Kamis, 24 Januari 2019

TRANSFORMASI EKONOMI JOKOWI: DARI ERA DUM-DUMAN MENUJU KEMAKMURAN BERKELANJUTAN

KOLOM: TRANSFORMASI EKONOMI JOKOWI: DARI ERA DUM-DUMAN MENUJU KEMAKMURAN BERKELANJUTAN
ditulis oleh Agus Budiyono dan di posted di Facebook 22 Januari 2019 jam 19.52
Saya sering merujuk almamater saya, Massachusetts Institute of Technology, dalam banyak tulisan saya. Bukan untuk bangga-banggaan. Memang kenyataannya begitu banyak mendatangkan inspirasi. Apalagi kok saya, praktis semua film director Hollywood akan merujuk nama MIT untuk menggambarkan suatu fenomena yang world class, fantastic, out of the box and ordinary dan mungkin sekalian other worldly. Yang layak untuk dijadikan sentuhan plot atau mendukung cerita. Pendeknya yang film-worthy. 

Ada begitu banyak prestasi dari the Mecca of Innovation ini. Ini mencakup pencapaian dalam bidang sains dan teknologi, kreatifitas maupun finansial. Dalam konteks ini, tidak bisa disangkal bahwa MIT adalah Entrepreneurial University nomor wahid dunia. Sebuah institusi pendidikan tinggi yang tidak hanya berhenti mengajarkan ilmu-ilmu dasar dan terapan tapi sekaligus menyediakan lingkungan yang fertile untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi berbasis inovasi. All the way dari mengajarkan masalah mencari inverse matriks, solusi persamaan Diophantine sampai strategi mendirikan start-ups. 

Selama kuliah disana dan disambung bekerja di salah satu start-ups spin-off dari MIT, saya bisa secara langsung merasakan bagaimana bila sumberdaya itu benar-benar dikelola dengan baik maka akan menghasilkan banyak kemaslahatan. Mendatangkan kemakmuran. Dengan baik di sini saya maksudkan dengan transparan dan mengikuti kaidah-kaidah bisnis. Yang meritokratik. Bukan yang berbasis pada cara potong kompas, maen kayu, kong kalikong, akal-akalan ataupun mafia-mafiaan. Sehingga kalo suatu aktifitas start-ups membesar juga akan bisa ditarik pelajarannya, bisa memberikan inspirasi ke pemain lain yang tidak atau belum berpengalaman. Bisa diajarkan sebagai business case di sekolah-sekolah managemen karena sifatnya berupa penerapan bidang keilmuan yang aplikasinya reproducible. Karena sifatnya juga mengikuti kaidah bisnis yang berlaku generik, maka bisa juga keberhasilannya dicopy and paste ke domain yang berbeda atau regional yang lain.  

+++

Dengan rumus seperti di atas, alumni MIT secara keseluruhan telah menghasilkan lebih dari 31 ribu start-ups. Revenue yang dihasilkan secara kumulatif setara dengan ekonomi no 10 dunia. Sebagai gambaran saat ini Indonesia berada para no 15 atau 16 dunia. Bisalah kiranya dibayangkan impact dari aktifitas start-ups alumni MIT itu. Case-casenya banyak menjadi rujukan sekolah-sekolah bisnis di seluruh dunia. 

Selama hampir sepuluh tahun keberadaan saya di lingkungan MIT, saya tentunya selalu memimpikan kondisi iklim bisnis di tanah air bisa seperti itu. Dengan sumber daya alam yang melimpah ruah dan juga kualitas SDM yang bersaing secara internasional (yang cukup canggih sehingga pesawat terbang buatan bangsa Indonesia dihormati di MIT), mengapa ekonomi kita tidak maju-maju dan rakyat kita tidak makmur-makmur? 

Kami tinggal hampir 8 tahun di Korea. Tiap akhir minggu anak-anak saya selalu saya ajak ke resto seafood favorit mereka dimana mereka bisa makan ikan segar (salmon, tuna, makarel, …) sepuasnya, unlimited. Saya bertanya: mengapa warga negara rata-rata Korea (yang tidak seberapa kaya), negara sebesar Jawa Barat dengan wilayah laut terbatas, bisa membeli dan makan sashimi (salmon, tuna, dsb) segar secara murah? Sementara kita warga negara sebuah kepulauan terbesar dunia dengan 17 ribu pulau dan wilayah 20 kali lipat Korea, tidak bisa menikmati hasil lautnya sendiri. 

Dengan ilmu terang MIT di atas tadi, seharusnya tiap warga negara Indonesia dari Sabang, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Solor, Alor, Wetar, Timor, Roti, Sawu dan pulau-pulau lainnya sepantasnya bisa makan ikan segar atau masak setiap hari. Seharusnya bisa terhidang tuna, cakalang, tongkol, kakap, makarel, baronang, tenggiri,… di meja makan keluarga rata-rata Indonesia.  Setiap hari. Sehingga anak-anak Indonesia juga bisa mempunyai asupan Omega 3 dan omega 6 dan nutrisi sehat lainnya yang membuat mereka bisa cerdas dan mampu bersaing. 

Kemanakah ikan-ikan kita? Bagaimana kok sampai terjadi fenomena sebagaian warga negara kita seperti kelaparan di lumbung beras? Bagaimana ceritanya kok kita sebagai pusatnya penghasil tuna, tongkol, dan ikan besar lainnya kita malah hanya kebagian bothok teri? 

+++

Seseorang tidak perlu sekolah jauh-jauh ke MIT untuk tahu bahwa ada mafia yang menguasai dunia perikanan kita selama lebih dari setengah abad. Dan bukan hanya perikanan tapi hal yang sama terjadi juga di minyak dan pertambangan, infrastruktur dan sektor-sektor basah lainnya. It has been well known for so many many years. Kebocoran pendapatan negara karena masalah mafia perikanan (illegal fishing) ini adalah USD 5 billion per tahun atau setara dengan Rp 75 trilyun per tahun. Kebocoran yang sama terjadi di sektor kehutanan (illegal logging), dan sektor-sektor strategis semuanya. 

Tahun 2014 ada perubahan yang sangat fundamental. Seorang pemimpin yang low profile, unassuming berhasil terpilih. Dari kaca mata saya seorang yang tidak hanya mengamati tapi juga terlibat langsung dengan kegiatan ekonomi berbasis inovasi di tanah air, perubahan tersebut adalah angin segar. Saya katakan fundamental, karena perubahan yang ada mampu menyentuh akar masalah. 

Dalam tulisan saya yang lain mengenai 10 faktor yang menentukan kesuksesan seseorang, faktor no 1 adalah integritas. Faktor ini yang sangat menentukan seseorang untuk sukses jangka panjang, dan utamanya untuk seorang yang memimpin Indonesia yang sangat kaya raya ini. Seorang yang berani secara jujur dengan bahasa yang mudah dan terang benderang bahwa bangsa Indonesia itu sebenarnya sudah akan kaya dari hasil di pekarangan rumahnya sendiri. Dari hasil laut, hasil tambang, hasil hutan, dan kekayaan alam lainnya yang diolah dengan ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan nilai tambah setinggi-tingginya. 

Era sebelumnya, ekonomi Indonesia tidak bisa dipetakan dengan ilmu-ilmu canggih dari Harvard Business School, Sloan School of Management MIT atau Kellog Business school. Ilmu-ilmu yang sebenarnya sangat jitu tersebut menjadi tidak begitu berguna. Karena di setiap sudut ada saja yang selalu mengatakan: “Sudahlah maasss, jangan susah-susaah. Tidak perlu itu teori-teori rumit dari MIT atau Harvard. Yang penting di sini adalah wani piro?”. Atau yang sedikit mengancam “Nanti kalo kita tidak ikut kebiasaan ini (uang katalis dan pelancar sana-sini) nanti malah projeknya gak jalan loh”. 

Demikianlah dalam era dum-duman, tidak diperlukan ilmu-ilmu dari sekolah managemen tersebut. Semua sudah ada “sistem”nya, department sudah dikavling-kavling, berbagai sektor sudah habis didum (dibagi). Tidak ada integritas yang bisa kita pegang. Dalam iklim bisnis seperti ini, orang yang berprestasi menjadi males. Buat apa bekerja keras wong di ujung sana akhirnya yang menentukan akan bertanya: wani piro? Sebuah dunia dengan wilayah kelabu yang tidak mudah dipetakan yang mengizinkan fenomena “papa minta saham”, “mami minta dividen”, dan “dedek minta jatah persenan”. Saya paham mengapa teman bisnis saya yang gusar di Jakarta mengomentar keadaan tersebut sebagai “truly dried cassava!”. Bener-benar nggapleki! Bikin kezel. 

+++

Saya termasuk yang bernapas lega ketika figur Jokowi muncul dalam hutan belantara ekonomi seperti di atas. Seperti angin segar dalam ruangan yang pengap, suffocating. Insting pertamanya sangatlah sesuai dengan harapan orang-orang (saya percaya ini mewakili hati nurani sebagian besar rakyat Indonesia) yang berkiprah dalam kegiatan ekonomi seperti saya yaitu mengangkat orang-orang berintegritas dan terpercaya dalam pos-pos dengan kebocoran paling tinggi di atas. Kue ekonomi Indonesia harus dikembalikan kepada yang paling berhak: rakyat Indonesia. 

Saya paham ini tidak akan serta merta membalikkan keadaan. Sebuah sistem yang sudah berurat berakar sekian lama tentu juga akan membutuhkan waktu untuk berubah. Tapi langkah pertama tidaklah bisa ditawar, di pucuk pimpinan haruslah seorang yang tidak hanya kapabel tapi juga harus bersih dan terpercaya.  Saya merasa bangga dan senang di ESDM ada figur Pak Ignasius Jonan di tangan dingin blio blok Mahakam, blok Rokan dan divestasi 51% saham Freeport bisa diselesaikan, di Kementrian Kelautan dan Perikanan ada Bu Susi yang secara tegas dan berani menerjemahkan visi Jokowi dengan membersihkan wilayah laut Indonesia dari mafia illegal fishers, pertama kali dalam sejarah perikanan Indonesia. Seandainya 10% saja (Rp 7,5 T) dari devisa yang sekarang diselamatkan dari kebocoran illegal fishing digunakan untuk pembinaan start-ups unggulan di Indonesia, ada berapa calon unicorns  atau sub-unicors yang mampu kita hasilkan? 

Di Kementerian PUPR ada Pak Basuki yang selama empat tahun terakhir hidupnya praktis ada di jalan. Setiap saat sibuk mengawasi dan menginspeksi program-program infrastruktur yang digenjot pemerintah Jokowi. Disini terlihat terang benderang, bagi yang berpikir dengan jernih, bagaimana strategi pembanguan Jokowi adalah sangat berpihak pada Indonesia jangka panjang. Kenapa? 

Dalam konstelasi global geostrategis China sudah mencanangkan dengan terbuka program OBOR (One Belt One Road) dan Amerika dengan skema Grand Pacific. OBOR menghububungkan China dengan ASEAN, melalui jalur kereta logistik dari Guangxie melalui Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapore dan rencana jembatan laut Malaka akan terhubung dengan Dumai. Ini artinya kedua raksasa ini membangun jaringan infra yang akan terhubung langsung dengan urat nadi perekonomian kita. Kalo kita tidak siap, maka Indonesia akan jadi penonton. Hanya bila infrastruktur terbangun di seluruh Indonesia, kita bisa bersaing dengan gempuran raksasa China dan Amerika. Adalah pandangan keliru dan keblinger kalo mengatakan Jokowi adalah pro China. Yang terjadi, program toll laut dan juga infrastruktur jalan toll Sumatra adalah program yang justru menchallenge OBOR China. Itu adalah pengumuman terbuka bahwa Indonesia siap bersaing.
Dan tentunya saya harus menyebut Bu Sri Mulyani Indrawati yang menggawangi Kementrian Keuangan. Sosok SMI yang dihormati ahli keuangan dunia ini mampu mengawal pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sehat di tengah persaingan global yang ketat dan peta kekuatan yang cepat berubah. SMI sukses menjaga ketahanan perekonomian Indonesia di tengah berbagai bencana sepanjang tahun 2018. Defisit Produk Domestik Bruto tahun 2018 diperkirakan sekitar 1,86 persen, lebih rendah dari yang diperkirakan dalam APBN 2018 sebesar 2,19 persen. 

Di bawah SMI, Indonesia mampu memodernisasi respon negara terhadap bencana alam, via strategi penjaminan dan pembiayaan resiko, sehingga proses bantuan dan pemulihan pasca bencana bisa berjalan cepat. SMI juga sukses mengarsiteki dan mengeksekusi berbagai jenis reformasi perpajakan yang mendongkrak ekonomi Indonesia. Bu Sri Mulyani memperoleh penghargaan sebagai Menteri Keuangan terbaik sedunia dari lembaga independen karena prestasinya ini. Meskipun demikian, seperti kata koleganya ekonom dan juga mantan Menteri Keuangan, Dr Chatib Basri, she is too humble to present what she has achieved. 
+++

Demikianlah, saya hanya bisa mensarikan sedikit dari yang saya pahami dari konstelasi besar perekonomian Indonesia. Banyak segi yang tentunya tidak bisa saya bahas dalam kolom pendek ini. Namun saya berharap pembaca bisa menangkap spirit yang ada. Bahwa ada transformasi yang dikawal oleh orang-orang hebat yang bersih dan berdedikasi untuk mentransformasi Indonesia menjadi negeri yang mencapai kemakmuran yang berkesinambungan, dilakukan dengan sepenuh kesadaran dan semangat. Bukan hanya untuk meresponse dan bereaksi terhadap peristiwa pergantian pemimpin tiap lima tahun. Bukan, bukan itu. Saya sangat kenal dengan figur-figur ini. Sekelompok orang yang tidak pernah lelah mencintai negerinya.🥰💓💓

P.S.

  1. Mohon bantuannya untuk menyebarluaskan sekiranya bisa membantu memberikan pencerahan kepada kalangan yang memerlukan. Mari kita bahu-membahu melawan hoaks dan disinformasi. Bila ada yang memerlukan versi WA, japri saya. Kebetulan selalu ada yang sudah membuatkan. 
  2. Saya menulis apa adanya berdasarkan fakta. Nothing more nothing less. Tidak dilebih-lebihkan, apa adanya. Di luar sana tetap saja ada suara katanya saya buzzernya Jokowi. We ladalah ..... nampaknya yang bersangkutan belum kenal riwayat penulisan saya. Seandainya ybs men-check semua tulisan saya, dan tetap menggunakan indikator tulisan memuji sebagai buzzer, saya yakin kesimpulan dia akan berubah: ooh maaf salah ternyata bukan buzzer Jokowi tapi buzzer Dian Sastrowardoyo .... mbok sekaliaaan, alaaa sukaknya nanggung. jangan buzzer tapi bodyguardnya.... kkk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...