Rabu, 01 Juni 2016

MATAKU SIPIT

Aku terlahir dengan bentuk mata kecil, yang biasa disebut sipit. Persis seperti bentuk mata orang-orang Asia Timur, seperti Cina, Vietnam, Korea dan Jepang. Padahal ..... dari 6 orang anak yang terlahir dari rahim ibuku, hanya aku sendiri yang memiliki mata sipit. Ditambah lagi dengan warna kulitku yang cenderung kuning, atau orang bilang kulitku lebih "putih" dibandingkan adik-adikku .... maka lengkaplah sudah. Melihat penampilanku secara utuh, kebanyakan orang akan menyangka bahwa aku adalah bukan warga pribumi, alias keturunan Cina. Yang sedikit lebih "sopan", akan bilang " wah .... aku pikir, kamu orang Manado ..."
***

Aku terlahir dari bapak yang konon berasal dari etnis Betawi (kakekku) dan Sunda (nenekku konon dari Cianjur, tapi sudah lama tinggal di Jakarta). Sementara ibuku berasal dari Sumatera Barat, etnis Minang. Kakekku konon dari Padangpanjang tetapi berdarah Pakistan sementara nenekku dari Batusangkar. Dari garis keturunan ibuku, seharusnya aku memiliki warna kulit sawo matang. Seperti warna kulit opa dan oma. Begitu juga warna kulit ibuku. Warna kulit "kuning" terang ini memang mengambil warna kulit bapakku. Apa boleh buat .... gen Cina dari garis keturunan bapakku ternyata sangat kuat mengalir di tubuhku. 

Bapakku memang keturunan ke 4 dari perempuan Cina yang menikah dengan lelaki Jerman yang beranak-pinak di Jakarta (Betawi), lalu di Rembang dan Malang.   Kami tinggal di suatu perkampungan Betawi di bilangan Jakarta Timur. Saat itu, suasana pergaulan masyarakatnya masih guyub. Halaman rumah dan bahkan beberapa di antaranya, pintu utama rumah masih terbuka lebar. Di dinding muka rumah, setiap orang masih dengan senang hati memasang namanya. Berbeda dengan sekarang, identitas penghuni rumah cenderung disembunyikan untuk mengurangi dan menghindari tindakan yang tidak diinginkan dari orang-orang yang berniat buruk. 

Walau mayoritas penduduknya berasal dari etnis Betawi, di gang lingkungan tempat tinggal kami ada juga beberapa keluarga Sunda, Jawa dan beberapa keluarga Cina. Satu keluarga Cina membuka warung kebutuhan sehari-hari, tempat hampir seluruh tetangga berbelanja keperluan yang terlupa saat belanja ke pasar. Babah Cina ini hidup berbaur masyarakat setempat, begitu juga dengan anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Bahkan cucu-cucunya selalu bermain dengan kami, penduduk asli Betawi. Dari penampilan sehari-hari, kondisi ekonominya tidak banyak berbeda dengan kebanyakan orang kampung. 

Hanya satu keluarga Cina kaya yang tinggal tepat di sebelah rumah kami. Mereka keluarga yang kaya raya, pemilik pabrik permen. Memiliki beberapa mobil, bukan saja truk-truk pengangkut permen tetapi juga sedan. Tidak itu saja.... pada tahun awal dekade 1960an, sebelum meletusnya peristiwa G30S, keluarga ini sudah mampu menyekolahkan anak-anaknya ke Singapore. Mungkin juga mereka memiliki rumah di Singapore. 

Dengan kami, hubungannya cukup baik. Mungkin karena rumah kami tepat berada di sebelah pabrik yang merangkap rumahnya. Saat tahun baru Imlek, kami selalu mengunjunginya. Senang sekali bertamu ke rumahnya menyantap kue keranjang dan taart yang pada jaman itu cukup langka dan tentunya tak ketinggalan angpau. Sementara saat lebaran, mereka tidak lupa mengirim permen2 hasil produksi pabrik walau mereka tidak pernah mengunjungi rumah kami. 

Agak jauh dari rumah kami, sekitar 500 meter, ada juga beberapa toko kelontong dan depot es yang dimiliki tauke Cina. Pendeknya, kehidupan di lingkungan tempat tinggal kami saat itu amat damai. Berbagai etnis berbaur dengan baik. Sama sekali tidak terbersit adanya keributan antar etnis. Kalaupun ada, biasanya tawuran antara kamp Ambon dengan gang Berland yang legendaris.

Almarhum ibuku sering cerita, konon, kalau beliau mengajakku ke pasar Paal Meriam berbelanja kebutuhan pangan setiap pagi, penjual telur yang kebetulan dari etnis Cina, selalu menghadiahi 1 butir telur extra untukku. Untuk si amoy .... begitu selalu yang dikatakan. Mungkin karena melihat mataku yang sipit itu. 

Entah mengapa .... dari 6 orang anak kedua orangtuaku, hanya si sulung inilah yang memiliki mata sipit. Adik-adikku memiliki mata besar dan bulat walaupun mereka memiliki warna kulit kuning. Namun demikian, dua adikku memiliki warna kulit gelap seperti warna kulit opa yang konon berdarah "Keling" dan oma yang berasal dari Sumatera daratan.
***
Usai peristiwa G30S, kami sekeluarga hijrah ke Garut dan tinggal disana sekitar 3 tahun. Lalu pindah ke Karawang dan Jambi untuk masing-masing sekitar 3 tahunan dan baru pada tahun 1974 kembali ke Jakarta. Selama di "perantauan" ini aku tak pernah merasakan adanya perlakuan berbeda dari siapaun juga karena mata sipit ini. Jadi kehidupan berjalan dan mengalir begitu saja, tanpa masalah. Tentu bukan tanpa masalah sama sekali.... ada pertengkaran antar teman, iri - dengki antar remaja, yang walaupun terasa menyebalkan dan menyakitkan, tapi tak pernah kuambil pusing karenanya.

"Kamu cina ya...?"
Pertanyaan yang mengagetkan muncul dari mulut seorang senior saat aku menjalani masa perkenalan mahasiswa baru.
"Nggak ...., bukan...", sahutku
"Kalau begitu...., mulai besok pakai selotip untuk membesarkan kelopak matamu yang sipit itu!!!" perintahnya.

Agak merasa aneh dengan pertanyaan dan pernyataan tersebut ... tapi mana berani, mahasiswa baru membantah seniornya? Maka kujalani saja perintah tersebut. Belakangan baru aku tahu, bahwa ternyata lolosnya lebih dari 10% mahasiswa baru yang berasal dari etnis Cina dipermasalahkan oleh senat mahasiswa fakultas. Sang senior yang memerintahkan untuk menggunakan selotip pada kelopak mata, rupanya mendapat konfirmasi dari salah satu senior di jurusanku, yang kebetulan sudah kenal karena kebetulan dia kost di rumah salah satu temanku, orang Minang. Jadi sang senior tahu persis bahwa kedua orangtuaku bukan non pribumi. Walau ada rasa sakit atas kenyataan ini, kelak baru kusadari bahwa mulai saat itulah .... yaitu pada masa dewasa, "mata sipit" seringkali menjadi masalah buatku baik dalam pergaulan dan dalam pekerjaan.

Sedih ....? Tentu ......, di negara sendiri,aku seringkali merasa terkucil dan dikucilkan dari lingkungan pribumi, terutama pada saat awal perkenalan, hanya karena mataku sipit, seperti orang-orang keturunan Cina...

1 komentar:

  1. Wah bagus sekali. Tidak ada beban cerita kenyataan, asal usul. Maaf saya kagak bisa panjang lebar menulisnya. Jadi dipersingkat saja proses ceritanya. Dari sejarah diketahui sebelum politik etis, Orang Belande tidak mau nikahi pribumi, cina, biasanya dijadikan selir aje, penunggu calon istri ras eropa datang. Istilah asisten kebun, lulusan sekolah pertanian atau insinyur pertanian Belanda. Mereka pekerja kontrak dan dalam kontrak 6 tahun pertama tidak boleh kawin (dengan orang Belanda),dimaksudkan supaya ia concubine dengan pribumi atau cina dan cetak anak dan taruh dipanti asuhan atau tinggal dirumahnya dan diasuh bediendenya (politik kependudukan Belanda demikian). Setelah politik Etis makin banyak orang Belanda yang bersedia menikahi pribumi dan cina, sehingga lahir indo-indo. Waktu Jepang masuk kaum indo ini tiarap semua, untuk menyelamatkan diri mereka bergabung ke kampung kampung dan yang muda asimilasi. Jadi berdasarkan keturunan darah dan ilmu genetika, banyak orang Indonesia sudah campuran. Misalnya asli tinggal 10 % atau 15%. Saya tidak tahu rumusannya. Tapi hitung kasar, anak anak kami 75 % asli. Hitungannya saya asli dari Minang. Istri saya peranakan Cina, artinya dari garis ibunya, neneknya asli Kmp. Mergosono, Malang (Islam dan dikubur dipemakaman Islam), kakeknya Cina perantauan. Dari garis ayah neneknya asli Blitar, kakeknya Cina Perantauan. Klo istri saya tinggal 50%, maka anak kami tinggal 25%. Jadi cucunya (istri saya) matanya udah gak sipit. Justru suadara sekandung saya yang perempuan matanya sipit. Tapi anak kami tidak sipit. Anak kami cukup PD, kalau nenek/kakeknya dari garis ibu datang, walaupun matanya masih sipit dan kulit kuning/terang, tidak ada beban, begitu pula kalau anak kami ke Malang tidak ada beban bilang peranakan cina atau bukan cina/pribumi. Tapi sejak A Hok, kenapa bilang peranakan cina tidak boleh, ganti dengan peranakan Tionghoa, pada hal tidak ada konotasi apa apa atau rasis, suatu kenyataan, karunia Tuhan. Jaman sekarang dipolitisir untuk keuntungan golongan tertentu. Ibarat kata Bill Gate, anda dilahirkan jadi bangsa apa saja sudah fitrah, tapi bisa ubah untuk mati jadi orang kaya seperti Bill.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...