Entah siapa yang memulai .....
Mungkin sejak pemerintahan babak
pertama Susilo Bambang Yudoyono, penentuan menteri kabinet digelar seperti
pelaksanaan fashion show parade. Satu demi satu calon menteri dipanggil ke
kediamannya di Cikeas. Entah apa yang diperbincangkan di "dalam",
yang pasti, usai bertemu dan di "interogasi" presiden terpilih, sang calon konon diminta
menandatangani pakta integritas. Entah apa isi sebenarnya dari pakta
integritas. Pada kenyataannya, pada masa pelaksanaan tugas, pakta integritas yang telah ditandatangani itu juga tidak "berbunyi" apa-apa.....
Kemudian .... sang calon dengan
"agak canggung ... entah ge-er atau jaga image alias jaim, dikerubuti
wartawan di tanya ini-itu dan menjawab basa-basi bilang cuma diajak
omong ini itu tanpa arah .... Dan jawaban ini tentu saja basa basi yang benar-benar
basi dan nggak bermutu.
Sementara di media massa, baik televisi yang sekarang
jumlahnya seabreg-abreg, maupun media cetak para pengamat politik dan elemen
masyarakat lainnya berkomentar panjang lebar, tentang calon menteri maupun tata
cara presiden menentukan menterinya ... Sok kritis, sok analitis ... tapi
mungkin lebih banyak dan lebih tepat disebut sok tahu ... Sok tahu masalah, sok
tahu kondisi internal dan banyak sok-sok lainnya. Begitu juga yang terjadi di
kalangan netizens.
Persis seperti laiknya penonton sepak bola .... Banyak
komentar, teriak-teriak, mencaci maki pemain maupun pelatihnya.... Padahal,
belum tentu si penonton bisa main sepak bola dengan benar. Jangankan bermain sepak bola...,
lari 1 kali putaran lapangan bola saja belum tentu sanggup. Apalagi lari sambil
mengamati larinya tendangan bola, memposisikan diri di arah operan teman atau
merebut bola dari lawan serta menyelamatkan gawang dari serbuan tendangan bola
lawan.
Para kritikus dadakan itu, termasuk juga para netizen mungkin lupa bahwa ada makna yang tersirat atas sambutan dukungan masyarakat yang luar biasa usai pelantikan presiden. Yaitu ... masyarakat berharap banyak pada presiden dan mereka akan mengamati siapa yang dipilih sebagai menteri dan bagaimana kinerja pemerintahan mendatang. Tidak ada makan siang yang gratis ..... maka tidak ada pula sambutan tanpa harapan yang besar.
Kerja pemerintah mendatang pasti sangat berat. Belum lagi hambatan teknis dan
non teknis yang menyertai "luka" pertarungan pemilihan presiden yang
baru lalu. Walau sang kompetitor sudah meraih simpati publik kembali dengan
penampilan dan kehadirannya saat pelantikan presiden terpilih. Namun aroma persaingan masih
belum luntur baik di kalangan masyarakat maupun di arena "lembaga
legislatif". Di bilang menjegal kelancaran pemerintahan, pasti mereka
tidak sudi... Tapi gestur tubuh, mimik muka maupun susunan pilihan kata sudah
menunjukkan segalanya.
Apalagi sang presiden juga "mengacak-acak"
nomenklatur-penamaan kementeriannya. Walau maksudnya baik, untuk menyesuaikan
dengan program kerja, akan selalu ada ketidaksukaan yang bisa jadi ada dasarnya
namun bisa juga sekedar bermain-main untuk mengetest "kemampuan"
presiden menangani "konflik kepentingan ini. Tapi begitulah yang namanya
penonton .... termasuk kita sebagai penonton/masyarakat yang menunggu susunan
kabinet Presidensial 2014-2014.
Sepertinya, penentuan dan
penetapan menteri kabinet pada era pak Harto dulu, jauh lebih baik
... "Kontes" menteri dijalankan dalam senyap, tidak banyak
melibatkan orang lain. Atau mungkin juga karena yang dilibatkan oleh pak Harto
dalam penentuan menteri sangat menjaga "mulut" mereka. Tinggallah
mereka yang merasa "gede rasa alias ge-er" dan yang sangat
berambisi menjadi menteri kasak-kusuk mencari celah agar nama dan kemampuannya
masuk "radar cendana".
Mereka berharap cemas dan bisa jadi tidak bisa
tidur berhari-hari. Menunggu telpon dari cendana ... Padahal ... bisa jadi dering telpon yang
kemudian datang malah telpon debt collector atau dari orang-orang iseng mempermainkan mereka karena tahu persis betapa ngebetnya si dia menjadi menteri ...
Walau begitu ...
Itulah
simbol HAK PREROGATIF presiden sepenuhnya ...
Memang jaman berbeda ...
Presidennya juga berbeda ....
Harus diakui, Suharto memang powerful ...
Dan dia juga diktator yang bersembunyi dalam kelembutan etnis Jawa
yang sangat menguasai medan pertarungan...
Di balik senyumannya yang lembut mengayomi
dari Sang jendral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar