Rabu, 06 Maret 2019

Obrolan Pagi Hari

Pagi ini, salah seorang sepupuku, mengirim pesan via whatsapp menanyakan apakah saya memiliki informasi atau konfirmasi mengenai kubu Pak Jokowi yang di dalamnya ada anggota PKI... dan apakah negara kita akan diarahkan kesana kah? Begitu juga dengan isu2 tentang banyaknya tki dari China yang bekerja di Indonesia.

Pertanyaan yang cukup sensitif pada masa menjelang pemilihan presiden 17 April yang akan datang.  Belum tentu bisa dimengerti dan diterima secara wajar apalagi oleh para pendukung fanatik pasangan calon presiden yang saling berlawanan. Namun demikinan, saya berusaha untuk menjawabnya, apapun tanggapan yang akan diberikannya. Kira–kira, beginilah dialog yang terjadi; memang PKI sekarang masih ada, setelah dibubarkan oleh Suharto pada tahun 1966? Kalau anak dan keturunan anggota PKI, tentu masih ada dimana–mana. Bukan sekedar di “kubu Jokowi” seperti yang anda katakana, bahkan bukan tidak mungkin pula bahwa anak dan keturunan anggota PKI ada di kubu Prabowo sendiri. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI sudah berlalu hampir 54 tahun yang lalu. Kalau kita baca buku–buku yang pada masa pemerintahan Soeharto terlarang, ada beragam versi dan silang sekarut berkenaan dengan peristiwa tersebut. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa Soeharto sendiri “memanfaatkan” kekhawatiran petinggi PKI atas kondisi kesehatan Soekarno saat itu.

Dilain pihak, Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto sendiri dikenal sebagai salah satu tokoh pemberontak PRRI/PERMESTA yang karenanya “melarikan diri” ke luar Indonesia sampai suatu ketika, atas inisiatif Suharto belia “dipanggil kembali” ke Indonesia. Nah …. Kalau kita cukup kritis, mengapa kondisi ini tidak dipermasalahkan?

Prabowo Subianto adalah jelas anak kandung Sumitro Djojohadikusumo, yang karena “perbuatan” ayahnya, terpaksa turut dibawa mengungsi oleh kedua orangtuanya untuk hidup dalam pelarian di luar negeri. Itu menyatakan dengan gamblang sebab–sebab mengapa seluruh pendidikannya hingga bangku setingkat SMA dilalui di berbagai Negara di luar teritori Indonesia.  Sementara itu, mereka yang diduga sebagai anak–keturunan PKI yang berada di kubu Jokowi, mungkin ada beberapa atau bahkan banyak sekali, namun entah siapa dan entah sejauh atau sedekat apa pula hubungannya dengan Jokowi. Tuduhan – tuduhan tersebut tidak selalu jelas menyebutkan nama. Tetapi kalau kita bicara soal anak keturunan anggota PKI setelah 54 tahun berlalu, secara logika, tentu saja mereka sudah beranak–pinak dan tersebar kemana–mana. Bukan saja berada di kubu Jokowi, tapi …. percayalah, mereka ada di mana – mana. Di kubu Prabowo dan partai politik lainnya pun hampir tidak mungkin lepas dari mereka. Bahkan tetangga anda atau teman tidur seranjangpun bisa terindikasi “tidak bersih lingkungan”. Ini istilah yang biasa digunakan pada masa pemerintahan orde baru. Namun mengkaitkan mereka identik dengan paham PKI dan harus diperlakukan seperti layaknya kita berhadapan dengan virus penyakit yang mematikan dan karenanya perlu dijauhi atau bahkan dihancur–leburkan, jelas merupakan pendapat yang mengada–ada.

Komunis adalah paham dan ideologi, sama halnya dengan paham dan ideology sosialis bahkan kapitalis sekalipun. Semua yang berasal dari ide à ideal à ideology tentu selalu berbicara tentang hal yang baik–baik saja dan akan menjadi berbeda sesuai dengan maksud, tujuan, cara menerapkan dan pelakunya. Bisa menjadi hal yang sangat positif bila maksud, tujuan, cara menerapkan dilaksanakan dengan cara yang baik dan pelakunya memiliki niat yang baik pula. Namun bisa juga menjadi sangat mengerikan dan menghancur leburkan tatanan kemanusiaan manakala maksud, tujuan, cara menerapkan dan pelakunya mengabaikan nilai universal kemanusiaan.

Akan halnya berita tentang adanya 10 juta tenaga kerja asing berasal Cina di Morowali juga merupakan suatu berita yang berlebihan dan sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin?

Morowali adalah kota kecil dengan penduduk hanya + 113 ribu jiwa. Bayangkan, seperti apa wajah wilayah Morowali bila benar ada 10 juta tenaga kerja asing yang berasal dari Cina. Kelompok bisnis seperti sinarmas, salim grup dll paling banter punya pegawai sekitar 150rb hingga 400 ribu saja dan itupun tersebar di seluruh Indonesia.

Sebuah pabrik yang sangat besar, apalagi pada era otomatisasi peralatan, rasanya hanya akan menyerap sekitar 3rb sd 10rb buruh per pabrik. Tentu untuk menampung 10 juta tenaga kerja asing diperlukan setidaknya 1.000 sampai dengan 3.000 pabrik besar yang beroperasi di Morowali. Dengan logika seperti itu, masuk akalkah kalau di Morowali ada 10 juta TKA Cina?
Ayolah berpikir logis ….

Tanpa mengesampingkan masalah tenaga kerja asing, mari berpikir rasional dan terbuka. PT Wijaya Karya, salah satu BUMN di bawah kementrian PUPR alias Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hampir setiap kontraknya di Negara lain seperti Timur Tenggah, Afrika Utara, maupun Negara Asean akan membawa ratusan hingga ribuan tenaga kerja Indonesia dari berbagai tingkat untuk bekerja disana demi effisiensi kerja dan meminimalkan miskomunikasi (kendala bahasa) dalam pelaksanaa proyek. Jadi ... adalah suatu hal yang sangat biasa dalam bisnis manakala dalam suatu proyek, maka pemegang proyek akan membawa pekerja yang biasa kerja dengannya. Apalagi kalau proyek tersebut dibiayai kontraktor dengan perjanjian kerja semacam turn-key project.

Jadi ... siapapun pemenang atau pemegang kontrak kerja, bukan hanya pemerintah atau pengusaha yang berasal dari Cina, yang bekerja di Indonesia dan melengkapinya dengan pembiayaan yang mereka tanggung juga, maka sangat wajar kalau mereka membawa orang–orangnya sekaligus supaya lebih effisien, murah dan tidak terkendala dalam komunikasi. Apalagi, khusus untuk pekerja Cina, sebagai masyarakat yang sejak lama berinteraksi dengan mereka, secara jujur harus diakui bagaimana etos kerja masyarakat Cina yang sangat luar biasa bila dibandingkan dengan etos kerja orang Indonesia.

Akhirnya … alangkah baiknya kalau masyarakat mau bersikap bijak, kritis dan tidak terbawa perasaan dalam membaca berita terutama yang berseliweran di media sosial dan bahkan sekarang banyak dibicarakan di masjid–masjid, bahkan dari rumah ke rumah karena sayangnya, berita apapun dan darimanapun asalnya tidak pernah obyektif. Akan selalu ada “maksud dan tujuan terselubung” baik dari penulis maupun media yang menyebarkannya. Apalagi jaman sekarang dimana setiap orang dengan sangat mudah memlintir dan mendistorsi apapun yang dimauinya, dengan mengabaikan etika dan etiket.
Mengerikan sekali … Berita tidak dapat dipercaya 100% dan itu sudah terjadi sejak lama. Bisa dijadikan referensi. Selebihnya tetap berpulang pada keyakinan kita.

Kita doakan agar Presiden mendatang adalah Pemimpin yang akan membawa kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia siapapun dia. Serahkan kepada keputusan Allah  SWT namun dengan tetap menggunakan hak dan kewajiban politik, yaitu memilih presiden. Yang terakhir tentu jangan sampai salah pilih, karena taruhannya terlalu besar bagi NKRI.

Semoga pemimpin yang akan datang adalah yang dapat membawa kesejahteraan rakyat  Indonesia dengan.penuh kedamaian... Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...