Tulisan menarik dari:
Ali Romdhoni
Staf pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang.
Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China.
Ali Romdhoni
Staf pengajar FAI Universitas Wahid Hasyim, Semarang.
Saat ini sedang studi doktoral di Heilongjiang University, China.
Pada September 2016 saya berangkat ke Cina untuk memulai studi doktoral di The University of Heilongjiang, Cina. Waktu berjalan, namun ada yang mengganjal dalam pikiran saya. Pasalnya, saya berkesempatan belajar di luar negeri dan hampir bersamaan dengan itu, terutama di jagat media sosial, di Indonesia sedang ramai dengan ajakan sebagian orang untuk membenci terhadap negara tujuan belajar saya.
Saya sebenarnya juga menandai bahwa hembusan isu anti-Cina sedikit atau banyak berkaitan dengan kepentingan politik salah satu kelompok masyarakat. Namun demikian, sebagian masyarakat sudah telanjur merespons isu itu dengan serius, tanpa mengimbangi dengan melacak latar belakangnya. Hal ini bisa saya rasakan, misalnya, dalam beberapa kesempatan seorang teman dengan nada seloroh berkata, “Kamu ini bagaimana? Di sini orang-orang sedang tidak suka dengan Cina, eh kamu justru pergi ke sana.”
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman saya di luar negeri, terutama yang terkait dengan sejarah kelam satu bangsa dan bagaimana kaum muda menyikapinya. Saya ingin menegaskan bahwa cara berpolitik dengan menghembuskan fitnah dan kebencian bisa berakibat sangat buruk terhadap cara pandang kaum muda, generasi penerus bangsa Indonesia. Sejatinya, kekhawatiran terhadap dominasi satu negara sing, seperti Cina, yang berujung pada hembusan isu anti-Cina adalah sikap yang realistis. Kita tentu tidak ingin ada negara lain yang terus menjajah bumi pertiwi, mengeruk kekayaan bangsa kita.
Kekhawatiran demikian bahkan perlu diperluas, bukan saja kepada Cina tetapi juga kepada siapa pun, bangsa mana pun. Artinya, dengan negara mana pun kita harus berhati hati. Jangan lupa, bangsa Indonesia punya sejarah panjang penjajahan dengan Belanda. Kita juga pernah berseteru dengan Portugis. Catatan sejarah kita juga mencatat bahwa Jepang pernah menduduki Indonesia.
Fakta berbicara bahwa bangsa ini juga pernah menerima para imigran (para pendatang) dari kawasan Arab. Pada perjalanan selanjutnya, di antara pendatang ini juga ada yang berkontribusi di tengah masyarakat kita. Kalau kita menjelajahi kota-kota penting di Indonesia, di sana kita bisa menjumpai kawasan (kampung) Arab, selain Pecinan. Misalnya di Semarang, Surabaya, Jakarta, Pati, Kudus, Demak, Pekalongan, daln lainnya. Artinya, Indonesia sudah sejak lama berani menerima kedatangan warga negara asing dan diajak bersama-sama membangun masyarakat.
Maharnya satu, komitmen untuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai rumah bersama. Meskipun demikian, kita memang harus tetap hati-hati dengan siapa pun, dengan bangsa mana pun dalam rangka merawat dan melestarikan negara kita tercinta. Di atas semua itu, hal paling penting yang harus kita lakukan adalah mempersiapkan diri dan mendidik generasi muda agar kelak mereka mampu menjadi pewaris di masa yang akan datang. Sebaliknya, kalau kita selalu curiga dan membenci bangsa lain tanpa membangun kualitas diri, selamanya kita akan mengalami ketakutan. Kondisi yang demikian jelas merugikan diri kita sendiri, karena kita hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan curiga pada orang lain.
Menurut saya, ada tiga langkah yang harus kita lakukan untuk memutus mata rantai adu domba di dalam internal bangsa kita sendiri. Pertama, peluang dan dorongan kepada kaum muda untuk menimba pengalaman dari berbagai penjuru dunia harus terus kita kembangkan. Program ini bertujuan untuk membuka wawasan anak muda, belajar kepada bangsa lain bagaimana mereka membangun negaranya. Dengan catatan, anak muda kita sudah memiliki bekal pendidikan nasionalisme dan komitmen untuk kembali dan membangun negeri kita.
Di kampus Heilongjiang University, Cina, saya belajar bersama dengan mahasiswa lain dari berbagai negara. Dalam catatan statistik mahasiswa asing di kampus ini lebih dari dua belas ribu orang. Di antara mereka, saya berteman baik dengan mahasiswa dari Pakistan, Kazakhstan, Laos, Thailand, Kyrgyzstan, Yaman, Amerika, Kenya, Nigeria, Kameron, Korea, Jepang, Nepal, India, Mongolia dan Rusia (bekas Uni Soviet).
Kita tahu, misalnya, ketika Uni Soviet (1922-1991) berkuasa, Kazakhstan berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Menurut pengakuan Marzan, mahasiswa asal Kazakhstan, di bawah kekuasaan Uni Soviet rakyat Kazakhstan merana. Mereka dilarang menuturkan bahasanya, dipaksa untuk tidak melakukan ritual agama yang mereka yakini, dan nyawa yang melayang tidak terhitung jumlahnya.
Tetapi hari ini anak-anak muda dari Kazakhstan dan Rusia bersama saya belajar di Cina. Kami sering terlibat diskusi, membicarakan masa depan bangsa masing-masing, dan sesekali mengenang sejarah masa lalu yang sarat dengan pelajaran. Salah satu pesan yang bisa diambil sebagai pelajaran dari cerita saya ini adalah masa lalu jangan dilupakan, karena akan membuat kita waspada untuk tidak mengulangi kesalahan lagi. Tetapi, yang sangat penting adalah keberanian menatap masa depan dengan penuh keyakinan dan bekerja yang sunggug-sungguh.
Demikian pula, saya ingin mengajak kepada teman-teman muda di Indonesia untuk berpikiran luas, memandang cakrawalah masa depan Indonesia dengan pengetahuan dan komitmen untuk membangun negeri.
Kedua, stop segala bentuk politisasi massa dengan adu-domba dan hasutan-kebencian. Menggalang dukungan dari masyarakat untuk mengangkat pimpinan juga penting. Tetapi, jangan sampai dilakukan dengan cara mengadu satu kelompok dengan kelompok lain. Kerukunan dan cinta kasih antar sesama warga-bangsa dibutuhkan selama komitmen untuk menjadi NKRI masih ada. Jadi, kerukunan dan kebersamaan jauh lebih berharga katimbang apa pun. Maka, jangan racuni cara berpikir anak-anak muda dengan contoh perilaku yang keliru.
Ketiga, memberi pendidikan kepada masyarakat bahwa sebagai salah satu negara yang ada di dunia, Indonesia berkompetisi dengan negara-negara lain di sekitarnya. Kalaupun kita bersatu untuk memajukan negeri ini, tugas itu saja sudah cukup untuk menguras energi. Apalagi kalau kita juga masih harus bertarung dengan saudara sendiri. Pasti energi kita akan habis, sebelum kita bertanding dengan lawan yang sebenarnya.
Khusus kepada kaum muda di Indonesia, hendaknya fokus dalam menyiapkan diri dengan belajar yang serius, baik di bangku pendidikan formal maupun di masyarakat. Supaya kelak pada masanya mampu besaing dengan siapa pun dalam mengibarkan bendera Indonesia di dunia internasional.
Langkah ini, menurut saya, cukup efektif dalam membendung kekuatan asing yang akan merangsek ke negeri kita, daripada menghasut orang lain agar membenci orang lain atau negara lain dengan alasan yang belum tentu benar. Bagi pihak-pihak yang menghembuskan isu kebencian agar berpikir jernih bahwa resiko politik kotor yang demikian akan melahirkan resiko berat. Hal itu bisa membuat masyarakat bawah bingung, misalnya benci yang tidak beralasan terhadap pihak yang sebenarnya tidak bermasalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar