Kamis, 01 Januari 2015

EVALUASI AKHIR TAHUN?? Nggaklah ...

Sore tadi, Rabu 31 Desember, hari terakhir di tahun 2014, kami baru kembali dari kunjungan selama 4 hari 3 malam ke Palembang. Ini adalah kunjungan pertama setelah sekitar 40 tahun yang lalu, Kebetulan suami mendapat undangan untuk hadir dalam acara pengukuhan guru besar di Departemen Teknik Mesin - Universitas Sriwijaya dan kebetulan juga sedang libur akhir tahun dan tidak ada rencana acara liburan kemanapun juga. Jadi .... ikutlah ke Palembang.

Malam ini, adalah malam pertama di tahun 2015, usai berbuka puasa dan sambil mendengar acara berita di televisi yang sebagian besar diisi dengan update upaya evakuasi korban musibah penerbangan air Asia yang terjadi pada tanggal 28 Desember yang lalu, tepat dengan hari keberangkatan kami ke Palembang, saya berupaya meneruskan tulisan yang sebetulnya sudah agak lama tertunda.

Saya, sebetulnya, bukan orang yang suka membuat resolusi menjelang pergantian tahun sehingga tentu juga tidak akan melakukan evaluasi tentang apa yang sudah saya lakukan sepanjang tahun 2014 dan apa yang akan saya lakukan di sepanjang tahun 2015 mendatang. Hidup .... biarkanlah berlalu apa adanya saja. Seperti aliran air di sungai ... toh akhirnya akan mencapai muara .... 

Lelah sekali kalau kita harus mematok target dan kemudian mengevaluasinya. Mungkin juga karena faktor umur dan beragam peristiwa yang pernah terjadi dan masih sangat membekas dalam sehingga saya merasa harus meredam beragam ambisi.

Khusus kali ini, rasanya saya hanya akan bercerita saja tentang apa yang terjadi di hari terakhir hari kerja di tahun 2014. Senin 22 Desember 2014
***

Hari itu .... sementara saya sedang mengetik sesuatu di Mac book pro, seorang staff kantor masuk ruangan. Sambil mempersilakannya duduk, saya melihatnya seperti agak salah tingkah.
"Bu ... maaf .... saya mau pamit ....."
"Lho ......? Resign ya .... kapan?
"Pertengahan Januari bu! 15 Januari ..."
"Wah ... mendadak sekali ya ...? Aturannya kan 1 month notice?"
"Maaf bu ... saya baru dapat kabar hari Jum'at dan tanggal 15 Januari itu harus apel sambil melengkapi data administrasi yang kurang ...."
"Oh .... OK, gak masalah .... buat aja surat ke HRD, pemberitahuan pengunduran diri, lalu coba telpon managermu. Tanya, kapan dia masuk kantor setelah cuti melahirkan itu... Siapkan serah terimanya. Kita bicara begitu masuk kantor, nanti. Dokumen2 dan administrasi bisa diserahkan ke managermu. Bagian tekniknya biar langsung saja sama saya ... pak E, mungkin akan lama di luar kota dan baru akan kembali kalau sudah ada manager teknik proyek".
"Baik bu ..."
"Pindah kemana ...?"
"Kemenkeu bu ..."
"Oh .... OK ... baguslah, kalau begitu ...! Selamat ... Semoga tempat itu jadi pelabuhan terakhir dan cocok buatmu"

Setelah itu, kami bicara beragam hal. Sambil bicara, ingatan saya melayang-layang pada anak sulung saya yang entah sedang apa saat itu ... Di suatu negeri asing yang telah menjadi pilihannya untuk menetap sejak 12 tahun yang lalu.
***

Sejujurnya ... saya memang tidak terlalu berharap staff tersebut akan betah bekerja di kantor tepat saya bekerja. Ada berapa hal yang mendasarinya .... Pertama tentu saja saya peroleh saat pertama saya bertemu dan merekrutnya. Dia menyebutnya hanya akan bekerja paling lama 5 tahun saja di kantor kami.

Jawaban itu bagi saya cukup "fair" .... Dulu, saat pertama bekerja, sayapun mematok waktu 5 tahun untuk bekerja di suatu kantor. Kalau dalam jangka waktu tersebut saya merasa "tidak memperoleh apa-apa", maka saya akan mengundurkan diri, mencari kesempatan lain yang lebih baik. Harap bisa dimengerti karena masa kerja sejak lulus hingga usia 35 tahun adalah masa keemasan untuk mendapatkan remunerasi maupun kesempatan yang dialokasikan untuk meraih jenjang karir terutama bagi yang bekerja di sektor swasta. Selebihnya... setelah usia tersebut, karir relatif menjadi lebih stagnan

Itu sebabnya, orang muda pada range umur itu seringkali berganti pekerjaan. Tetapi ... terlalu sering mengganti pekerjaan juga akan menimbulkan pertanyaan bagi para recruiter ... Apakah ada yang salah dengan orang tersebut.

Hal lain yang turut mengambil peran dalam menentukan sektor pekerjaan, adalah latar belakang keluarga, baik keluarga asal maupun keluarga pasangan. Sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki pola pikir feodalistis. Menjadi Pegawai Negeri Sipil alias PNS dengan harapan suatu waktu nanti akan menjadi pejabat terpandang, baik apakah itu pada level daerah setempat (kabupaten, provinsi) maupun pada level nasional. Syukur-syukur kalau suatu saat terpilih jadi menteri, tapi minimal sebagai pejabat karier, level eselon 1 tentu jadi harapan. 

Posisi sebagai "penentu kebijakan umum" yang wajib "dipatuhi" seluruh anak negeri menjadi suatu previlege yang tidak mungkin diperoleh kala kita bekerja di sektor swasta. Setinggi-tingginya jabatan di sektor swasta, dia akan tetap "menundukkan" kepala ... mematuhi segala aturan yang dibuat "pejabat negara"..... Walau di belakang, misuh-misuh ... hehe ...

Atas dasar itulah, saya akan sangat memaklumi bila ada staff yang mengundurkan diri untuk kemudian menjadi PNS atau minimal menjadi pegawai BUMN. Namun demikian ... saya akan jauh lebih salut dan bangga bila ada yang mengundurkan diri dengan alasan ingin membangun bisnis sendiri ..... Ini jarang dan sampai saat ini belum pernah terjadi. Yang lebih banyak terjadi adalah, staff yang memanfaatkan waktu luang di luar kantor untuk berbisnis dan lebih parah lagi memanfaatkan fasilitas kantor untuk melaksanakan bisnisnya. Apalagi hampir semua kantor saat ini dilengkapi dengan saluran internet dan online business sedang menjadi kecenderungan utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...