Entah sudah berapa kali saya menghadiri acara wisuda sarjana dan penerimaan mahasiswa baru di universitas Indonesia, namun acara pada tanggal 28 - 19 Agustus 2015 ini terasa sedikit lebih istimewa karena anak kedua saya ada di dalam barisan mahasiswa baru. Itu sebab, sejak awal sudah saya pesankan pada suami bahwa saya akan hadir di acara tersebut. Ge-er banget hehe ....
Siang hari, Jum'at 28 Agustus 2015, usai shalat Dhuhur, saya segera meluncur ke kampus UI di Depok, menjemput suami dulu di kantornya lalu masuk ke gedung pusat administrasi universitas, tempat peserta acara berkumpul.
Sekitar jam 14.15, kami para pendamping, di antar menuju Balairung Universitas Indonesia karena acara sudah akan dimulai. Saya bersyukur mendapat tempat di jajaran pertama Balairung, arah jalan keluar rektor dan guru besar.
Sepertinya ada yang berubah dari suasana wisuda dan penerimaan mahasiswa baru kali ini, terutama tentunya dari kemeriahan dan keriuhan teriakan para mahasiswa baru meneriakkan yel-yel fakultasnya. Kondisi ini sebetulnya sudah mulai terasa saat mahasiswa baru mengikuti masa orientasi kegiatan kampus - OKK dan MADK (yang ini saya lupa apa singkatannya) dimana kelompok mahasiswa baru yang terdiri dari 10 orang, diwajibkan terdiri dari beragam fakultas dan membaurkan antara rumpun science, humaniora dan kesehatan. Tentu maksudnya agar ego fakultas menjadi hilang. Baguslah ..... kita memang harus bersatu dan menghilangkan ego sektoral. Indonesia harus bersatu padu terutama menghadapi era MEA alias Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai berlaku pada bulan Desember 2015.
Kalaupun ada yang hilang dari wisuda sarjana & penerimaan mahasiswa baru tahun 2015 ini hanyalah kemeriahan dan keriuhannya saja. Acara menjadi "sedikit lebih senyap", kurang greget ... tapi, andai kesenyapan itu mampu diganti dengan kesadaran bahwa mahasiswa baru Universitas Indonesia adalah bagian dari suatu kesatuan bangsa dan negara Indonesia yang harus saling menguatkan dan kompak untuk masa depan bangsa, kenapa tidak...? Hal ini tentu harus dimulai dari kampus, karena mahasiswa adalah calon pemimpin dan penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara. Harapan dan masa depan kita semua.
***
Mungkin banyak diantara kita yang belum sadar bahwa pada akhir tahun 2015 ini, yaitu pada bulan Desember 2015, perjanjian/kesepakatan untuk menyatukan bangsa - bangsa ASEAN ke dalam suatu ikatan masyarakat berbasis ekonomi, mulai diberlakukan.
Apakah MEA itu?
Siang hari, Jum'at 28 Agustus 2015, usai shalat Dhuhur, saya segera meluncur ke kampus UI di Depok, menjemput suami dulu di kantornya lalu masuk ke gedung pusat administrasi universitas, tempat peserta acara berkumpul.
Sekitar jam 14.15, kami para pendamping, di antar menuju Balairung Universitas Indonesia karena acara sudah akan dimulai. Saya bersyukur mendapat tempat di jajaran pertama Balairung, arah jalan keluar rektor dan guru besar.
Sepertinya ada yang berubah dari suasana wisuda dan penerimaan mahasiswa baru kali ini, terutama tentunya dari kemeriahan dan keriuhan teriakan para mahasiswa baru meneriakkan yel-yel fakultasnya. Kondisi ini sebetulnya sudah mulai terasa saat mahasiswa baru mengikuti masa orientasi kegiatan kampus - OKK dan MADK (yang ini saya lupa apa singkatannya) dimana kelompok mahasiswa baru yang terdiri dari 10 orang, diwajibkan terdiri dari beragam fakultas dan membaurkan antara rumpun science, humaniora dan kesehatan. Tentu maksudnya agar ego fakultas menjadi hilang. Baguslah ..... kita memang harus bersatu dan menghilangkan ego sektoral. Indonesia harus bersatu padu terutama menghadapi era MEA alias Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan mulai berlaku pada bulan Desember 2015.
Kalaupun ada yang hilang dari wisuda sarjana & penerimaan mahasiswa baru tahun 2015 ini hanyalah kemeriahan dan keriuhannya saja. Acara menjadi "sedikit lebih senyap", kurang greget ... tapi, andai kesenyapan itu mampu diganti dengan kesadaran bahwa mahasiswa baru Universitas Indonesia adalah bagian dari suatu kesatuan bangsa dan negara Indonesia yang harus saling menguatkan dan kompak untuk masa depan bangsa, kenapa tidak...? Hal ini tentu harus dimulai dari kampus, karena mahasiswa adalah calon pemimpin dan penggerak kehidupan berbangsa dan bernegara. Harapan dan masa depan kita semua.
***
Mungkin banyak diantara kita yang belum sadar bahwa pada akhir tahun 2015 ini, yaitu pada bulan Desember 2015, perjanjian/kesepakatan untuk menyatukan bangsa - bangsa ASEAN ke dalam suatu ikatan masyarakat berbasis ekonomi, mulai diberlakukan.
MEA–Masyarakat Ekonomi Asean atau juga disebut AEC (Asean
Economic Community) adalah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN. MEA dirancang
untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020, dan telah disepakati oleh seluruh negara
anggota ASEAN lebih dari 1 dekade yang lalu.
Apa artinya bagi
kita, bagi masyarakat di Negara–Negara ASEAN dan khususnya Indonesia? Itu berarti bahwa Indonesia
harus mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang trampil, cerdas, dan kompetitif
untuk menghadapi persaingan yang akan sangat ketat dan berat. Ketat dan berat karena Indonesia dan negara manapun yang tergabung dalam ASEAN tidak bisa menutup diri dari masuknya barang dan/atau tenaga kerja dari negara ASEAN. Ini bisa dikatakan sebagai awal pemberlakuan WTO beberapa tahun yang datang.
Siapkah kita–Indonesia menghadapi persaingan yang akan
dimulai di akhir tahun 2015?[i]
Untuk menjawab pertanyan itu, kita perlu memperhatikan unsur apa saja yang akan dan harus diperhatikan dengan pemberlakuan MEA tersebut.
Ada empat hal yang akan menjadi fokus
MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk
Indonesia.
Pertama, Negara–Negara di kawasan
Asia Tenggara akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi
agar tidak terjadi hambatan atas pergerakan arus barang, jasa, investasi, modal
dalam jumlah yang besar, dan skilled labour dari satu negara ke negara lainnya
di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA dibentuk sebagai kawasan
ekonomi dengan tingkat kompetisi tinggi dan memerlukan suatu kebijakan yang
meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property
Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce agar tercipta iklim
persaingan yang adil; ada perlindungan dari sistem jaringan perlindungan
konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan
transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double
Taxation, dan; meningkatkan perdagangan berbasis online.
Ketiga, MEA dijadikan sebagai kawasan
perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil
Menengah (UKM) untuk meningkatkan kemampuan daya saing dan dinamisme UKM dengan
memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan
kemampuan sumber daya manusia dalam bidang keuangan, serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan
secara penuh terhadap perekonomian global dengan membangun sebuah sistem untuk
meningkatkan koordinasi dan bantuan terhadap negara-negara anggota yang kurang
berkembang agar terjadi peningkatkan partisipasi Negara Asean pada skala
regional termasuk untuk mengintegrasikannya secara global.
Berdasarkan ASEAN Economic
Blueprint, MEA menjadi sangat dibutuhkan untuk memperkecil kesenjangan
antara negara-negara ASEAN dalam hal pertumbuhan perekonomian dengan
meningkatkan ketergantungan anggota–anggota di dalamnya. MEA dapat
mengembangkan konsep meta-nasional dalam rantai suplai makanan, dan
menghasilkan blok perdagangan tunggal yang akan menangani dan bernegosiasi
dengan eksportir dan importir non-ASEAN.
Secara teroritis, bagi Indonesia, MEA
akan menjadi kesempatan untuk mengurangi hambatan perdagangan sehingga terjadi
peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Dari
aspek ketenagakerjaan, terdapat kesempatan yang sangat besar bagi para pencari
kerja karena tersedia lapangan kerja dengan berbagai kebutuhan akan keahlian
yang beraneka ragam di berbagai Negara ASEAN yang dapat dimasuki. Akses untuk
pergi keluar negeri dalam rangka mencari pekerjaan menjadi lebih mudah
bahkan bisa jadi tanpa ada hambatan tertentu. MEA juga menjadi kesempatan yang
bagus bagi para wirausahawan untuk mencari pekerja terbaik sesuai dengan
kriteria yang diinginkan.
Masyarakat Ekonomi Asean - MEA nantinya
tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga
kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya. MEA juga
mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi
perekrutan tenaga kerja asing. Keterbukaan ini jelas akan memunculkan risiko
ketenagakerjaan bagi Indonesia dilihat dari sisi pendidikan dan
produktivitas Indonesia. Walau
intinya, MEA lebih membuka peluang tenaga kerja asing untuk mengisi berbagai
jabatan serta profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya
namun persaingan di bursa tenaga kerja
akan semakin meningkat.[ii] Satu hal yang sudah bisa dipastikan, sarjana Indonesia dan tenaga kerja Indonesia pada umumnya akan dan harus bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN. Bukan saja di sesama negara ASEAN )luar negeri) tetapi bahkan di dalam negeri sendiri. Apalagi ada kecenderungan bahwa banyak perusahaan (swasta) yang lebih suka menggunakan tenaga asing pada posisi tinggi di perusahaan, karena pada umumnya tenaga kerja Indonesia menjadi lebih patuh bila pimpinannya adalah orang asing. Miris .....
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah
tenaga kerja Indonesia bisa bersaing dengan negara Asia Tenggara lain?
Secara jujur ada kekhawatiran karena banyak pekerja
muda yang belum menyadari adanya kompetisi yang semakin ketat. Selain kemampuan
Bahasa Inggris yang kurang, kesiapan mereka juga sangat tergantung pada mental.
Banyak yang belum tahu dan belum siap kalau mereka akan dan harus bersaing dengan tenaga asing, apalagi kalau harus
bekerja di luar Indonesia. Sementara di dalam negeri akan banyak perusahaan yang akan menemukan pegawainya kurang terampil
atau bahkan salah penempatan kerja karena kurangnya pelatihan dan pendidikan
profesi. Indonesia tentu tidak ingin
"kecolongan" dan tidak boleh kecolongan. Inilah wajah
persaingan kerja yang akan dihadapi oleh sarjana baru dalam waktu yang tidak terlalu lama
lagi.
Kita memang tidak perlu berkecil hati dengan persaingan era MEA tersebut. Kondisi ini harus dijadikan sebagai tantangan untuk membuktikan bahwa sarjana Indonesia,
dengan bekal yang sudah diperoleh dari institusi pendidikannya, mampu bersaing bukan saja di dalam
negeri tetapi mampu pula masuk mengisi kekosongan tenaga pendidik di Negara –
Negara jiran terutama pada Negara serumpun.
Momentum MEA ini juga diharapkan, walau agak terlambat, agar kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi berbenah diri ... mengingatkan pada 134 PTN dan sekitar 4000 PTS untuk berbenah diri, meningkatkan kualitas institusi dan lulusannya. Masa depan Indonesia kini ada di di kedua Kementerian tersebut.
Semoga sarjana dan tenaga kerja Indonesia mampu menjadi tuan di negerinya sendiri sekaligus mampu bersaing dan berdiri tegak, bekerja di negara-negara ASEAN kelak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar