Umur kami sudah di kisaran 50 tahun. Rasanya orang-orang yang segenerasi dengan kami sudah menikah antara 20 – 25 tahun, walaupun ada beberapa yang terlambat menikah. Jadi masa-masa sekarang, kami sudah mulai menerima undangan dari teman-teman masa kuliah maupun teman masa di SMA dulu untuk menghadiri pernikahan anak-anaknya.
Jarang yang tahu bahwa kami sendiri, sejak awal tahun 2005 yang lalu, telah mempunyai menantu. Beberapa teman yang pernah ngobrol dan secara selintas kami ceritakan, menganggap bahwa cerita tentang menantu itu, cuma gurauan sambil lalu. Nggak apa-apa ..... memang usia anak kami yang baru 22 tahun itu, bukan usia yang lazim, pada jaman ini, untuk menikah. Apalagi, anak kami itu lelaki, biasanya mereka baru menikah di usia antara 25 – 30 tahun. Jadi, kalau ada orang yang menikahkan anaknya di usia yang sangat muda, biasanya, akan timbul gunjingan-gunjingan tak sedap......Tapi menikah di usia muda kan nggak salah juga......?!. Bukankah Rasulullah SAW mengatakan ... menikahlah ..... jangan ditunda-tunda. Bila belum mampu, maka, berpuasalah ...
Definisi mampu inilah yang kerap menjadi perdebatan antara orang tua dengan anak .... bahkan antara pasangan anak muda itu sendiri. Yang perempuan, kadang, mengingat usianya yang sudah lewat dari 25 tahun (atau sekarang mungkin di atas 30 tahun), merasa risi ditanyai terus menerus oleh orang tuanya tentang kejelasan hubungannya dengan sang pacar. Si lelaki, merasa belum punya apa-apa......., baru meniti karier ... belum punya rumah, mobil, tabungan ..... berumah tangga kan nggak gampang lho... jadi perlu persiapan yang matang. Jadi tidak heran .... dengan tekanan materialistis seperti itu, banyak anak muda jaman sekarang yang merasa gamang untuk memutuskan menikah. Tahu-tahu ...... umur sudah lewat 30 tahun ....... tahu-tahu ..... lewat 35 tahun dan seterusnya ......
Padahal, khusus bagi perempuan, masa reproduksi yang terbaik adalah antara usia 21 – 35 tahun. Cuma + 14 tahun. Kalau kita berencana dengan baik dan Allah mengijinkan untuk segera menimang anak, maka jangka waktu tersebut hanya pas untuk memiliki 3 orang anak dengan perbedaan umur masing-masing maksimum 4 tahun. Belum lagi karena kesibukan dan tekanan emosional yang kerap melanda perempuan berkarier, urusan punya anak tidak lagi semudah masa muda ibunya. Problematika kesehatan reproduksi menjadi semakin ruwet. Kasus yang paling sering ditemui adalah endometriosis.
Jadi apa salahnya kalau kawin muda ..... yang bukan karena MBA alias married by accident itu? Nggak ada yang salah ... kecuali, kebanyak orang ”kurang berani mengambil keputusan. Mungkin itu juga yang dipikirkan anak saya saat memutuskan untuk menikah di usia yang sangat muda itu.
***
Awalnya, dari ngobrol-ngobrol melalui Yahoo messenger yang selalu saya lakukan, kala si anak melanjutkan kuliah di QUT. Mulut ibu yang bawel ini tak kuasa untuk tidak menanyakan kehidupan si anak. Maklum hubungan kami memang lebih seperti teman, tanpa basa-basi :
” Udah dapat gebetan baru...?
” Lagi naksir .... ” jawabnya.
” Cakep ....? Bule atau melayu...?”
” Bule ...............?”
”Oh ....... lumayanlah, buat perbaikan keturunan. Kirim dong fotonya...”
Lalu, anakku kirim foto cewe yang ditaksirnya ... an australian girl .... kira-kira seumurnya dan lumayan cantik. Dia kuliah untuk program double degree (biochemistry + education) di kampus yang sama. Ya sudah .... baru naksir ini .... belum tentu juga jadi. Jadi obrolan itu berhenti sampai disitu. Kadang-kadang saja kutanyakan kabar si gadis, yang katanya selalu sibuk karena harus bekerja sambil kuliah. Itu biasa di negara maju ... selepas SLA, anak-anak umumnya sudah sangat mandiri. Keluar dari rumah orang tua dan bekerja sambil kuliah.
Suatu kali, saat kutanyakan lagi tentang gadis itu, anakku menjawab... :
” Ya... udah pacaran".
Wah ... wah ... perkembangan baru nih.
”Serius... ?”
” Kayaknya ... iya tuh....?”
” Aku sih nggak ngelarang, kamu mau pacaran/kawin sama siapapun ... yang penting muslim !! Dan ini gak ada komprominya!”
”Tapi... dia gak mau masuk Islam...”
” Ya sudah..., cari yang lain dong...coba bergaul di moslem community, kan pasti banyak cewek-cewek cantik di sana, baik melayu, Timteng maupun bule. Yang ini, ... do’ain aja. semoga dia mendapat hidayah Allah untuk mau convert ke Islam. Kalau jodoh, pasti Allah mengabulkan.........” (Anakku ini memang ikut klub sepak bola Moslem Student Association – MSA di QUT)
” Amin....”
Waktu berjalan terus, tidak terasa. Sampai suatu saat menjelang bulan Ramadhan yang lalu, saat chatting seperti biasa, anakku kasih laporan :
” Dia udah masuk Islam......”
” Ha.......???? Alhamdulillah.........., terus........”
” Terus............. gue mau kawin........................”
” Masya Allah....... kok.... ? Apa nggak terlalu cepat........?”
” Memangnya kenapa...? Ada yang salah...?”
” Nggak sih .... Cuma ............... ah... tau’ deh......?
” Kawin sekarang atau di umur 30 tahun apa bedanya....”
” Ya jelas beda ... umur 30 tahun, paling nggak, udah punya kerjaan, udah sedikit mapan... etc....” Biasalah..... kecemasan orang tua.
” Aku udah ngomong sama keluarganya.... orang tuanya... kakek+neneknya.... Mereka tahu kondisiku yang masih kuliah, dan mungkin baru akan selesai awal tahun 2005, belum tahu kapan dapat kerja .... Mereka baik-baik aja, nggak ada masalah... dan aku udah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka....”
Wuih.............. lancar banget tu anak ngomongnya... Dia nggak tahu, ibunya klepek-klepek super kaget. Untung gak punya penyakit jantung... Alhamdulillah, masih sehat wal afiat.
” Jadi gimana.... boleh kan...?”
” Kapan tuh.......................?
” Akhir tahun... Desember...........!”
Mati aku.............. Ini udah bener-bener kelewatan. Mau kawin kayak minta ijin mau nonton ke bioskop aja. Ingatanku melayang pada persitiwa 19 tahun yang lalu, saat adikku yang perempuan akan menikah. Betapa berat dan rumitnya perjalanan menuju pernikahannya, akibat dari sikap ”slonongan” si calon suaminya (saat itu). Tanpa upacara lamaran dari keluarga lelaki, rupanya, ibuku melihat adikku memakai cincin belah rotan dengan nama si lelaki. Ini menyebabkan ibuku marah besar... Merasa sangat tersinggung harga dirinya ........ Maklum..., darah matrilinial-nya keluar... hehe. Beliau memang berasal dari Minangkabau. Untung, bapakku cukup bijaksana dan mengambil alih seluruh urusan pernikahan itu. Jadi walaupun dengan wajah dan sikap yang sangat tidak bersahabat dari ibuku, pernikahan tetap berlangsung. Ternyata, kejadian yang hampir sama terulang lagi.... dan sekarang, anakku yang bikin ulah.
” Gini deh....., aku gak bisa jawab sekarang... Mesti ngomong sama bapakmu dulu. Pulang dong ke Jakarta... Kita ngomong baik-baik ”
” Ok deh, Desember ya.. tapi gak bisa lama-lama ......... Boleh bawa dia gak...”
Alamak. ................. kami kan numpang di RMI (rumah mertua indah), gimana nanti ibuku melihat anakku pulang bawa cewe bule? .... Wah.. wah..., nggak deh. Belum saatnya !!
” Buat apa.................? ”
” Dia pengen kenalan sama keluarga di Jakarta..”
” Jangan dulu ah.........., nanti aja kalo udah resmi...”
” Memang kenapa, kan bisa bawa temannya lagi... jadi nggak dia sendiri....”
” Gak... Jangan..... Aku nggak tega nyuruh dia tinggal di hotel ... tapi juga nggak bisa nerima nginap di rumah. Kita nggak punya rumah... Numpang nih !! ”
” Pasti dia kecewa.......... ”
” Ya.. jelasin dong alasannya...”
” it doesn’t make sense for her........”
“ Sebodo ah… urusanmu…”
Tidak perlu menunggu sampai di rumah, aku langsung telpon suami ke kantornya.
” Anakmu mau kawin tuh......... ”
” Ya baguslah ........ ”
” Lho ... kok bagus sih jawabannya......... Umurnya kan masih muda, Ntar gimana hidupnya, kerja aja, belum...”
” Dibantu dong. ............. Kalau anak sudah bilang mau kawin, ya sudah. Laksanakan. Kalau dia perlu uang untuk hidup selama belum mampu... ya bantu...”
Enak aja dia ngomong begitu, memangnya punya duit berapa banyak sih kita ini? Kalau mereka hidup di Indonesia, mungkin orang tua masih bisa bantu mereka. Lha ini.... gaji pegawai di Indonesia mesti menyokong biaya hidup di Australia ...., apa gak terbalik..?
Tapi, anakku meyakinkan ...............
” Tenang aja ma ....., aku juga malu kok minta duit terus. Jadi aku akan cari kerja, jadi apaan kek .... Tapi, bantuin deh sedikit. selama 1 tahun pertama. Itu aja..... Gak perlu sebanyak yang biasa dikirim saat kuliah.”
Hem..... curang juga tu anak ..... Mau kawin, gak punya modal sepeserpun .... Seenaknya aja. Emang bapaknya itu konglomerat .. ?? Tapi aku berpikir.. Kalau dia menikah, sebagaimana laiknya di Indonesia, pasti orang tua keluar uang juga untuk persiapan melamar ... bantu biaya resepsi. Jadi, anggap aja bantuan yang dimintanya itu sebagai kompensasi dari biaya pernikahannya. Toh dengan menikah di Brisbane, berarti nggak perlu ada pesta dengan segala pernak-perniknya. Jadi jatah biaya pernikahannya bisa dikirim buat bekal hidupnya. Siapa yang lebih pintar nih ya... Mungkin tu anak udah berhitung betul tentang ini...
” Jadi gimana nih .............. Kami mesti tulis surat ke orangtuanya untuk melamar? ”, Aku merasa khawatir anakku dianggap tidak berbudaya, primitif ... Maklum, australian kan seringkali merasa lebih superior dari orang Indonesia
” Gak perlu .................. mereka pegang omonganku aja... Itu sudah lebih dari cukup” Rupanya ibu si gadis ada di sampingnya saat aku menanyakan hal itu.
Gemas, kaget, bingung dan juga terharu .... Beruntung kami bukan termasuk orang tua yang feodal (dalam hal ini ...), yang mesti mengikuti unggah-ungguh, tata cara yang biasanya dilakukan orang dalam mempersiapkan pernikahan. Meskipun begitu, cara anakku memutuskan hal tersebut tetap membuatku kaget. Tapi aku harus menghargai keberaniannya menghadap orang tua/keluarga besar si gadis, sendirian, berbicara dalam bahasa yang bukan bahasa ibunya. Pasti ini bukan hal yang mudah. Apalagi belakangan aku tahu, si bapak sempat menentangnya karena kami berasal dari keluarga muslim. Dan anakku harus bolak-balik ketemu bapak si gadis, berdebat-berdiskusi tentang Islam, sampai suatu saat si bapak menyatakan ya atas lamaran dan rencana anaknya untuk masuk Islam. Kalau mereka saja menghargai niat tulus anakku, kenapa kami orang tuanya tidak bisa menerima dengan lapang dada keputusan anakku yang ”agak kurang ajar” menurut tata krama orang timur.
Apapun perasaan yang berkecamuk dalam hatiku, itu sudah terjadi. Menentang rencana, hanya akan menjauhkan dan merenggangkan hubungan anak dengan orangtua. Aku tidak ingin kehilangan anak-anakku dan tidak ingin anakku terjerumus dalam dosa ... apalagi bila dosa karena pertentangan dengan orang tua. Mungkin ini arti dan makna dari peribahasa ..... kasih anak sepanjang jalan, kasih ibu sepanjang hayat.
Singkat kata, anakku pulang ke rumah selama 2 minggu. Bicara ini-itu, beli beberapa batik sutra untuk gaun pengantin, kasih pengumuman untuk pakde-bude dan oom-tantenya. Mungkin juga... mengunjungi mantan pacar-pacarnya dulu.... he..he.. Semua kaget, bingung .... Nekat banget tu anak. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka...., Kami orang tuanya hanya senyum-senyum saat semua pakde-bude dan oom-tantenya menanyakan kebenaran rencana tersebut ... Ya... tahun depan ( tahun 2005 maksudnya), tapi, masih dicari waktu yang pasti.. Mungkin sekitar Maret atau April. Jawabku saat mereka mengkonfirmasikan pengumuman anakku.
Libur anak sekolah bulan Januari 2005, kami (bertiga) berangkat ke brisbane. Dari seluruh keluarga besar kami, hanya keluargaku yang tahu, bahwa kami berangkat untuk menyaksikan akad nikah anakku. Keluarga suamiku tak ada yang tahu. Suamiku menolak memberitahukan kelarganya... ”Nanti saja, kalau semua sudah berjalan lancar.... kita kirim sms dari brisbane...............” Ini era modern .... Sudahlah... biar gimana nanti saja. Nggak usah dipikir-pikir.
14 Januari 2005, lepas shalat Jum’at, anakku menikahi anak gadis australia, dengan penghulu imam masjid West End – Brisbane ( lelaki berasal dari Jordan), wali oleh seorang lelaki dari Mesir dan sebagai saksi bapaknya dan seorang lelaki dari Maroko. Jauh dari keramaian dan hiruk pikuk upacara pernikahan yang biasa terjadi di Indonesia. Aku sedikit terharu ... Inilah hidup. Anakku sudah membangun perahunya sendiri .... menemukan teman seiring yang akan diajaknya mengarung samudera kehidupan.
Bagaimana kehidupannya nanti ... terserah Allah SWT menentukan. Aku hanya berpesan ...” ini adalah keputusan hidup yang tidak boleh dianggap enteng. Memutuskan untuk menikah mungkin mudah, tetapi mempertahankan pernikahan bukanlah suatu hal yang mudah. Perkawinan adalah menyatukan dua manusia yang lahir dan besar dengan latar belakang yang berbeda. Kalian memasukinya dengan tambahan perbedaan ... berbeda bangsa .... Jalani dengan baik. Kalau ada masalah, apapun juga, maka itu adalah bagian dari perjalanan hidup kalian. Jangan pernah menyesalinya ... karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. Berdoalah selalu.... ”
ngomong2 kawin muda, sebenernya dari dulu saya pengen banget kawin mudaaa... hehe, lelah ganti-ganti pacar. naksir, flirting2 nggak jelas, terus mulai deh.. tarik-ulur, siapa lebih butuh siapa... akhirnya cuma dapet patah hati sana-sini, jadi... mending dapet satu aja yang oke, lalu terus aja sampe akhir hayat. : )
BalasHapustapi apa daya.. nyari yang cucok susah... apa lagi yang sepaham.
btw, saya juga kaget waktu denger... :P
anak tante emang ngga pernah berenti bikin kejutan. hahaha...
Orang menikah itu bukan semata karena kita merasa cocok dalam segala hal, tetapi yang terpenting adalah saling menghormati segala perbedaan yang ada dan mengelola perbedaan tersebut sebagai bagian dari hidup kita. Mengingat selalu bahwa "disamping keburukan partner, ada juga sisi kebaikannya", sebagaimana partner kita juga diharapkan memiliki prinsip yang sama.
BalasHapusOrang menikah itu bukan semata karena kita merasa cocok dalam segala hal, tetapi yang terpenting adalah saling menghormati segala perbedaan yang ada dan mengelola perbedaan tersebut sebagai bagian dari hidup kita. Mengingat selalu bahwa "disamping keburukan partner, ada juga sisi kebaikannya", sebagaimana partner kita juga diharapkan memiliki prinsip yang sama.
BalasHapusSelamat ya, telat (baru tau skrg).
BalasHapusAwal thn ini anak perempuan saya yg di UK juga ngomong2 mungkin mau menikah dgn org Inggris bln sept mendatang.
Kami sih ok2 saja krn dia sdh berumur 25, sdh kerja. Pacarnya juga lulusan dr Universitas yg sama dan juga sama2 melayani di gereja.
Waktu saya ceritain temen2 mengenai ini, banyak yg heran : bagaimana mungkin kami sbg ortu bisa setuju begitu mudah utk pernikahan ini. Belum pernah ketemu dgn si calon mantu (baru lihat fotonya saja). Saya cuma bisa menjawab : saya percaya dgn pilihan nya krn kami telah mendidik dan memberi contoh dia sejak lahir apa arti sebuah keluarga, jadi saya yakin pasangan hidup seperti apa yg sebaiknya mendampinginya.
Meskipun skrg ternyata pernikahan nya diundur, tapi kami selalu mendoakan mereka.
Betul ... kenapa kita harus mempersulit. Kan yang akan menikah, anak-anak kita, mereka tentunya yang paling tahu tentang keadaan calon pasangannya. Kita sebagai orang tua hanya bisa mendoakan mereka agar hidup langgeng. Selebihnya, biar Tuhan yang menentukannya.
BalasHapussalam
Kakoi....( hebat...), putera bu Lina, semoga pernikahnnya langgeng. Amin.
BalasHapussaya dan suami juga nikah muda, saat itu saya 22th dan suami 24 th.
Alhamdulullah sampai saat ini masih aman he...he.....semoga selalu begitu.