Pada bulan Juni ini, anak-anak dalam berbagai tingkatan sekolah memasuki masa ujian akhir dan evaluasi belajar. Sebentar lagi orang tua mulai bingung menakar-nakar kemampuan keuangan dan prestasi anak. Bagi mereka yang mampu, mereka mulai bersiap mengincar sekolah favorit untuk kemudian mendaftar disana. Bagi mereka yang kurang mampu .... akhir tahun ajaran adalah masa-masa yang terberat bagi beban keuangan rumah tangga. Ditambah dengan kebingungan anak-anak bila tidak dapat mengikuti UN I pada bulan Juni ini dan si kakak yang terancam tidak dapat melanjutkan ke Universitas Negeri favorit yang sekarang uang masuknya tidak kurang dari 8 digits
Kesibukan dan persoalan yang sama setiap tahun menyisakan pertanyaan yang sama sejak lama dan hingga kini saya tidak mampu menjawabnya. Sebetulnya ... apa sih tujuan pendidikan kita?
Secara awam, saya menterjemahkan pendidikan adalah sarana agar manusia mampu hidup mandiri, dalam arti kata mampu memberikan penghasilan kepada diri/keluarganya. dan ini, semoga saja dengan cara yang "halal" bukan dengan korupsi. Namun demikian, bagaimana kita mendidik anak hingga, suatu saat, dia mampu mandiri. Nah ini yang masih menjadi pertanyaan bagi saya hingga saat ini dan karenanya saya ingin berbagi cerita agar mendapat masukan dalam upaya "mendidik" anak gadis kecil saya.
Saya memilik 2 anak tunggal. Saya sebut demikian karena mereka berbeda 15 tahun sehingga, mereka praktis hidup dan besar sebagai anak tunggal pada masa yang berbeda. Anak yang besar, lelaki, masuk SD Negeri Percontohan di Jakarta Pusat. Menjadi kebanggaan sekolahnya karena melalui dia, sekolahnya meraih gelar Juara Matematika tingkat SD se DKI Jaya, walaupun di tingkat nasional hanya meraih juara harapan I. Prestasi lainnya adalah menjadi Pelajar Teladan DKI dan banyak lagi prestasi-prestasi lainnya. Juara kelas? itu sudah pasti, dan dia juga meraih juara umum pada saat ujian akhir SD. Sebagai orang tua tentu bangga, karena anak itu juga tumbuh dengan segudang kegiatan eks-kul secara sukarela. Seluruh kegiatan sekolah selalu diikutinya, hingga kami seringkali harus mengingatkannya untuk mengurangi kegiatan eks-kul nya.
Lulus SD, saya sedikit memaksanya untuk masuk ke Labschool dengan berbagai pertimbangan antara lain, sekolah tersebut menerapkan sisitem 5 hari belajar dari jam 7.15 - 15.45 WIB dan bila masih ikut eks-kul anak akan berada di sekolah hingga jam 17.00. Ini akan mengakibatkan anak tidak memiliki waktu lagi untuk keluyuran dan tawuran. Di samping itu, keluarga memiliki waktu bersama secara penuh pada hari Sabtu.
Prestasi di SLP, walaupun tidak sebaik di SD, tapi minimal masih masuk 5 besar di kelas dan saat duduk di kelas 3, dimasukkan pada kelas anak-anak yang memiliki kemampuan akademis tinggi. Satu hal yang mencolok, semasa dia di SLP, setiap kali saya menghadap guru untuk mengambil raport, maka guru kelas pasti akan mengatakan "anak ibu kurang optimal" bila dibandingkan antara hasil test IQ dengan nilai raport. Sebagaimana umumnya ibu2 ... saya menanyakan pada anak saya, apa yang terjadi. Dia dengan entengnya mengatakan ... itu adalah hasil murni kemampuan saya. Saya tidak suka menjadi juara kelas karena contekan, "ngebet saat ulangan", atau hal lainnya. Saya masih mendebatnya ... "ya, itu bagus, tapi kan ada baiknyakalau nilainya lebih baik lagi (padahal... saat itu rata2 raport nya sudah di angka 8)" ... Perdebatan seperti ini biasanya terhenti saat bapaknya turun tangan.... ah nilai 6 aja udah cukup kok... ibu2 maunya anak dapat 10 terus..." (yang saya tahu, anak saya memang tidak pernah lagi belajar .. buka buku di rumah, kecuali buku komik kesukaannya dan melakukan segala kegiatan olah raga kesukaannya).
Ada satu hal yang sangat berkesan. Suatu saat dia mengatakan ingin menjadi pemain sepak bola professional saja.... Saya tercekat .... bagaimana mungkin. Namun dia menjawab ... pemain sepak bola itu sebaiknya orang2 yang ber IQ tinggi, karena perlu strategi ... bukan sekedar lari2 ngejar bola. Itu sebabnya PSSI nggak pernah maju lagi..." Walaupun saya menerima pendapatnya, tetap saja terbersit dalam hati ...... "no way"
Lepas dari SLP, dia masuk SLA di sekolah yang sama dan menyelesaikan sekolahnya melalui program akselerasi. Nyanyian lama selalu berulang, "prestasi anak ibu kurang optimal" dan saya selalu menerima jawaban yang sama dari anak dan bapak. Satu hal yang luput dari perhatian saya, rupanya diskusi panjang tentang sistem pendidikan di luar negeri yang selalu diceritakan bapaknya setiap kali habis "jalan2" karena seminar, kunjungan2 ke berbagai universitas manca negara atau saat ikut research fellow, terekam kuat di otaknya. Ini yang membuatnya menjadi pemberontak di kelas maupun di rumah. Menyoal sisitem pendidikan sekolah yang katanya membuat murid hanya mengejar nilai dengan berbagai cara, tetapi tidak memahami pelajaran. Apalagi ditambah dengan sebagian guru yang katanya hanya mengajar berdasarkan teks dan kurang kreatif.
Dalam berbagai kesempatan diskusi bertiga, akhirnya terlontar juga minatnya untuk menjadi guru/dosen saja (mengikuti jejak bapaknya) ... Alasannya sederhana ... menurut pendapatnya, Orang yang sejak semula secara sadar memilih IKIP dan kemudian jadi guru, itu sangat jarang. Semua orang ingin jadi bankir, insinyur dan bermacam profesi yang menjanjikan gaji besar. Masuk IKP umumnya menjadi pilihan ke sekian ,,, dan umumnya anak2 yang ber IQ tinggi tidak akan masuk IKIP. Jadi kalau kualitas mahasiswa IKIP adalah lulusan SLA yang "tersisa" seperti itu... bayangkan juga nantinya kualitas guru. Mau jadi apa anak-anak Indonesia kalau kualitas gurunya rendah. Karena itu saya ingin jadi guru/dosen. (untuk hal ini .... maaf bagi para guru ..., saya hanya mengungkapkan kembali pendapat anak saya beberapa tahun yang lalu). Saya hanya membatin ...... aduh, guru lagi, kasihan banget nanti istrinya mesti jungkir balik memenuhi kebutuhan hidup keluarga????
Dengan berbagai peristiwa yang melatar belakangi pendidikan selanjutnya di universitas, akhirnya dia kembali ke "jalur kesukaannya". lulus dari jurusan Applied Mathematics. Dalam usia menjelang 22 tahun, dia memutuskan menikah dan sekarang ini, sambil mencari pekerjaan yang pas, dia menjadi tutor di sebuah high school untuk mata pelajaran Mathematics and Physics. Apakah saya sudah berhasil mengantarnya hingga mampu mandiri... entahlah, saya tidak berani menjawabnya. Saya hanya tahu, bahwa kami berhasil mendidiknya untuk menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran.
Sampai saat ini, saya masih sering merenung .... apa yang didapat anak-anak di sekolah? bila benar seperti kata anak saya... "anak hanya mengejar nilai, bukan ilmu". Atau seperti satu posting beberapa waktu yang lalu ... "ada guru yang membantu murid mengerjakan UNAS nya".
Bila anak-anak, karena suatu sebab, tidak dapat melanjutkan sekolah... bekal kompetensi apa yang didapat dari sekolahnya untuk dia mengarungi belantara kehidupan. Saya jadi teringet pada tulisan Andreas Harefa .... bahwa seyogyanya, pendidikan itu harus mampu membuat manusia mandiri sesuai dengan lingkungan dimana dia tinggal. Harus mampu menciptakan kerja sesuai dengan bekal yang diperolehnya pada tiap tingkatan sekolah yang dilaluinya dan tidak menjadi beban/bergantung pada pemerintah.
Rasanya kita sepatutnya menyimak kembali tulisan-tulisan David Goleman mengenai Multiple Intelligent dan menerapkannya dalam pendidikan khususnya pada tingkatan dikdasmen. Kita tidak layak menyamakan pelajaran antara anak-anak di Papua dengan di Jawa. Anak-anak di desa nelayan dengan anak-anak di desa pertanian. Anak-anak pedalaman dengan anak-anak perkotaan. Pendidikan yang dibutuhkan masing-masing anak itu berbeda.
Berikanlah pendidikan sesuai dengan alamnya agar usai sekolah, maka teori yang diperolehnya di kelas dapat diimplementasikannya dalam kehidupan riel. Ini mungkin bisa meningkatkan taraf hidup dan kemampuan bangsa ini sehingga mereka secara sadar akan memajukan daerahnya. Tidak lagi berduyun-duyun mengejar fatamorgana gemerlap pulau Jawa.
salam
Kesibukan dan persoalan yang sama setiap tahun menyisakan pertanyaan yang sama sejak lama dan hingga kini saya tidak mampu menjawabnya. Sebetulnya ... apa sih tujuan pendidikan kita?
Secara awam, saya menterjemahkan pendidikan adalah sarana agar manusia mampu hidup mandiri, dalam arti kata mampu memberikan penghasilan kepada diri/keluarganya. dan ini, semoga saja dengan cara yang "halal" bukan dengan korupsi. Namun demikian, bagaimana kita mendidik anak hingga, suatu saat, dia mampu mandiri. Nah ini yang masih menjadi pertanyaan bagi saya hingga saat ini dan karenanya saya ingin berbagi cerita agar mendapat masukan dalam upaya "mendidik" anak gadis kecil saya.
Saya memilik 2 anak tunggal. Saya sebut demikian karena mereka berbeda 15 tahun sehingga, mereka praktis hidup dan besar sebagai anak tunggal pada masa yang berbeda. Anak yang besar, lelaki, masuk SD Negeri Percontohan di Jakarta Pusat. Menjadi kebanggaan sekolahnya karena melalui dia, sekolahnya meraih gelar Juara Matematika tingkat SD se DKI Jaya, walaupun di tingkat nasional hanya meraih juara harapan I. Prestasi lainnya adalah menjadi Pelajar Teladan DKI dan banyak lagi prestasi-prestasi lainnya. Juara kelas? itu sudah pasti, dan dia juga meraih juara umum pada saat ujian akhir SD. Sebagai orang tua tentu bangga, karena anak itu juga tumbuh dengan segudang kegiatan eks-kul secara sukarela. Seluruh kegiatan sekolah selalu diikutinya, hingga kami seringkali harus mengingatkannya untuk mengurangi kegiatan eks-kul nya.
Lulus SD, saya sedikit memaksanya untuk masuk ke Labschool dengan berbagai pertimbangan antara lain, sekolah tersebut menerapkan sisitem 5 hari belajar dari jam 7.15 - 15.45 WIB dan bila masih ikut eks-kul anak akan berada di sekolah hingga jam 17.00. Ini akan mengakibatkan anak tidak memiliki waktu lagi untuk keluyuran dan tawuran. Di samping itu, keluarga memiliki waktu bersama secara penuh pada hari Sabtu.
Prestasi di SLP, walaupun tidak sebaik di SD, tapi minimal masih masuk 5 besar di kelas dan saat duduk di kelas 3, dimasukkan pada kelas anak-anak yang memiliki kemampuan akademis tinggi. Satu hal yang mencolok, semasa dia di SLP, setiap kali saya menghadap guru untuk mengambil raport, maka guru kelas pasti akan mengatakan "anak ibu kurang optimal" bila dibandingkan antara hasil test IQ dengan nilai raport. Sebagaimana umumnya ibu2 ... saya menanyakan pada anak saya, apa yang terjadi. Dia dengan entengnya mengatakan ... itu adalah hasil murni kemampuan saya. Saya tidak suka menjadi juara kelas karena contekan, "ngebet saat ulangan", atau hal lainnya. Saya masih mendebatnya ... "ya, itu bagus, tapi kan ada baiknyakalau nilainya lebih baik lagi (padahal... saat itu rata2 raport nya sudah di angka 8)" ... Perdebatan seperti ini biasanya terhenti saat bapaknya turun tangan.... ah nilai 6 aja udah cukup kok... ibu2 maunya anak dapat 10 terus..." (yang saya tahu, anak saya memang tidak pernah lagi belajar .. buka buku di rumah, kecuali buku komik kesukaannya dan melakukan segala kegiatan olah raga kesukaannya).
Ada satu hal yang sangat berkesan. Suatu saat dia mengatakan ingin menjadi pemain sepak bola professional saja.... Saya tercekat .... bagaimana mungkin. Namun dia menjawab ... pemain sepak bola itu sebaiknya orang2 yang ber IQ tinggi, karena perlu strategi ... bukan sekedar lari2 ngejar bola. Itu sebabnya PSSI nggak pernah maju lagi..." Walaupun saya menerima pendapatnya, tetap saja terbersit dalam hati ...... "no way"
Lepas dari SLP, dia masuk SLA di sekolah yang sama dan menyelesaikan sekolahnya melalui program akselerasi. Nyanyian lama selalu berulang, "prestasi anak ibu kurang optimal" dan saya selalu menerima jawaban yang sama dari anak dan bapak. Satu hal yang luput dari perhatian saya, rupanya diskusi panjang tentang sistem pendidikan di luar negeri yang selalu diceritakan bapaknya setiap kali habis "jalan2" karena seminar, kunjungan2 ke berbagai universitas manca negara atau saat ikut research fellow, terekam kuat di otaknya. Ini yang membuatnya menjadi pemberontak di kelas maupun di rumah. Menyoal sisitem pendidikan sekolah yang katanya membuat murid hanya mengejar nilai dengan berbagai cara, tetapi tidak memahami pelajaran. Apalagi ditambah dengan sebagian guru yang katanya hanya mengajar berdasarkan teks dan kurang kreatif.
Dalam berbagai kesempatan diskusi bertiga, akhirnya terlontar juga minatnya untuk menjadi guru/dosen saja (mengikuti jejak bapaknya) ... Alasannya sederhana ... menurut pendapatnya, Orang yang sejak semula secara sadar memilih IKIP dan kemudian jadi guru, itu sangat jarang. Semua orang ingin jadi bankir, insinyur dan bermacam profesi yang menjanjikan gaji besar. Masuk IKP umumnya menjadi pilihan ke sekian ,,, dan umumnya anak2 yang ber IQ tinggi tidak akan masuk IKIP. Jadi kalau kualitas mahasiswa IKIP adalah lulusan SLA yang "tersisa" seperti itu... bayangkan juga nantinya kualitas guru. Mau jadi apa anak-anak Indonesia kalau kualitas gurunya rendah. Karena itu saya ingin jadi guru/dosen. (untuk hal ini .... maaf bagi para guru ..., saya hanya mengungkapkan kembali pendapat anak saya beberapa tahun yang lalu). Saya hanya membatin ...... aduh, guru lagi, kasihan banget nanti istrinya mesti jungkir balik memenuhi kebutuhan hidup keluarga????
Dengan berbagai peristiwa yang melatar belakangi pendidikan selanjutnya di universitas, akhirnya dia kembali ke "jalur kesukaannya". lulus dari jurusan Applied Mathematics. Dalam usia menjelang 22 tahun, dia memutuskan menikah dan sekarang ini, sambil mencari pekerjaan yang pas, dia menjadi tutor di sebuah high school untuk mata pelajaran Mathematics and Physics. Apakah saya sudah berhasil mengantarnya hingga mampu mandiri... entahlah, saya tidak berani menjawabnya. Saya hanya tahu, bahwa kami berhasil mendidiknya untuk menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran.
Sampai saat ini, saya masih sering merenung .... apa yang didapat anak-anak di sekolah? bila benar seperti kata anak saya... "anak hanya mengejar nilai, bukan ilmu". Atau seperti satu posting beberapa waktu yang lalu ... "ada guru yang membantu murid mengerjakan UNAS nya".
Bila anak-anak, karena suatu sebab, tidak dapat melanjutkan sekolah... bekal kompetensi apa yang didapat dari sekolahnya untuk dia mengarungi belantara kehidupan. Saya jadi teringet pada tulisan Andreas Harefa .... bahwa seyogyanya, pendidikan itu harus mampu membuat manusia mandiri sesuai dengan lingkungan dimana dia tinggal. Harus mampu menciptakan kerja sesuai dengan bekal yang diperolehnya pada tiap tingkatan sekolah yang dilaluinya dan tidak menjadi beban/bergantung pada pemerintah.
Rasanya kita sepatutnya menyimak kembali tulisan-tulisan David Goleman mengenai Multiple Intelligent dan menerapkannya dalam pendidikan khususnya pada tingkatan dikdasmen. Kita tidak layak menyamakan pelajaran antara anak-anak di Papua dengan di Jawa. Anak-anak di desa nelayan dengan anak-anak di desa pertanian. Anak-anak pedalaman dengan anak-anak perkotaan. Pendidikan yang dibutuhkan masing-masing anak itu berbeda.
Berikanlah pendidikan sesuai dengan alamnya agar usai sekolah, maka teori yang diperolehnya di kelas dapat diimplementasikannya dalam kehidupan riel. Ini mungkin bisa meningkatkan taraf hidup dan kemampuan bangsa ini sehingga mereka secara sadar akan memajukan daerahnya. Tidak lagi berduyun-duyun mengejar fatamorgana gemerlap pulau Jawa.
salam
Si BAPPENAS,
BalasHapustiap dedengkot Republik kudu sadar bahwa Jawa tu
dari sudut lingkungan-alam dah teramat-banyak gundul & hampir tenggelam.
Eh, baiknya kau ikut politik lah. Kau bisa perhatikan politik pembangunan.
Kayaknya po-polikus tu kberatan mental tikusnya.
hahaha... aku gak suka dengan politik yang busuk dan ber muka2...
BalasHapusLha iya, ... tapi masa kalau dah jadi politikus
BalasHapuskau mau i-ikut senang yang bu-busuk kayak tikus?.
Jangan bermu-muka dah,
pasang ja muka ndiri.