Era social media pada abad ke 21 dan ditunjang dengan era keterbukaan dan demokrasi di Indonesia menyuburkan keberadaan netizen. Masyarakat memiliki media untuk mengekspresikan segala yang ada di pikiran dan hatinya dalam bentuk tulisan yang bernada positif maupun negatif serta dalam bentuk foto. Tulisan tersebut juga mencakup kritikan pedas/pujian, saran, makian kasar terutama kepada pemerintah yang tidak disukai dan bahkan tulisan berupa fitnah keji. Hal terakhir ini banyak terjadi pada masa kampanye pilpres 2014 yang baru lalu. Yang bekas-bekasnya masih terasa hingga saat ini.
Tulisan berisi fitnah memang sudah mulai mereda ... untuk tidak atau belum bisa dikatakan berhenti. Yang belakangan ini menonjol adalah penolakan terhadap rencana pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta yang dilakukan oleh segelintir masyarakat dengan membawa label agama. Penolakan dengan alasan bahwa Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta yang sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta beragama non muslim.
Tentu menjadi sangat menyedihkan bahwa hal ini terjadi di ibukota negara yang diandaikan bahwa penduduknya lebih berpendidikan, terbuka alias open minded, heterogen dan lainnya yang seharusnya mencirikan strata sosial-ekonomi-politik dan budaya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian wilayah manapun di Indonesia. tapi.... itulah yang terjadi.
Di luar isu agama, Ahok - panggilan Plt Gubernur DKI Jakarta ini, bersama Presiden RI terpilih Joko Widodo dilanda beragam isu negatif berkenaan (tentu saja) masalah pengelolaan pemerintahan mereka di DKI Jakarta yang ujung-ujungnya berkaitan dengan pengelolaan dana. Mereka dituduh korupsi .... Begitu bahasa jelasnya.
Saya tidak ingin menyoroti masalah tuduhan itu karena memang tidak memiliki bukti baik untuk membenarkan ataupun membantah tuduhan itu, tapi hanya ingin menuliskan pengalaman dan pengamatan atas perubahan yang terjadi di Jakarta selama masa pemerintahan pasangan Jokowi - Ahok yang baru mau memasuki tahun ke 3 ini.
Saya lahir di Jakarta namun besar di daerah. Masa kuliah saya lewati di Jakarta, namun setelah menikah saya keluar lagi dari Jakarta dan baru kembali masuk ke Jakarta pada tahun 2000. Jadi sudah masuk tahun ke 15 saya kembali bermukim di wilayah DKI Jakarta.
Jakarta tentu banyak mengalami perubahan fisik. Gedung bertingkat modern tumbuh memenuhi seluruh wilayah DKI Jakarta bahkan berimbas ke kota-kota/wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta seperti Bekasi-Tangerang dan Depok. Di balik semua perkembangan dan pertumbuhan tersebut, ada satu kehilangan yang mencirikan pembangunannya. Pada era pemerintahan ALI SADIKIN, perkembangan dan pembangunan kota ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Bang Ali membangun gelanggang remaja dan kolam renang di 5 wilayah Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pemindahan kebun binatang dari kawasan Cikini ke Ragunan, pembangunan TMII, Taman Impian Jaya Ancol, Pusat Perfilman Usmar Ismail, Gelanggang Mahasiswa dan banyak lagi. Itu hanya sebagian hasil kerja bang Ali Sadikin.
Pada masa itu beragam pembangunan fasilitas kota ditujukan bagi masyarakat umum non komersial. Kalaupun ada tiket masuk, maka harga tiketnya adalah minimal. Berbeda dengan era selanjutnya, pekembangan dan pembangunan fasilitas kota lebih banyak dilakukan oleh kalangan swasta dan tentunya dengan tujuan komersial. Bahkan ..... beberapa fasilitas umum milik Pemda DKI saat ini malah dikuasai dan dikelola swasta.
Selama masa 15 tahun tinggal di kawasan Jakarta Selatan, baru pada masa pemerintahan Jokowi-Ahok saya melihat, merasakan dan menikmati mulusnya jalan raya dari rumah ke kantor serta beberapa jalan raya lainnya. Mengapa ...? Karena jalan rusak yang semula dan biasanya hanya diperbaiki secara sporadis dan setempat, sejak ditangani oleh Jokowi-Ahok diperbaiki dan dilapis ulang sepenuhnya. Bukan lapis ulang hotmix sekedarnya tetapi betul-betul lapisan ulang standard setebal 5cm. Darimana mereka memilik dana? Padahal kita sama tahu bahwa APBD DKI Jakarta sempat "dijegal" oleh DPRD.
Pemda DKI di bawah kepemimpinan Jokowi memang menuai banyak kritik misalnya karena penyerapan APBD rendah, tidak lagi memperoleh Adipura, penilaian "buruk" BPK atas audit keuangan, kegagalan proyek pemesanan bus transJakarta yang memupus keberhasilan program prorakyat lainnya yang dilaksanakan mereka.
Adalah suatu hal yang aneh, bagaimana pemda membiayai beragam programnya sementara penggunaan APBD, katanya terserap rendah. Ahok juga menyikapi dengan santai "kegagalan" Jakarta Pusat meraih Adipura untuk ke 3 kalinya karena dia menganggap bahwa seluruh wilayah DKI Jakarta memang belum layak menerima Adipura. Ini adalah jawaban yang sangat jujur ... karena memang, wilayah DKI yang layak dianugerahi Adipura hanyalah wilayah jalan protokol dan kawasan perumahan elite.
Jokowi dan kini Ahok yang belum juga dikukuhkan sebagai gubernur DKI Jakarta memang tidak luput dari kekurangan..... tapi saya percaya bahwa dia punya niat tulus membangun DKI Jakarta. Keberhasilannya kelak dalam membangun DKI Jakarta sangat mungki menjadi "tiket: buat Ahok merambah posisi lebih tinggi, sebagai presiden RI.... Kenapa tidak, kalau memang dia bisa dan mampu membuktikan keberhasilannya ....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar