Saya mengenalnya, lebih dari 10 tahun yang lalu. Di dalam kelas bahasa asing di bilangan Kebayoran Baru. Sosok keibuannya selalu berpenampilan rapih, baik make up wajah, pakaian dan juga "perilaku"nya. Begitu juga dengan komposisi warna baju, asesori yang digunakannya. Selalu serasi.
Kelas kami, adalah kelas percakapan bahasa Perancis yang pesertanya "tidak memiliki tujuan" tertentu kecuali hanya untuk bersosialisasi, mengisi waktu luang ataupun hanya ingin ngrumpi sehat. Ngrumpi yang tidak membicarakan keburukan orang lain, tetapi rumpiannya bisa memberi tambahan pengetahuan, dari mulai hal-hal yang remeh temeh, hingga masalah ekonomi dan politik. Memang sayangnya, bagi peserta yang ingin menguasai bahasa Perancis dengan baik dan benar melalui penguasaan tata bahasa, kelas kami menjadi sangat menjemukan dan "tidak memberikan nilai tambah" apapun.
Nah kembali kepada ibu Soen Roedjito. Dari pembicaraan di kelas, tentunya dalam bahasa Perancis dengan kiat yang penting berani ngomong, soal salah atau benar secara kaidah tata bahasa, itu nomor 2, kami mengetahui siapa sebenarnya sosok keibuan yang memang ditinjau dari sudut usia, sangat pantas menjadi ibu bagi kami semua termasuk saya sendiri.
Ibu yang selalu tampil menarik ini adalah sarjana dari ITB .... weits... ini saja sudah mengundang kekaguman tersendiri. Bayangkan, menjadi mahasiswa ITB di tahun 1950an tentu sesuatu yang sangat langka. Tidak semua orang punya kesempatan menjadi mahasiswa, bahkan pada abad ke 21 ini. Apalagi di era tahun 1950an, lelakipun masih jarang yang menempuh pendidikan tinggi. Tingkat SMA saja sudah tergolong tinggi. Jadi kalau ada perempuan muda menjadi mahasiswa, di ITB pula.... ini sesuatu banget deh....
Menjadi sesuatu karena, tentu kita bisa menduga bahwa ibu Soen bukan berasal dari keluarga sembarangan, minimal dilihat dari status sosial maupun intelektualitas keluarganya. Lalu... sebagai orang yang setidaknya pernah mengenyam pendidikan pada jaman penjajahan, tentunya punya kemampuan berbagai bahasa asing yang sangat baik.
Nah soal intelektualitas ini yang sangat mengagumkan. Pertama .... bacaannya itu lho ... Luar biasa luas dan ragamnya, terutama yang berkaitan dengan sejarah. Saya seringkali malu sendiri, kalau di kelas kami sudah bicara mengenai sejarah... Malu karena sebagai generasi yang lebih muda, pengetahuan umum saya ternyata sangat tidak sebanding dengan pengetahuan ibu Soen. Belum lagi pengetahuan musik klasiknya .... Luar biasa... Jadi pantas sajalah kalau hingga usianya mencapai 70 tahun, ibu masih diberi kesempatan mengajar di salah satu universitas swasta terpandang, setelah sebelumnya ibu juga memiliki usaha di bidang interior ...
Kualitas ibu yang bijak dan rendah hati juga sangat terasa saat mendengar cerita-ceritanya. Siapa yang menyangka, kalau selain pernah jadi pengusaha, pengajar universitas dan pemegang saham salah satu media besar di Indonesia, suami ibu Soen juga pernah menduduki jabatan duta besar dan menjadi petinggi di institusi keamanan negara yang sangat berkuasa. Namun saat kita mendengar cerita apapun yang keluar dari mulutnya... tidak pernah terasa suatu kesombongan terlontar. Ceritanya begitu saja mengalir seperti menceritakan sesuatu yang "banal". Seperti menceritakan sesuatu yang nggak penting, gitu lho ....
Begitu juga saat ibu bercerita apa saja tentang keluarganya. Tentang anak-anak, menantu, cucu-cucu, supir (namanya Parimin atau Wagiman ya...? atau keduanya memang ada di rumah ibu?) dan anjing-anjing yang harus diurusnya. Semua mengalir begitu saja... tanpa ada rasa "marah, benci, kesal atau apapun juga yang berkonotasi negatif". Semua diceritakan dengan nuansa yang positif dan menyenangkan. Ibu Soen selalu bercerita dengan rasa bangga, apapun isi ceritanya.... Bangga pada anak, menantu, cucu bahkan pada orang-orang yang pernah berhubungan dengannya termasuk juga saat bercerita tentang mantan menantunya. Tidak ada sama sekali nada keluhan. Semuanya selalu dalam nada positif. Tidak mengherankan, banyak yang merasa kehilangan dengan kepergiannya.
Satu hal yang membuatnya bersedih berkepanjangan, adalah kehilangan kakak perempuannya, yang sering disebutnya "teman berantem" yang sehati. Sejak kakak perempuannya meninggal dunia, Ibu Soen seperti kehilangan gairah hidup. Statusnya di facebook penuh dengan kenangan kepada sang kakak. Kelas bahasa Perancis yang semula diikuti tanpa absen, sudah sangat sering ditinggalkannya, bahkan betul-betul ditinggalkan pada 2 term terakhir ini. Kepergian sang kakak rupanya membawa pergi seluruh semangat hidup ibu Soen yang kemudian membuat kesehatannya menurun secara gradual hingga akhirnya ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Akhir tahun 2015 yang lalu, saat baru kembali dari perjalanan wisata ke Jawa Timur, saya menerima sms dari salah satu teman kuliah yang kebetulan sepupu dari suami pertama ibu Soen, memberitahukan bahwa ibu masuk rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Kebetulan saat itu masih libur akhir tahun, sehingga saya ditemani anak gadis saya yang sedang libur semester, mengunjunginya.
Ibu Soen terlihat segar dan banyak cerita yang keluar dari mulutnya. Anak saya terlihat kagum campur heran bahwa di usianya yang sudah lanjut dan dalam kondisi sakit begitu, ibu Soen terlihat rapih, tidak jauh berbeda dengan hari-hari saat mengikuti kelas bahasa Perancis. Dengan penuh semangat ibu bercerita bahwa keesokan harinya beliau diprediksi akan diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Kesehatannya dianggap cukup prima, walau ada keluhan di jantung yang konon disebabkan ada gangguan pada enzimnya. Tapi secara umum, tidak ada gangguan berarti pada ritme kerja di jantungnya....
Tentu saja, saya tidak menyangka bila tepat 2 minggu kemudian, seorang sepupu saya yang pada bulan September 2015 lalu menikah dengan kemenakan menantu ibu Soen, mengabarkan bahwa ibu masuk rumah sakit kembali dalam kondisi koma. Kaget tentu saja, tapi saya tidak bisa segera menjenguknya karena kebetulan gusi saya sedang bengkak ..... dan... so pasti sakitnya adalah biang segala sakit di dunia .... Sakit gigi itu, lebih sakit dari putus cinta, hehe ....
Jadi yang bisa saya lakukan adalah memberitahu semua kenalan yang saya pikir "pasti mengenal" ibu Soen dan bisa saya hubungi, terutama dari kelas bahasa Perancis. Saya juga berniat untuk menjenguknya, walau tidak yakin apakah kondisi ibu bisa pulih dan sadar dari status koma. Tapi suami saya memberi semangat... "nggak apa... datang saja... ibu Soen pasti tahu, kalau kamu datang...."
Jadi, .... saya membuat janji dengan salah satu teman sekelas, untuk menjenguknya pada hari minggu sore 17 Januari 2016. Di rumah, saya sudah mengatur jadwal acara, akan berangkat sore hari sebelum waktu shalat maghrib dan ke rumah sakit usai shalat maghrib di salah satu masjid di bilangan jalan Karang Tengah dan setelahnya, kami bertiga akan makan malam bersama. Teman saya yang kebetulan menginap di rumah kakaknya di Lebak Lestari akan menunggu di lobby rumah sakit. Begitu kira-kira rencana yang sudah dibuat..
Tapi ..... apa boleh buat, rupanya niat menjenguk ibu Soen berubah. Memaksa kami untuk mengubah jadwal acara.... Sore itu, sesuai rencana, kami keluar rumah dan shalat di masjid sebagimana yang sudah direncanakan, lalu makan malam dulu untuk kemudian pergi ...... ke rumah duka ....
Ibu Soen ....,
Sekarang tidak akan ada lagi orang yang menelpon saya,
Pagi hari .... atau siang hari saat jam kantor ...
Atau bahkan malam hari ....
Untuk memberitahukan
bahwa di hari Sabtu ...
Ibu berhalangan hadir di kelas
Atau menanyakan kapan hari terakhir kelas
atau jadwal pendaftaran sesi baru
Atau bahkan hanya sekedar memberitahu
Bahwa ibu sedang tidak fit ....
Ingin ngobrol, mungkin ....
Sungguh, saya seringkali malu,
Bahwa saya seringkali lupa menelpon ibu,
Menanyakan kabar ....
Saat ibu tidak hadir di kelas .....
Ah ....
Betapa pemalasnya saya ....
Semoga ibu senang berkumpul kembali dengan ibu Lily ya....
Rest in peace bu ...
Kelas kami, adalah kelas percakapan bahasa Perancis yang pesertanya "tidak memiliki tujuan" tertentu kecuali hanya untuk bersosialisasi, mengisi waktu luang ataupun hanya ingin ngrumpi sehat. Ngrumpi yang tidak membicarakan keburukan orang lain, tetapi rumpiannya bisa memberi tambahan pengetahuan, dari mulai hal-hal yang remeh temeh, hingga masalah ekonomi dan politik. Memang sayangnya, bagi peserta yang ingin menguasai bahasa Perancis dengan baik dan benar melalui penguasaan tata bahasa, kelas kami menjadi sangat menjemukan dan "tidak memberikan nilai tambah" apapun.
Nah kembali kepada ibu Soen Roedjito. Dari pembicaraan di kelas, tentunya dalam bahasa Perancis dengan kiat yang penting berani ngomong, soal salah atau benar secara kaidah tata bahasa, itu nomor 2, kami mengetahui siapa sebenarnya sosok keibuan yang memang ditinjau dari sudut usia, sangat pantas menjadi ibu bagi kami semua termasuk saya sendiri.
Ibu yang selalu tampil menarik ini adalah sarjana dari ITB .... weits... ini saja sudah mengundang kekaguman tersendiri. Bayangkan, menjadi mahasiswa ITB di tahun 1950an tentu sesuatu yang sangat langka. Tidak semua orang punya kesempatan menjadi mahasiswa, bahkan pada abad ke 21 ini. Apalagi di era tahun 1950an, lelakipun masih jarang yang menempuh pendidikan tinggi. Tingkat SMA saja sudah tergolong tinggi. Jadi kalau ada perempuan muda menjadi mahasiswa, di ITB pula.... ini sesuatu banget deh....
Menjadi sesuatu karena, tentu kita bisa menduga bahwa ibu Soen bukan berasal dari keluarga sembarangan, minimal dilihat dari status sosial maupun intelektualitas keluarganya. Lalu... sebagai orang yang setidaknya pernah mengenyam pendidikan pada jaman penjajahan, tentunya punya kemampuan berbagai bahasa asing yang sangat baik.
Nah soal intelektualitas ini yang sangat mengagumkan. Pertama .... bacaannya itu lho ... Luar biasa luas dan ragamnya, terutama yang berkaitan dengan sejarah. Saya seringkali malu sendiri, kalau di kelas kami sudah bicara mengenai sejarah... Malu karena sebagai generasi yang lebih muda, pengetahuan umum saya ternyata sangat tidak sebanding dengan pengetahuan ibu Soen. Belum lagi pengetahuan musik klasiknya .... Luar biasa... Jadi pantas sajalah kalau hingga usianya mencapai 70 tahun, ibu masih diberi kesempatan mengajar di salah satu universitas swasta terpandang, setelah sebelumnya ibu juga memiliki usaha di bidang interior ...
Kualitas ibu yang bijak dan rendah hati juga sangat terasa saat mendengar cerita-ceritanya. Siapa yang menyangka, kalau selain pernah jadi pengusaha, pengajar universitas dan pemegang saham salah satu media besar di Indonesia, suami ibu Soen juga pernah menduduki jabatan duta besar dan menjadi petinggi di institusi keamanan negara yang sangat berkuasa. Namun saat kita mendengar cerita apapun yang keluar dari mulutnya... tidak pernah terasa suatu kesombongan terlontar. Ceritanya begitu saja mengalir seperti menceritakan sesuatu yang "banal". Seperti menceritakan sesuatu yang nggak penting, gitu lho ....
Begitu juga saat ibu bercerita apa saja tentang keluarganya. Tentang anak-anak, menantu, cucu-cucu, supir (namanya Parimin atau Wagiman ya...? atau keduanya memang ada di rumah ibu?) dan anjing-anjing yang harus diurusnya. Semua mengalir begitu saja... tanpa ada rasa "marah, benci, kesal atau apapun juga yang berkonotasi negatif". Semua diceritakan dengan nuansa yang positif dan menyenangkan. Ibu Soen selalu bercerita dengan rasa bangga, apapun isi ceritanya.... Bangga pada anak, menantu, cucu bahkan pada orang-orang yang pernah berhubungan dengannya termasuk juga saat bercerita tentang mantan menantunya. Tidak ada sama sekali nada keluhan. Semuanya selalu dalam nada positif. Tidak mengherankan, banyak yang merasa kehilangan dengan kepergiannya.
Satu hal yang membuatnya bersedih berkepanjangan, adalah kehilangan kakak perempuannya, yang sering disebutnya "teman berantem" yang sehati. Sejak kakak perempuannya meninggal dunia, Ibu Soen seperti kehilangan gairah hidup. Statusnya di facebook penuh dengan kenangan kepada sang kakak. Kelas bahasa Perancis yang semula diikuti tanpa absen, sudah sangat sering ditinggalkannya, bahkan betul-betul ditinggalkan pada 2 term terakhir ini. Kepergian sang kakak rupanya membawa pergi seluruh semangat hidup ibu Soen yang kemudian membuat kesehatannya menurun secara gradual hingga akhirnya ibu menghembuskan nafas terakhirnya.
***
Akhir tahun 2015 yang lalu, saat baru kembali dari perjalanan wisata ke Jawa Timur, saya menerima sms dari salah satu teman kuliah yang kebetulan sepupu dari suami pertama ibu Soen, memberitahukan bahwa ibu masuk rumah sakit di bilangan Jakarta Selatan. Kebetulan saat itu masih libur akhir tahun, sehingga saya ditemani anak gadis saya yang sedang libur semester, mengunjunginya.
Ibu Soen terlihat segar dan banyak cerita yang keluar dari mulutnya. Anak saya terlihat kagum campur heran bahwa di usianya yang sudah lanjut dan dalam kondisi sakit begitu, ibu Soen terlihat rapih, tidak jauh berbeda dengan hari-hari saat mengikuti kelas bahasa Perancis. Dengan penuh semangat ibu bercerita bahwa keesokan harinya beliau diprediksi akan diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Kesehatannya dianggap cukup prima, walau ada keluhan di jantung yang konon disebabkan ada gangguan pada enzimnya. Tapi secara umum, tidak ada gangguan berarti pada ritme kerja di jantungnya....
Tentu saja, saya tidak menyangka bila tepat 2 minggu kemudian, seorang sepupu saya yang pada bulan September 2015 lalu menikah dengan kemenakan menantu ibu Soen, mengabarkan bahwa ibu masuk rumah sakit kembali dalam kondisi koma. Kaget tentu saja, tapi saya tidak bisa segera menjenguknya karena kebetulan gusi saya sedang bengkak ..... dan... so pasti sakitnya adalah biang segala sakit di dunia .... Sakit gigi itu, lebih sakit dari putus cinta, hehe ....
Jadi yang bisa saya lakukan adalah memberitahu semua kenalan yang saya pikir "pasti mengenal" ibu Soen dan bisa saya hubungi, terutama dari kelas bahasa Perancis. Saya juga berniat untuk menjenguknya, walau tidak yakin apakah kondisi ibu bisa pulih dan sadar dari status koma. Tapi suami saya memberi semangat... "nggak apa... datang saja... ibu Soen pasti tahu, kalau kamu datang...."
Jadi, .... saya membuat janji dengan salah satu teman sekelas, untuk menjenguknya pada hari minggu sore 17 Januari 2016. Di rumah, saya sudah mengatur jadwal acara, akan berangkat sore hari sebelum waktu shalat maghrib dan ke rumah sakit usai shalat maghrib di salah satu masjid di bilangan jalan Karang Tengah dan setelahnya, kami bertiga akan makan malam bersama. Teman saya yang kebetulan menginap di rumah kakaknya di Lebak Lestari akan menunggu di lobby rumah sakit. Begitu kira-kira rencana yang sudah dibuat..
Tapi ..... apa boleh buat, rupanya niat menjenguk ibu Soen berubah. Memaksa kami untuk mengubah jadwal acara.... Sore itu, sesuai rencana, kami keluar rumah dan shalat di masjid sebagimana yang sudah direncanakan, lalu makan malam dulu untuk kemudian pergi ...... ke rumah duka ....
Ibu Soen ....,
Sekarang tidak akan ada lagi orang yang menelpon saya,
Pagi hari .... atau siang hari saat jam kantor ...
Atau bahkan malam hari ....
Untuk memberitahukan
bahwa di hari Sabtu ...
Ibu berhalangan hadir di kelas
Atau menanyakan kapan hari terakhir kelas
atau jadwal pendaftaran sesi baru
Atau bahkan hanya sekedar memberitahu
Bahwa ibu sedang tidak fit ....
Ingin ngobrol, mungkin ....
Sungguh, saya seringkali malu,
Bahwa saya seringkali lupa menelpon ibu,
Menanyakan kabar ....
Saat ibu tidak hadir di kelas .....
Ah ....
Betapa pemalasnya saya ....
Semoga ibu senang berkumpul kembali dengan ibu Lily ya....
Rest in peace bu ...
Terima kasih telah menceritakan tentang Mamah Saya......Saya me baca dan terharu...ternyata Mamah Saya baik sama semua orang dan sebaliknya.....mari Kita berdoa untuk Mamah Saya agar Beliau diterima disisi Allah....Aamin YRA��������
BalasHapus