Saya
tidak tahu apakah generasi milenial mengenal dongeng–dongeng klasik dunia yang
sebagian besar berasal dari benua Eropa. Sebut saja semisal the Snow White, The
Little Mermaid, Cinderella, Sleeping Beauty, Beauty and The Beast, Goldilocks and
3 Bears, Rapunzel dan banyak lagi cerita klasik lainnya terutama dengan latar belakang
kerajaan.
Plot utama dari cerita; biasanya berkisar pada pertentangan antara baik dan buruk di mana pada akhir cerita, kebaikan akan meraih kemenangan dan kebahagiaan. Atau bisa pula menceritakan tentang penderitaan seseorang, pada umumnya penderitaan seorang gadis yang akan berakhir dengan kebahagiaan tatkala menikah dengan pangeran tampan yang baik hati.
Plot utama dari cerita; biasanya berkisar pada pertentangan antara baik dan buruk di mana pada akhir cerita, kebaikan akan meraih kemenangan dan kebahagiaan. Atau bisa pula menceritakan tentang penderitaan seseorang, pada umumnya penderitaan seorang gadis yang akan berakhir dengan kebahagiaan tatkala menikah dengan pangeran tampan yang baik hati.
Plot
cerita yang nyaris sama, yaitu tentang kebaikan akan meraih kemenangan dan cerita
tentang penderitaan seseorang, pada umumnya penderitaan seorang gadis yang akan
berakhir dengan kebahagiaan, juga berlaku pada cerita dan dongeng klasik
Indonesia seperti misalnya Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas, Keong Mas,
Lutung Kasarung, Sangkuriang atau cerita–cerita panji semacam Panji Semirang.
Dalam
cerita atau dongeng klasik Eropa maupun dongeng klasik Indonesia, golongan yang
baik selalu diidentikkan dengan kecantikan dan ketampanan para tokohnya. Selain
dari tampilan fisik tersebut, tokoh perempuannya selalu digambarkan memiliki sifat–sifat welas asih, lemah
lembut, penyayang, penyabar serta beragam sifat lainnya yang menunjukkan
kebaikan seorang perempuan. Sementara tokoh lelaki akan digambarkan memiliki sifat ksatria, pemberani,
pelindung kaum lemah dan sebagainya.
Tidak luput juga, latar belakang keturunan
yang selalu berasal dari keluarga bahagia dan baik–baik atau dari keluarga kerajaan yang sangat
harmonis. Sementara si jahat akan selalu ditampilkan sebagai si buruk rupa lengkap
dengan sifat–sifat buruk seperti pemarah, pendengki, culas dan beragam sifat buruk lainnya
untuk melengkapi tampilan wajah yang buruk tersebut.
Beauty and the beast |
Walau
generasi milenial mungkin tidak lagi membaca cerita–cerita tersebut, namun
orang tua mereka atau pengasuhnya mungkin masih akan menceritakannya sebagai
pengantar tidur. Apalagi … bukan tidak mungkin, generasi milenial perkotaan yang
pada umumnya berasal dari keluarga menengah baru … (Alhamdulillah, berarti
ada peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia, walau belum merata betul)
yang sebagian di antaranya hidup sangat nyaman, lengkap dengan pengasuhnya
sejak si anak melihat dunia hingga kemudian, beberapa di antaranya masih
didampingi pengasuh yang sama saat dia memasuki mahligai rumah tangga. Itulah
cerita tentang dongeng–dongeng klasik dunia maupun Indonesia.
Dengan kondisi seperti itu, maka tidak heran kalau dalam benak sebagian masyarakat Indonesia, seorang pejabat baik itu pejabat rendah seperti lurah, kapolsek atau siapapun yang memiliki "kewenangan" sebagai wakil pemerintah dan karenanya menjadi penguasa suatu wilayah, terpateri kriteria bahwa mereka "harus" memiliki wajah tampan, "berdarah biru" atau minimal berasal dari kalangan atas, dari keluarga intelektual, kaya raya dan seterusnya. Mirip seperti yang diceritakan dalam dongeng-dongeng klasik tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, maka tidak heran kalau dalam benak sebagian masyarakat Indonesia, seorang pejabat baik itu pejabat rendah seperti lurah, kapolsek atau siapapun yang memiliki "kewenangan" sebagai wakil pemerintah dan karenanya menjadi penguasa suatu wilayah, terpateri kriteria bahwa mereka "harus" memiliki wajah tampan, "berdarah biru" atau minimal berasal dari kalangan atas, dari keluarga intelektual, kaya raya dan seterusnya. Mirip seperti yang diceritakan dalam dongeng-dongeng klasik tersebut.
Lalu apa hubungannya dengan Joko Widodo yang sejak tahun 2014 didapuk menjadi presiden Republik Indonesia ke 7?
Joko Widodo "si Tukang kayu" |
Menyadari
keadaan keluarganya, sejak kecil, Jokowi tidak mau menyusahkan orang tuanya. Jokowi
tidak mau ikut-ikutan temannya yang bersepeda ke sekolah dan lebih memilih
jalan kaki dibanding minta dibelikan sepeda. Ia tidak malu membantu orang
tuanya dengan menjadi pengojek payung hujan, kuli panggul, dan berjualan aneka
barang. Bahkan saat umur 12 tahun, ia ikut bekerja di perusahaan kayu sebagai
penggergaji kayu. Dia bisa mengerjakannya, terpengaruh keahlian orang tuanya sebagai
tukang kayu. Upah dari hasil pekerjaan itu, digunakannya untuk biaya sekolah.
Jokowi
menghabiskan pendidikan dasar hingga sekolah menengah di Solo, sementara pendidikan tingginya diselesaikan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Tidak ada prestasi yang menonjol darinya semasa kuliah, kecuali
kejujurannya. Lulus pada tahun 1985 pada usia 24 tahun, ia menikahi Iriana 1
tahun kemudian dan dikarunia 3 orang anak
Untuk hidup mandiri, Jokowi merantau ke Aceh, bekerja di salah satu BUMN, PT Kertas Kraft Aceh selama 2 tahun lalu memilih kembali ke Solo untuk mendampingi istrinya yang sedang mengandung dan bekerja di tempat pamannya yang memiliki usaha di bidang perkayuan.
Pada
usia 27 tahun, Jokowi mendirikan usaha sendiri dengan nama CV Rakabu, yang
diambil dari nama anak pertamanya. Usaha ini tidak berjalan mulus. Jatuh bangun
mengiringinya. Bisnisnya mulai bangkit, setelah mendapat pinjaman
modal dari ibunya. Ia memasarkan mebelnya melalui pameran–pameran dan berkeliling
Eropa, Amerika, serta Timur Tengah sehingga sukses menjadi pengusaha ekspor mebel.
Berbekal pengalamannya dalam mengelola bisnis mebel, Jokowi berani terjun ke dunia politik. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi mencalonkan untuk memimpin kota kelahirannya. Pada usia 44 tahun, Jokowi memimpin Kota Solo untuk periode 2005–2010 dan kemudian terpilih kembali untuk periode kedua 2010–2015. Konsep "blusukan" saat menjalankan tugas sebagai Walikota Solo, mengantarkannya menang kembali untuk memimpin Solo.
Berbekal pengalamannya dalam mengelola bisnis mebel, Jokowi berani terjun ke dunia politik. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi mencalonkan untuk memimpin kota kelahirannya. Pada usia 44 tahun, Jokowi memimpin Kota Solo untuk periode 2005–2010 dan kemudian terpilih kembali untuk periode kedua 2010–2015. Konsep "blusukan" saat menjalankan tugas sebagai Walikota Solo, mengantarkannya menang kembali untuk memimpin Solo.
Kesuksesan memimpin Solo serta beragam penghargaan yang diperolehnya, membuat Jokowi menjadi perhatian para elite politik di Jakarta. Baru
dua tahun memimpin Kota Solo pada periode keduanya, Jokowi diminta PDI
Perjuangan kembali untuk bertarung pada pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama, Jokowi terpilih menjadi gubernur DKI Jakarta untuk periode 2012–2017, mengalahkan calon petahana. Jokowi berusia 51 tahun saat mulai memimpin DKI Jakarta. Kemenangannya dianggap mencerminkan dukungan populer untuk
seorang pemimpin "muda" dan "bersih", meskipun umurnya
sudah lebih dari lima puluh tahun
Kesuksesan
Jokowi berlanjut. Lagi-lagi baru menjalankan tugas gubernur DKI Jakarta selama 2 tahun, Jokowi
dicalonkan PDI Perjuangan untuk bertarung pada pemilihan presiden 2014 untuk menghadapi Prabowo Subianto. Kali ini, ia berpasangan dengan Jusuf Kalla dan kembali sukses memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia. Joko Widodo pun dilantik sebagai presiden RI ke-7. Jokowi dilantik pada hari Senin, 20 Oktober 2014 dalam Sidang Paripurna MPR, Gedung
MPR, Senayan saat usianya menginjak 53 tahun.
Rival Jokowi pada pemilihan presiden 2014 adalah Prabowo Subianto. Sosok yang sangat lekat dan pas dengan penggambaran dongeng-dongeng klasik, yang dianggap cocok sebagai "pemimpin" sebuah negeri. Bukan saja sekedar negeri dongeng, tetapi negeri nyata bernama Indonesia. Dia berasal dari golongan "kelas atas" masyarakat Indonesia. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo, dikenal sebagai tokoh perbankan Indonesia, yaitu salah satu pendiri bank negara Indonesia yang saat ini dikenal sebagai Bank BNI. Ayahnya, walau dianggap sebagai pemberontak oleh Soekarno, presiden RI pertama, namun pada masa pemerintahan Suharto, diangkat sebagai Menteri Keuangan.
Prabowo sendiri adalah jenderal TNI yang kariernya melesat bak meteor, mengalahkan rekan seangkatannya yang menikahi salah seorang putri Suharto, presiden RI ke 2 tersebut. Maka lengkap sudahlah "garis keturunan" baik-baik, intelektual, kaya-raya dan seterusnya yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan masih terbuai dongeng, merupakan gambaran presiden yang sangat ideal bagi Indonesia.
Masyarakat seakan tidak peduli bahwa pemilihan presiden telah dilakukan secara demokratis. Kampanye negatif yang dilontarkan selama masa pilpres 2014 kepada Jokowi tetap menguasai alam pikiran mereka dan selama masa pemerintahan Jokowi, berubah menjadi kebencian tanpa dasar yang menutup hati nurani sebagian masyarakat akan upaya yang dilakukan Jokowi untuk membangun negeri ini, terutama untuk melakukan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Mengejar ketertinggalan wilayah timur dan perbatasan serta pulau lainnya dari "kemajuan" pulau Jawa.
Sebaliknya, kekecewaan atas kegagalan Prabowo memenangi pilpres 2014 juga semakin menebalkan militansi kelompok pendukungnya. Segala cara dilakukan untuk men "down grade" Jokowi agar upaya Jokowi dalam meningkatkan perekonomian Indonesia tidak terlihat. Segala sesuatu yang dilakukan Jokowi dipandang dari sisi negatif dan bahkan dimanipulasi. Kampanye negatif masih saja menyertai langkah Jokowi dan semakin dahsyat menjelang pilpres 2019 yang tinggal hitungan belasan bulan saja. Apalagi setelah PDIP secara resmi menyatakan mendukung dan mencalonkan Jokowi untuk maju kembali sebagai calon presiden pada pilpres 2019.
Sedih...? Tentu saja ....
Prabowo sendiri adalah jenderal TNI yang kariernya melesat bak meteor, mengalahkan rekan seangkatannya yang menikahi salah seorang putri Suharto, presiden RI ke 2 tersebut. Maka lengkap sudahlah "garis keturunan" baik-baik, intelektual, kaya-raya dan seterusnya yang bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan masih terbuai dongeng, merupakan gambaran presiden yang sangat ideal bagi Indonesia.
Masyarakat seakan tidak peduli bahwa pemilihan presiden telah dilakukan secara demokratis. Kampanye negatif yang dilontarkan selama masa pilpres 2014 kepada Jokowi tetap menguasai alam pikiran mereka dan selama masa pemerintahan Jokowi, berubah menjadi kebencian tanpa dasar yang menutup hati nurani sebagian masyarakat akan upaya yang dilakukan Jokowi untuk membangun negeri ini, terutama untuk melakukan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Mengejar ketertinggalan wilayah timur dan perbatasan serta pulau lainnya dari "kemajuan" pulau Jawa.
Prabowo Subianto |
Sebaliknya, kekecewaan atas kegagalan Prabowo memenangi pilpres 2014 juga semakin menebalkan militansi kelompok pendukungnya. Segala cara dilakukan untuk men "down grade" Jokowi agar upaya Jokowi dalam meningkatkan perekonomian Indonesia tidak terlihat. Segala sesuatu yang dilakukan Jokowi dipandang dari sisi negatif dan bahkan dimanipulasi. Kampanye negatif masih saja menyertai langkah Jokowi dan semakin dahsyat menjelang pilpres 2019 yang tinggal hitungan belasan bulan saja. Apalagi setelah PDIP secara resmi menyatakan mendukung dan mencalonkan Jokowi untuk maju kembali sebagai calon presiden pada pilpres 2019.
Sedih...? Tentu saja ....
Teringat kata-kata dari salah seorang tokoh bahwa demokrasi Hanya akan berjalan baik di negara dengan pendapatan per kapita sebesar + US$ 5.000,- Walau pendapatan per kapita Indonesia pada bulan Oktober 2017 sudah mencapai US$13.120., namun ada parameter lain yang juga sangat menentukan keberhasilan demokrasi, yaitu pemerataan pendapatan dan pembangunan, tingkat pendidikan dan tingkat intelektual masyarakat. 2 hal terakhir inilah yang belum terjadi dan sedang diupayakan oleh Jokowi melalui pembangunan infrastruktur di wilayah luar Jawa. Hasilnya tentu tidak instan ... berproses panjang, dan harus tetap melalui kerja keras sesuai dengan slogannya .... kerja... kerja .... dan kerja.
Akhirnya .... sampai kapan paradigma dongeng klasik tersebut akan mendominasi alam pikiran pemilih Indonesia? Entahlah ...., menyimak riuhnya kampanye negatif dan hoax yang berseliweran di media sosial, yang juga diramaikan oleh tokoh-tokoh tua yang masih berebut panggung, sepertinya jalan menuju kedewasaan demokrasi masih jauh panggang dari api. Kita mesti harus tetap bersabar hingga para elite politik Indonesia mau dan mampu melepaskan ego sektoralnya untuk mengedepankan kepentingan NKRI beserta rakyatnya tanpa membedakan ras, golongan, suku dan agamanya serta tidak mengutamakan kepentingan kelompok/golongannya ataupun syahwat kekuasaan semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar