Pagi ini, salah seorang sepupuku,
mengirim pesan via whatsapp menanyakan apakah saya memiliki informasi atau
konfirmasi mengenai kubu Pak Jokowi yang di dalamnya ada anggota PKI... dan apakah
negara kita akan diarahkan kesana kah? Begitu juga dengan isu2 tentang
banyaknya tki dari China yang bekerja di Indonesia.
Pertanyaan yang cukup sensitif
pada masa menjelang pemilihan presiden 17 April yang akan datang. Belum tentu bisa dimengerti dan diterima
secara wajar apalagi oleh para pendukung fanatik pasangan calon presiden yang
saling berlawanan. Namun demikinan, saya berusaha untuk menjawabnya, apapun
tanggapan yang akan diberikannya. Kira–kira, beginilah dialog yang terjadi; memang
PKI sekarang masih ada, setelah dibubarkan oleh Suharto pada tahun 1966? Kalau
anak dan keturunan anggota PKI, tentu masih ada dimana–mana. Bukan sekedar di
“kubu Jokowi” seperti yang anda katakana, bahkan bukan tidak mungkin pula bahwa
anak dan keturunan anggota PKI ada di kubu Prabowo sendiri. Peristiwa
Pemberontakan G30S/PKI sudah berlalu hampir 54 tahun yang lalu. Kalau kita baca
buku–buku yang pada masa pemerintahan Soeharto terlarang, ada beragam versi dan
silang sekarut berkenaan dengan peristiwa tersebut. Bahkan ada yang menyebutkan
bahwa Soeharto sendiri “memanfaatkan” kekhawatiran petinggi PKI atas kondisi
kesehatan Soekarno saat itu.
Dilain pihak, Soemitro
Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto sendiri dikenal sebagai salah satu tokoh
pemberontak PRRI/PERMESTA yang karenanya “melarikan diri” ke luar Indonesia
sampai suatu ketika, atas inisiatif Suharto belia “dipanggil kembali” ke
Indonesia. Nah …. Kalau kita cukup kritis, mengapa kondisi ini tidak
dipermasalahkan?
Prabowo Subianto adalah jelas
anak kandung Sumitro Djojohadikusumo, yang karena “perbuatan” ayahnya, terpaksa
turut dibawa mengungsi oleh kedua orangtuanya untuk hidup dalam pelarian di
luar negeri. Itu menyatakan dengan gamblang sebab–sebab mengapa seluruh
pendidikannya hingga bangku setingkat SMA dilalui di berbagai Negara di luar
teritori Indonesia. Sementara itu, mereka
yang diduga sebagai anak–keturunan PKI yang berada di kubu Jokowi, mungkin ada
beberapa atau bahkan banyak sekali, namun entah siapa dan entah sejauh atau
sedekat apa pula hubungannya dengan Jokowi. Tuduhan – tuduhan tersebut tidak
selalu jelas menyebutkan nama. Tetapi kalau kita bicara soal anak keturunan
anggota PKI setelah 54 tahun berlalu, secara logika, tentu saja mereka sudah
beranak–pinak dan tersebar kemana–mana. Bukan saja berada di kubu Jokowi, tapi ….
percayalah, mereka ada di mana – mana. Di kubu Prabowo dan partai politik
lainnya pun hampir tidak mungkin lepas dari mereka. Bahkan tetangga anda atau teman
tidur seranjangpun bisa terindikasi “tidak bersih lingkungan”. Ini istilah yang
biasa digunakan pada masa pemerintahan orde baru. Namun mengkaitkan mereka identik
dengan paham PKI dan harus diperlakukan seperti layaknya kita berhadapan dengan
virus penyakit yang mematikan dan karenanya perlu dijauhi atau bahkan
dihancur–leburkan, jelas merupakan pendapat yang mengada–ada.
Komunis adalah paham dan
ideologi, sama halnya dengan paham dan ideology sosialis bahkan kapitalis
sekalipun. Semua yang berasal dari ide à
ideal à
ideology tentu selalu berbicara tentang hal yang baik–baik saja dan akan
menjadi berbeda sesuai dengan maksud, tujuan, cara menerapkan dan pelakunya.
Bisa menjadi hal yang sangat positif bila maksud, tujuan, cara menerapkan
dilaksanakan dengan cara yang baik dan pelakunya memiliki niat yang baik pula.
Namun bisa juga menjadi sangat mengerikan dan menghancur leburkan tatanan
kemanusiaan manakala maksud, tujuan, cara menerapkan dan pelakunya mengabaikan
nilai universal kemanusiaan.
Akan halnya berita tentang adanya
10 juta tenaga kerja asing berasal Cina di Morowali juga merupakan suatu berita
yang berlebihan dan sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin?
Morowali adalah kota kecil dengan
penduduk hanya + 113 ribu jiwa. Bayangkan, seperti apa wajah wilayah
Morowali bila benar ada 10 juta tenaga kerja asing yang berasal dari Cina. Kelompok
bisnis seperti sinarmas, salim grup dll paling banter punya pegawai sekitar
150rb hingga 400 ribu saja dan itupun tersebar di seluruh Indonesia.
Sebuah pabrik yang sangat besar,
apalagi pada era otomatisasi peralatan, rasanya hanya akan menyerap sekitar 3rb
sd 10rb buruh per pabrik. Tentu untuk menampung 10 juta tenaga kerja asing
diperlukan setidaknya 1.000 sampai dengan 3.000 pabrik besar yang beroperasi di
Morowali. Dengan logika seperti itu, masuk akalkah kalau di Morowali ada 10 juta
TKA Cina?
Ayolah berpikir logis ….
Tanpa mengesampingkan masalah
tenaga kerja asing, mari berpikir rasional dan terbuka. PT Wijaya Karya, salah
satu BUMN di bawah kementrian PUPR alias Kementrian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, hampir setiap kontraknya di Negara lain seperti Timur Tenggah,
Afrika Utara, maupun Negara Asean akan membawa ratusan hingga ribuan tenaga
kerja Indonesia dari berbagai tingkat untuk bekerja disana demi effisiensi
kerja dan meminimalkan miskomunikasi (kendala bahasa) dalam pelaksanaa proyek.
Jadi ... adalah suatu hal yang sangat biasa dalam bisnis manakala dalam suatu
proyek, maka pemegang proyek akan membawa pekerja yang biasa kerja dengannya.
Apalagi kalau proyek tersebut dibiayai kontraktor dengan perjanjian kerja
semacam turn-key project.
Jadi ... siapapun pemenang atau
pemegang kontrak kerja, bukan hanya pemerintah atau pengusaha yang berasal dari
Cina, yang bekerja di Indonesia dan melengkapinya dengan pembiayaan yang mereka
tanggung juga, maka sangat wajar kalau mereka membawa orang–orangnya sekaligus
supaya lebih effisien, murah dan tidak terkendala dalam komunikasi. Apalagi,
khusus untuk pekerja Cina, sebagai masyarakat yang sejak lama berinteraksi
dengan mereka, secara jujur harus diakui bagaimana etos kerja masyarakat Cina yang
sangat luar biasa bila dibandingkan dengan etos kerja orang Indonesia.
Akhirnya … alangkah baiknya kalau
masyarakat mau bersikap bijak, kritis dan tidak terbawa perasaan dalam membaca
berita terutama yang berseliweran di media sosial dan bahkan sekarang banyak
dibicarakan di masjid–masjid, bahkan dari rumah ke rumah karena sayangnya,
berita apapun dan darimanapun asalnya tidak pernah obyektif. Akan selalu ada “maksud
dan tujuan terselubung” baik dari penulis maupun media yang menyebarkannya.
Apalagi jaman sekarang dimana setiap orang dengan sangat mudah memlintir dan
mendistorsi apapun yang dimauinya, dengan mengabaikan etika dan etiket.
Mengerikan sekali … Berita tidak dapat
dipercaya 100% dan itu sudah terjadi sejak lama. Bisa dijadikan referensi. Selebihnya
tetap berpulang pada keyakinan kita.
Kita doakan agar Presiden
mendatang adalah Pemimpin yang akan membawa kebaikan bagi seluruh rakyat
Indonesia siapapun dia. Serahkan kepada keputusan Allah SWT namun dengan tetap menggunakan hak dan kewajiban
politik, yaitu memilih presiden. Yang terakhir tentu jangan sampai salah pilih,
karena taruhannya terlalu besar bagi NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar