Pada setiap masa kampanye pemilihan presiden, harga sembilan bahan pokok atau lebih dikenal dengan sembako, terutama komoditi beras dan garam selalu menjadi salah satu issue negatif yang dipandang sangat sexy untuk dihembuskan kupada masyarakat umum oleh kalangan oposisi untuk menurunkan kredibilitas dan kinerja pemerintah. Bisa sangat dimengerti karena mereka selalu "bernostalgia" bahwa pada tahun 1984 Indonesia sempat dinyatakan dan menyatakan diri "swasembada" beras. Namun sebetulnya, jarang yang mengetahui atau paham apa dan bagimana definisi swasembada beras terutama bila dikaitkan dengan "ketahanan pangan", dimana kondisi ketersediaan bajan pokok harus mencukupi untuk konsumsi sekian bulan ke depan.
Apakah definisi "swasembada" berarti hasil panen sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat pada tahun berjalan, atau sudah ditambahkan dengan persediaan dan cadangan ketahanan pangan bila terjadi gagal panen serta persediaan selama 6 bulan ke depan?
Menjadi pertanyaan juga, apakah hasil panen yang dijadikan acuan perhitungan swasembada tersebut adalah kondisi aktual dan sudah terjadi atau masih merupakan hasil prediksi/perhitungan di atas kertas alias asumsi hasil panen jika berjalan sesuai harapan. Bagaimana jika ternyata sebelum panen, terjadi serangan hama atau ada musibah alam yang mengakibatkan sawah dan padi yang "siap panen" menjadi puso? Mungkin para pakar perberasan, birokrat, pengamat serta mereka yang selalu bising meributkan hal ini perlu menjelaskan dan menyepakati dulu asumsi-asumsinya sehingga perdebatan atau diskusinya berpijak pada pondasi yang sama. Jangan berbicara dengan niat buruk membuat keriuhan. Sudah saatnya kita berbicara untuk perbaikan negeri ini siapapun yang menjadi pucuk pimpinan.
Lepas dari keriuhan dan kesimpang-siuran di atas, saya ingin berbagi sedikit kenangan masa lalu, saat Orde Baru masih sibuk "membenahi" kondisi ekonomi Indonesia yang morat-marit akibat politik yang dijalankan pada masa pemerintaha Orde Lama.
Sepertinya, nostalgia ini tidak ada hubungan dengan swasembada ya? Tapi kenangan itu menjelaskan betala kita "kehilangan" terlalu banyak persawahan subur di tanah Jawa Barat.
***
Keluarga kami pindah ke Karawang pada tahun 1968, untuk mengikuti tugas ayah, setelah sebelumnya, selama sekitar 3 tahun bertempat tinggal di Garut - salah satu dataran tinggi Parahyangan yang hingga saat ini terkenal dengan dodolnya yang khas serta kerajinan kulit seperti jaket, tas, dompet dan sejenisnya yang berkualitas sangat baik.
Pada masa kami tinggal di Garut, wilayah tersebut masih dikenal sebagai penghasil jeruk manis yang sangat terkenal dengan beragam jenisnya antara lain, yang masih saya ingat adalah jeruk siam dan jeruk konde. Jeruk konde ini cukup unik, memiliki diameter yang cukup besar, sekitar 10cm dan agak pipih. Bila dikupas kulitnya, maka daging buahnya terlihat lepas dari kuit. Rasanya ....? sebagaimana jeruk dari kebun petani traditional, terutama di sentra Karang Pawitan, hampir seluruhnya terasa sangat manis. Sangat jarang ditemukan rasa peruk yang masam.
Ke sanalah biasanya kami menghabiskan waktu saat week end. Memancing ikan mas di kolam, makan siang di saung dengan ikan mas dan ayam kampung digoreng, lalaban dan sambal terapi. Terkadang disediakan juga petai bakar. Dengan menikmati nasi panas dan lauk pauknya, ditengahi olen suara seruling dikejauhan ... Kalau kebetulan sedang masa panen, usai makan siang anak-anak diajak memilih dan memetik jeruk sendiri, tanpa batas .... Serasa memiliki kebun sendiri..... Wuih .... betapa terasa nikmatnya hidup ini ..... Itulah sepenggal kenangan masa kecil.
Kira-kira 100 meter di belakang rumah tempat tinggal kami di jalan Ciledug, ada pabrik penyulingan akar wangi yang oleh warga setempat disebut "usar". Itulah akhir jalan di samping rumah karena tepat di belakang pabrik sudah terbentang terasering sawah yang sangat luas. Tempat saya selalu melewatkan waktu sepanjang hari, usai sekolah. Berlarian di pematangnya, mencari tutut, genjer dan tanaman lain yang layak makan untuk kemudian diberikan kepada teman-teman yang menyukainya walau terkadang terpleset dan pulang ke rumah berlumuran lumpur. Maklumlah ....."anak kota" yang tidak pernah mengenal sawah, menjadi sangat suka bermain di pesawahan apalagi tatkala menemukan sumber mata air yang sangat jernih dan dingin.
Usai panen dan menjelang musim tanam selanjutnya, biasanya pemilik sawah akan memanfaatkan waktu jeda tersebut untuk menyemaikan ikan. Ikan yang baru saya kenal bentuk dan rasanya saat tinggal di Garut. Pola tanam tersebut membuktikan bahwa sekitar tahun 1966 hingga masa mulai dikenal program intensifikasi persawahan sekitar tahun 1968, tanaman padi dan lingkungannya betul-betul bebas pupuk kimiawi, pestisida dan sejenisnya. Kalau saat ini dikenal sebagai pertanian organik.
Kembali ke Karawang, tempat tinggal kami di (dahulu) jalan Jend. A Yani - kawasan yang lebih dikenal sebagai Guro I, adalah kawasan perumahan baru. Sebagai wilayah yang saat itu dikenal sebagai gudang beras manjado wajar bila massif ditemukan persawahan. Sebagaimana laiknya kota-kota di Indonesia lainnya, kota tumbuh di sekitar pusat keramaian berupa pasar, station kereta api dan di sepanjang jalan yang meaghubungkan antara pasar dengan stasiun. Karena Karawang dikenal sebagai lumbung beras/padi maka kota tersebut masih di kelilingi oleh sawah.
Itu sebab .... selain jalan Tuparev (Tujuh Pahlawan Revolusi), yaitu jalan utama yang membelah kota, untuk mencapai bagian kota lainnya, jalan raya masih menembus area pesawahan yang dialiri oleh air yang berasal dari saluran irigasi. Memang .... sampai akhir tahun 1960 an, Karawang masih dikenal sebagai daerha penghasil beras.
Transportasi menuju Jakarta dilakukan dengan kendaraan bermotor (mobil) dan kereta Api. Tentu jangan dibandingkan dengan kondisi saat ini. Jembatan yang melintasi sungai Citarum di daerah Tanjungpura, sebelum Lemah Abang, masih jembatan kayu yang harus dilalui secara bergantían. Namun demikian perjalanan ke Jakarta yang bebas macet dan dapat ditempuh dalam waktu 1 jam saja, terasa sangat menyenangkan terutama saat sudah lewat musim tanam. Pemandangan hijau royo-royo menghiasi hampir seluruh perjalanan. Batas setiap kecamatan masih sangat terasa, selain karena ciri khas kecamatan terkait, juga karena adanya hamparan sawah di setiap antara kecamatan.
Setelah melewati station Lemah Abang, kami cembalo menyusuri jalan yang membelah persawahan kita menemukan gubuk-gubuk pembakaran batu bata yang sekelilingnya dipenuhi dengan tumpukan bata mentah berwarna merah. Itu sebagai tanda kami sudah memasuki wilayah Cikarang yang saat ini menjadi terkenal dengan kasus Meikarta. Sebagaimana Lemah Abang, pusat keramaian kota kecamatan Cikarang di sepanjang jalan menuju Jakarta yang dilewati kendaraan tidak terlalu luas dan panjang. Mungkin hanya sekitar 300-500 meter saja, kita sudah kembali menyusuri persawahan. menuju Tambun, lalu Bekasi, Cakung - Klender. Saat itu saya sama sekali belum meyadari bahwa Cakung adalah wilayah DKI Jakarta, karena masih menjadi area persawahan. Kesadaran sudah memasuki wilayah DKI Jakarta baru ada saat memasuki wilayah Klender dan Lapangan Golf Rawamangun.
Wilayah Cakung mudah dikenali karena biasanya kami menemukan rombongan penggembala itik atau saat itu kami sebut "meri". Entah kenapa, penggembala itik hanya bisa ditemukan di wilayah Cakung karena kalau acuannya adalah memberi makan dengan bulir padi sisa panen dan membawanya ke persawahan, seharusnya penggembala itik bisa ditemukan di hampir seluruh area persawahan di sepanjang perjalanan dari Karawang ke Jakarta.
Sebetulnya, area persawahan tersebut sudah diairi secara teknis melalui irigasi yang sumbernya dari sungai Citarum dan telah dibendung di Jatiluhur. Entah apakah pola tanam dan pupuknya sudah menggunakan pupuk kimiawi, atau belum.
Yang diingat betul, adalah bahwa sekitar tahun 1968, rumah di sebelah tempat tinggal kami tiba-tiba dihuni oleh bule-bule asal Belanda. Mereka menggunakan rumah tersebut sebagai kantor sekaligus tempat tinggal sebelum akhirnya menyewa 2 atas 3 rumah lagi masih di jalan yang sama. Pada mobil-mobil jeep yang digunakan, tarter tulisan CIBA-GEIGI. Rupanya, mereka adalah konsultan/perusahaan yang ditugaskan pemerintah untuk melakukan intensifikasi penanaman beras. Sangat mungkin pada masa itulah mulai diperkenalkan penggunaan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen hingga akhirnya Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Bayangkan .... ada waktu sekitar 16 tahun sejak masuknya Ciba Geigi ke Indonesia, khususnya yang saya ketahui di kabupaten Karawang.
Sekarang ..... mari kita tengok apa yang terjadi di sepanjang jalan antara Karawang si lumbung padi ke Jakarta, bain melalui jalan toll, apalagi lewat jalur tradisional, jalan nacional yang lebih dikenal sebagai jalur pantura. Tetap menyusuri kecamatan-kecamatan yang sudah disebutkan tadi. Jalan nasional yang biasa dilalui pada awal tahun 1970an adalah menyusuri jalan Pramuka - jalan Pemuda dan masuk ke jalur pantura melewati Cakung - Kranji - Bekasi - Tambun - Cibitung - Cikarang - Lemah Abang - Kedung Gedeh - Karawang. Tengoklah apa yang tersaji selama perjalanan tersebut.... Nyaris tak ada jeda pemandangan hijau royo-royo. Hampir disepanjang jalan ditemukan ruko alias rumah toko, warung-warung, beragam pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern yang berarti gedung bertingkat yang Padang Sudan terlihat lusuh tau yang sedikit lebbig blik kondisinya disebut Plaza atau Mall. Namun kesemuanya memiliki persamaan yang khas, ... penyumbang kemacetan karena kegiatan tersebut melimpah ruah ke badan jalan.
Kondisi di atas dapat berarti ada pengurangan lahan pertanian produktif terutama sawah dengan irigasi teknis yang menjadi Khas persawahan di wilayah Bekasi dan Karawang secara massive, sementara pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan jumlah penduduk yang juga sangat massive akibat pertumbuhan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
Hal yang sama, secara analog, yaitu pengurangan lahan pertanian khususnya sawah dan kebab saurian secara massive, terjadi di wilayah lain di hampir seluruh wilayah pulau Jawa sebagai daerah yang paling subur untuk kegiatan menanam padi, maupun di pulau Sumatera. Sama halnya dengan pertumbuhan jumlah penduduk baik akibat kelahiran maupun peningkatan kegiatan ekonomi yang menyebabkan terjadinya arus urbanisasi.
Hal yang yang turut memperberat persediaan beras adalah, perubahan pola konsumsi masyarakat. Kalau dulu, makanan pokok masyarakat Madura adalah nasi jagung, Gunung Kidul di DI Yogyakarta dengan tiwulnya lalu masyarakat kawasan timur Indonesia, Maluku dan Papua, sangat bangga dengan makanan tradisional yang terbuat dari sagu dan kemudian dikenal juga dengan sajian bubur sagu bernama pepeda, kini semua nyaris ditinggalkan dan dianggap makanan kelas dua.
Bayangkan .... betapa besar kebutuhan akan persediaan beras, sementara upaya untuk membuka lahan baru persawahan tentu tidak mudah dan memakan waktu yang panjang. Bukan hanya membuka hutan, tetapi harus memperhitungkan juga pembersihan lana dari bonggol-bonggol akar, kemudian meneliti kondisi tanah agar diperoleh bibit tanaman yang sesuai dengann fisiologis lahan setempat. Tidak lupa juga haras mempersiapkan sistem pengairannya apakah dari sungai. Kalau lahan berdekatan dengan sungaipun, masih harus membuat saluran-saluran irigasi agar seluruh lahan terairi dengan baik.
Jadi ..... itu, bukan jenis pekerjaan yang bisa diselesaikan sebelum Matahari terbit semacam dongeng berdirinya candi Loro Jongrang atau terjadinya Gunung Tangkuban Parahu. Berhentilah bermimpi dan pakai nalar .... Memperbaiki "ketidakseimbangan" lingkungan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Perlu akal sehat supaya bisa merencanakan pekerjaan dengan baik dan benar. Kalau sudah ada rencana, pelaksanaannya perlu waktu, perlu kesabaran, konsistensi dalam bekerja .... Singsingkan lengan baju bersama untuk saling bantu membangun NKRI.
Bukan misuh-misuh nagga keruan yang nantinya hanya menunjukkan betapa kita hanya pandai berkeluh kesah saja.
Salam
Apakah definisi "swasembada" berarti hasil panen sesuai dengan kebutuhan konsumsi masyarakat pada tahun berjalan, atau sudah ditambahkan dengan persediaan dan cadangan ketahanan pangan bila terjadi gagal panen serta persediaan selama 6 bulan ke depan?
Menjadi pertanyaan juga, apakah hasil panen yang dijadikan acuan perhitungan swasembada tersebut adalah kondisi aktual dan sudah terjadi atau masih merupakan hasil prediksi/perhitungan di atas kertas alias asumsi hasil panen jika berjalan sesuai harapan. Bagaimana jika ternyata sebelum panen, terjadi serangan hama atau ada musibah alam yang mengakibatkan sawah dan padi yang "siap panen" menjadi puso? Mungkin para pakar perberasan, birokrat, pengamat serta mereka yang selalu bising meributkan hal ini perlu menjelaskan dan menyepakati dulu asumsi-asumsinya sehingga perdebatan atau diskusinya berpijak pada pondasi yang sama. Jangan berbicara dengan niat buruk membuat keriuhan. Sudah saatnya kita berbicara untuk perbaikan negeri ini siapapun yang menjadi pucuk pimpinan.
Lepas dari keriuhan dan kesimpang-siuran di atas, saya ingin berbagi sedikit kenangan masa lalu, saat Orde Baru masih sibuk "membenahi" kondisi ekonomi Indonesia yang morat-marit akibat politik yang dijalankan pada masa pemerintaha Orde Lama.
Sepertinya, nostalgia ini tidak ada hubungan dengan swasembada ya? Tapi kenangan itu menjelaskan betala kita "kehilangan" terlalu banyak persawahan subur di tanah Jawa Barat.
***
Jerk Garut |
Pada masa kami tinggal di Garut, wilayah tersebut masih dikenal sebagai penghasil jeruk manis yang sangat terkenal dengan beragam jenisnya antara lain, yang masih saya ingat adalah jeruk siam dan jeruk konde. Jeruk konde ini cukup unik, memiliki diameter yang cukup besar, sekitar 10cm dan agak pipih. Bila dikupas kulitnya, maka daging buahnya terlihat lepas dari kuit. Rasanya ....? sebagaimana jeruk dari kebun petani traditional, terutama di sentra Karang Pawitan, hampir seluruhnya terasa sangat manis. Sangat jarang ditemukan rasa peruk yang masam.
Ke sanalah biasanya kami menghabiskan waktu saat week end. Memancing ikan mas di kolam, makan siang di saung dengan ikan mas dan ayam kampung digoreng, lalaban dan sambal terapi. Terkadang disediakan juga petai bakar. Dengan menikmati nasi panas dan lauk pauknya, ditengahi olen suara seruling dikejauhan ... Kalau kebetulan sedang masa panen, usai makan siang anak-anak diajak memilih dan memetik jeruk sendiri, tanpa batas .... Serasa memiliki kebun sendiri..... Wuih .... betapa terasa nikmatnya hidup ini ..... Itulah sepenggal kenangan masa kecil.
Kira-kira 100 meter di belakang rumah tempat tinggal kami di jalan Ciledug, ada pabrik penyulingan akar wangi yang oleh warga setempat disebut "usar". Itulah akhir jalan di samping rumah karena tepat di belakang pabrik sudah terbentang terasering sawah yang sangat luas. Tempat saya selalu melewatkan waktu sepanjang hari, usai sekolah. Berlarian di pematangnya, mencari tutut, genjer dan tanaman lain yang layak makan untuk kemudian diberikan kepada teman-teman yang menyukainya walau terkadang terpleset dan pulang ke rumah berlumuran lumpur. Maklumlah ....."anak kota" yang tidak pernah mengenal sawah, menjadi sangat suka bermain di pesawahan apalagi tatkala menemukan sumber mata air yang sangat jernih dan dingin.
Usai panen dan menjelang musim tanam selanjutnya, biasanya pemilik sawah akan memanfaatkan waktu jeda tersebut untuk menyemaikan ikan. Ikan yang baru saya kenal bentuk dan rasanya saat tinggal di Garut. Pola tanam tersebut membuktikan bahwa sekitar tahun 1966 hingga masa mulai dikenal program intensifikasi persawahan sekitar tahun 1968, tanaman padi dan lingkungannya betul-betul bebas pupuk kimiawi, pestisida dan sejenisnya. Kalau saat ini dikenal sebagai pertanian organik.
Karawang si Lumbung Beras |
Itu sebab .... selain jalan Tuparev (Tujuh Pahlawan Revolusi), yaitu jalan utama yang membelah kota, untuk mencapai bagian kota lainnya, jalan raya masih menembus area pesawahan yang dialiri oleh air yang berasal dari saluran irigasi. Memang .... sampai akhir tahun 1960 an, Karawang masih dikenal sebagai daerha penghasil beras.
Transportasi menuju Jakarta dilakukan dengan kendaraan bermotor (mobil) dan kereta Api. Tentu jangan dibandingkan dengan kondisi saat ini. Jembatan yang melintasi sungai Citarum di daerah Tanjungpura, sebelum Lemah Abang, masih jembatan kayu yang harus dilalui secara bergantían. Namun demikian perjalanan ke Jakarta yang bebas macet dan dapat ditempuh dalam waktu 1 jam saja, terasa sangat menyenangkan terutama saat sudah lewat musim tanam. Pemandangan hijau royo-royo menghiasi hampir seluruh perjalanan. Batas setiap kecamatan masih sangat terasa, selain karena ciri khas kecamatan terkait, juga karena adanya hamparan sawah di setiap antara kecamatan.
gubuk pembakaran batu bata di tengah sawah |
Wilayah Cakung mudah dikenali karena biasanya kami menemukan rombongan penggembala itik atau saat itu kami sebut "meri". Entah kenapa, penggembala itik hanya bisa ditemukan di wilayah Cakung karena kalau acuannya adalah memberi makan dengan bulir padi sisa panen dan membawanya ke persawahan, seharusnya penggembala itik bisa ditemukan di hampir seluruh area persawahan di sepanjang perjalanan dari Karawang ke Jakarta.
Sebetulnya, area persawahan tersebut sudah diairi secara teknis melalui irigasi yang sumbernya dari sungai Citarum dan telah dibendung di Jatiluhur. Entah apakah pola tanam dan pupuknya sudah menggunakan pupuk kimiawi, atau belum.
Yang diingat betul, adalah bahwa sekitar tahun 1968, rumah di sebelah tempat tinggal kami tiba-tiba dihuni oleh bule-bule asal Belanda. Mereka menggunakan rumah tersebut sebagai kantor sekaligus tempat tinggal sebelum akhirnya menyewa 2 atas 3 rumah lagi masih di jalan yang sama. Pada mobil-mobil jeep yang digunakan, tarter tulisan CIBA-GEIGI. Rupanya, mereka adalah konsultan/perusahaan yang ditugaskan pemerintah untuk melakukan intensifikasi penanaman beras. Sangat mungkin pada masa itulah mulai diperkenalkan penggunaan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen hingga akhirnya Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Bayangkan .... ada waktu sekitar 16 tahun sejak masuknya Ciba Geigi ke Indonesia, khususnya yang saya ketahui di kabupaten Karawang.
Sekarang ..... mari kita tengok apa yang terjadi di sepanjang jalan antara Karawang si lumbung padi ke Jakarta, bain melalui jalan toll, apalagi lewat jalur tradisional, jalan nacional yang lebih dikenal sebagai jalur pantura. Tetap menyusuri kecamatan-kecamatan yang sudah disebutkan tadi. Jalan nasional yang biasa dilalui pada awal tahun 1970an adalah menyusuri jalan Pramuka - jalan Pemuda dan masuk ke jalur pantura melewati Cakung - Kranji - Bekasi - Tambun - Cibitung - Cikarang - Lemah Abang - Kedung Gedeh - Karawang. Tengoklah apa yang tersaji selama perjalanan tersebut.... Nyaris tak ada jeda pemandangan hijau royo-royo. Hampir disepanjang jalan ditemukan ruko alias rumah toko, warung-warung, beragam pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern yang berarti gedung bertingkat yang Padang Sudan terlihat lusuh tau yang sedikit lebbig blik kondisinya disebut Plaza atau Mall. Namun kesemuanya memiliki persamaan yang khas, ... penyumbang kemacetan karena kegiatan tersebut melimpah ruah ke badan jalan.
Cikarang saat ini |
Kondisi di atas dapat berarti ada pengurangan lahan pertanian produktif terutama sawah dengan irigasi teknis yang menjadi Khas persawahan di wilayah Bekasi dan Karawang secara massive, sementara pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan jumlah penduduk yang juga sangat massive akibat pertumbuhan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut.
Hal yang sama, secara analog, yaitu pengurangan lahan pertanian khususnya sawah dan kebab saurian secara massive, terjadi di wilayah lain di hampir seluruh wilayah pulau Jawa sebagai daerah yang paling subur untuk kegiatan menanam padi, maupun di pulau Sumatera. Sama halnya dengan pertumbuhan jumlah penduduk baik akibat kelahiran maupun peningkatan kegiatan ekonomi yang menyebabkan terjadinya arus urbanisasi.
Hal yang yang turut memperberat persediaan beras adalah, perubahan pola konsumsi masyarakat. Kalau dulu, makanan pokok masyarakat Madura adalah nasi jagung, Gunung Kidul di DI Yogyakarta dengan tiwulnya lalu masyarakat kawasan timur Indonesia, Maluku dan Papua, sangat bangga dengan makanan tradisional yang terbuat dari sagu dan kemudian dikenal juga dengan sajian bubur sagu bernama pepeda, kini semua nyaris ditinggalkan dan dianggap makanan kelas dua.
Sawah sudah berubah jadi jalan toll |
Jadi ..... itu, bukan jenis pekerjaan yang bisa diselesaikan sebelum Matahari terbit semacam dongeng berdirinya candi Loro Jongrang atau terjadinya Gunung Tangkuban Parahu. Berhentilah bermimpi dan pakai nalar .... Memperbaiki "ketidakseimbangan" lingkungan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Perlu akal sehat supaya bisa merencanakan pekerjaan dengan baik dan benar. Kalau sudah ada rencana, pelaksanaannya perlu waktu, perlu kesabaran, konsistensi dalam bekerja .... Singsingkan lengan baju bersama untuk saling bantu membangun NKRI.
Bukan misuh-misuh nagga keruan yang nantinya hanya menunjukkan betapa kita hanya pandai berkeluh kesah saja.
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar