen-temannya lainnya yang langsung berlarian menjajakan tissu. Rp.10.000,- untuk 3 bungkus tissu. Kalau kita diam saja, dia akan menurunkan harga jualnya menjadi Rp.10.000,- untuk 4 bungkus.
Saya melihatnya untuk pertama kali sedang menjajakan dagangan yang sama, tissue muka di warung yang buka di sepanjang jalan Raden Patah, di antara gedung kantor Kementerian Pekerjaan Umum dengan masjid Al Azhar, di suatu malam minggu usai menunaikan shalat Maghrib. Kala itu, kami sedang kebingungan mengisi acara dan encari tempat makan, sambil menunggu anak gadis kami yang menghadiri acara ulang tahun teman sekolahnya di Residence 8 - jalan Senopati.
Langkahnya yang terseok-seok itulah yang menarik perhatian saya. Rupanya dia menderita cacat bawaan. Salah satu telapak kakinya tumbuh tidak sejajar dengan telapak kakinya satunya lagi. Sehingga, kalau dia berdiri maka salah satu telapak kakinya tumbuh tegak lurus terhadap kaki yang satunya lagi. Itulah yang menyebabkannya kesulitan berjalan.
Malam itu, dia memang tidak menghampiri kami ... atau mungkin lebih tepat, saya tidak memperhatikan kehadirannya. Hanya saja begitu dia menjauh dan saya juga selesai menikmati makanan, maka baru saya memperhatikannya dari kejauhan dan menyadari kondisi tubuhnya. Prihatin dengan kondisinya, sambi berjalan menuju mobil, saya menyelipkan sedikit uang di genggaman tangannya, begitu saja agar tidak terlihat terlalu mencolok.
Beberapa hari kemudian saya mulai melihat kehadirannya di per4an Pati Unus dan Kyai Maja itu, setiap jam pulang kantor menjelang maghrib.
"Bu .... beli tissunya ya .... sepuluh ribu tiga bu ....!"
"Wah .... saya masih punya tissu. Lihat deh, kotak tissue nya masih penuh kan...? Saya kasih duit aja deh ....!"
"Jangan bu ...., mending ibu beli aja... Biar dagangan saya cepat habis.... 10 ribu empat deh ....", sahutnya lagi dengan wajah memelas.
Prihatin dengan kondisinya, saya ingat di samping tempat duduk ada uang lembaran 2.000 yang biasa digunakan untuk parkir. Saya ambil 10 lembar untuk membayarnya.
"Uangnya lebih bu ...."
"Iya ... nggak apa..., ambil aja...."
"Nanti saya dimarahi bu .....!"
"Siapa yang marah ....?"
oups ..... belum sempat pertanyaan saya terjawab, lampu lalu lintas sudah berubah hijau.
Sejak itu, seminggu 2x, anak lelaki itu selalu menghampiri mobil saya, setiap kali saya terhenti di per4an tersebut dan saya selalu tidak sampai hati untuk menolaknya. Maka jadilah bungkusan tissu tersebut menumpuk di dalam mobil.
"Kamu tinggal dimana ...?" tanya saya pada suatu sore.
"Di Tanjung Duren bu ..."
"Masih sekolah ...?"
"Masih bu ..."
"Oh ......"
Terbayang betapa jauhnya jarak dari Tanjung Duren ke wilayah Blok M untuk lokasi dagang anak sekolah dasar. Kemana orangtuanya ....? Sebegitu miskinkah mereka hingga anaknyapun harus turut mencari nafkah. Terbersit juga pikiran, andai anak itu yatim piatu, mungkin urusan bisa lebih mudah. Tinggal mengajaknya tinggal di rumah dan memberikannya kesempatan untuk bisa sekolah dengan tenang dan memperoleh lingkungan hidup yang lebih baik.
"Ibu dan bapakmu masih ada...?"
"Masih bu ...., masih lengkap ...!"
Wah ...., susah juga kalau begini. Walau tidak ingin berburuk sangka, tetapi bukan tidak mungkin, justru orangtuanyalah yang memanfaatkan kecacatan si anak untuk mengetuk rasa iba orang sehingga jualannya bisa lebih cepat laku.
***
Pedagang asongan anak-anak banyak berseliweran di per4an jalan. Umumnya menjual kertas tissu atau bunga mawar, kalau malam minggu. Usianya rata-rata masih di bawah 12 tahun. Bahkan ada juga pedagang asongan anak yang bahkan tinggi badannya pun masih belum mencapai tinggi lampu kaca spion mobil sedan. Entah berapa usia anak sekecil itu.
Sedih rasanya melihat anak-anak sekecil itu berkeliaran dan berlarian di antara mobil-mobil yang sedang antri di per4an jalan menunggu lampu hijau.
Saya lalu teringat pada KPAI alias Komite Perlindungan Anak Indonesia yang beberapa tahun lalu begitu getol menjadi mediator perebutan anak antara anak mantan penguasa negeri ini dengan mantan istrinya yang "kabur" ke Singapore. Tidak juga bisa kita lupakan betapa mereka begitu gegap gempita melindungi Arumi Bachsin saat dia berselisih dengan ibu kandungnya serta berbagai kasus yang menimpa beberapa selebriti negeri.
Mungkin KPAI juga banyak melindungi anak-anak jermal atau pedagang asongan anak-anak, namun karena nilai beritanya tidak menaring, maka media massa tidak meliputnya. Tetapi .... tentu menjadi pertanyaan besar ... mengapa pedagang asongan anak makin bertambah jumlahnya .... Mengapa anak-anak kecil masih bisa berkeliaran dan berlarian hingga larut malam di per4an jalan raya? Dan yang sangat menyedihkan ..... kondisi ini terjadi di ibukota negara .... tempat domisili KPAI yang Komite Perlindungan Anak Indonesia ...
Masih adakah mereka .....?
Tolonglah anak Indonesia dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah itu .... Mereka jauh lebih memerlukan kehadiran anda dibandingkan para selebriti yang pasti mampu membayar pengacara untuk membantu mengatasi masalahnya.
Memang tidak mudah menyelesaikan masalah ini.
Sudah menjadi lingkaran setan yang mungkin sulit terurai
Tapi tentu bukan mustahil bila dilakukan dengan penuh kesabaran
Keikhlasan ....
Niat baik dan rasa cinta
Wallahu alam ...
Dia tak mampu berjalan cepat ...., tidak seperti temen-temannya lainnya yang langsung berlarian menjajakan tissu. Rp.10.000,- untuk 3 bungkus tissu. Kalau kita diam saja, dia akan menurunkan harga jualnya menjadi Rp.10.000,- untuk 4 bungkus.
Saya melihatnya untuk pertama kali sedang menjajakan dagangan yang sama, tissue muka di warung yang buka di sepanjang jalan Raden Patah, di antara gedung kantor Kementerian Pekerjaan Umum dengan masjid Al Azhar, di suatu malam minggu usai menunaikan shalat Maghrib. Kala itu, kami sedang kebingungan mengisi acara dan encari tempat makan, sambil menunggu anak gadis kami yang menghadiri acara ulang tahun teman sekolahnya di Residence 8 - jalan Senopati.
Langkahnya yang terseok-seok itulah yang menarik perhatian saya. Rupanya dia menderita cacat bawaan. Salah satu telapak kakinya tumbuh tidak sejajar dengan telapak kakinya satunya lagi. Sehingga, kalau dia berdiri maka salah satu telapak kakinya tumbuh tegak lurus terhadap kaki yang satunya lagi. Itulah yang menyebabkannya kesulitan berjalan.
Malam itu, dia memang tidak menghampiri kami ... atau mungkin lebih tepat, saya tidak memperhatikan kehadirannya. Hanya saja begitu dia menjauh dan saya juga selesai menikmati makanan, maka baru saya memperhatikannya dari kejauhan dan menyadari kondisi tubuhnya. Prihatin dengan kondisinya, sambi berjalan menuju mobil, saya menyelipkan sedikit uang di genggaman tangannya, begitu saja agar tidak terlihat terlalu mencolok.
Beberapa hari kemudian saya mulai melihat kehadirannya di per4an Pati Unus dan Kyai Maja itu, setiap jam pulang kantor menjelang maghrib.
"Bu .... beli tissunya ya .... sepuluh ribu tiga bu ....!"
"Wah .... saya masih punya tissu. Lihat deh, kotak tissue nya masih penuh kan...? Saya kasih duit aja deh ....!"
"Jangan bu ...., mending ibu beli aja... Biar dagangan saya cepat habis.... 10 ribu empat deh ....", sahutnya lagi dengan wajah memelas.
Prihatin dengan kondisinya, saya ingat di samping tempat duduk ada uang lembaran 2.000 yang biasa digunakan untuk parkir. Saya ambil 10 lembar untuk membayarnya.
"Uangnya lebih bu ...."
"Iya ... nggak apa..., ambil aja...."
"Nanti saya dimarahi bu .....!"
"Siapa yang marah ....?"
oups ..... belum sempat pertanyaan saya terjawab, lampu lalu lintas sudah berubah hijau.
Sejak itu, seminggu 2x, anak lelaki itu selalu menghampiri mobil saya, setiap kali saya terhenti di per4an tersebut dan saya selalu tidak sampai hati untuk menolaknya. Maka jadilah bungkusan tissu tersebut menumpuk di dalam mobil.
"Kamu tinggal dimana ...?" tanya saya pada suatu sore.
"Di Tanjung Duren bu ..."
"Masih sekolah ...?"
"Masih bu ..."
"Oh ......"
Terbayang betapa jauhnya jarak dari Tanjung Duren ke wilayah Blok M untuk lokasi dagang anak sekolah dasar. Kemana orangtuanya ....? Sebegitu miskinkah mereka hingga anaknyapun harus turut mencari nafkah. Terbersit juga pikiran, andai anak itu yatim piatu, mungkin urusan bisa lebih mudah. Tinggal mengajaknya tinggal di rumah dan memberikannya kesempatan untuk bisa sekolah dengan tenang dan memperoleh lingkungan hidup yang lebih baik.
"Ibu dan bapakmu masih ada...?"
"Masih bu ...., masih lengkap ...!"
Wah ...., susah juga kalau begini. Walau tidak ingin berburuk sangka, tetapi bukan tidak mungkin, justru orangtuanyalah yang memanfaatkan kecacatan si anak untuk mengetuk rasa iba orang sehingga jualannya bisa lebih cepat laku.
***
Pedagang asongan anak-anak banyak berseliweran di per4an jalan. Umumnya menjual kertas tissu atau bunga mawar, kalau malam minggu. Usianya rata-rata masih di bawah 12 tahun. Bahkan ada juga pedagang asongan anak yang bahkan tinggi badannya pun masih belum mencapai tinggi lampu kaca spion mobil sedan. Entah berapa usia anak sekecil itu.
Sedih rasanya melihat anak-anak sekecil itu berkeliaran dan berlarian di antara mobil-mobil yang sedang antri di per4an jalan menunggu lampu hijau.
Saya lalu teringat pada KPAI alias Komite Perlindungan Anak Indonesia yang beberapa tahun lalu begitu getol menjadi mediator perebutan anak antara anak mantan penguasa negeri ini dengan mantan istrinya yang "kabur" ke Singapore. Tidak juga bisa kita lupakan betapa mereka begitu gegap gempita melindungi Arumi Bachsin saat dia berselisih dengan ibu kandungnya serta berbagai kasus yang menimpa beberapa selebriti negeri.
Mungkin KPAI juga banyak melindungi anak-anak jermal atau pedagang asongan anak-anak, namun karena nilai beritanya tidak menaring, maka media massa tidak meliputnya. Tetapi .... tentu menjadi pertanyaan besar ... mengapa pedagang asongan anak makin bertambah jumlahnya .... Mengapa anak-anak kecil masih bisa berkeliaran dan berlarian hingga larut malam di per4an jalan raya? Dan yang sangat menyedihkan ..... kondisi ini terjadi di ibukota negara .... tempat domisili KPAI yang Komite Perlindungan Anak Indonesia ...
Masih adakah mereka .....?
Tolonglah anak Indonesia dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah itu .... Mereka jauh lebih memerlukan kehadiran anda dibandingkan para selebriti yang pasti mampu membayar pengacara untuk membantu mengatasi masalahnya.
Memang tidak mudah menyelesaikan masalah ini.
Sudah menjadi lingkaran setan yang mungkin sulit terurai
Tapi tentu bukan mustahil bila dilakukan dengan penuh kesabaran
Keikhlasan ....
Niat baik dan rasa cinta
Wallahu alam ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar