Jumat, 26 Agustus 2005

Yang tak pernah terbayangkan.

Sesungguhnya, kehidupan manusia itu penuh dengan misteri dan tidak terduga. Siapa yang menyangka bila anak tetangga yang kaya raya, kelak di kemudian hari masih bisa menikmati dan melanggengkan kekayaan orang tuanya? Atau, siapa yang menduga bahwa anak seorang nelayan suatu saat kelak akan menjadi menteri. Demikianlah Allah menciptakan dunia, agar manusia berusaha merubah nasibnya. Tentu berubah menuju perbaikan, bukan berubah ke arah yang buruk.

Saya lahir dan menikmati masa kecil di salah satu perkampungan Betawi, di daerah Matraman – Jakarta Timur, at the biggest village of Indonesia. Tepatnya di belakang Gereja/ Komplek Sekolah Fons Vitae - Yayasan Marsudirini. Hanya saja dibatasi dengan kali kecil yang tidak pernah terlihat airnya. Bukan di daerah Kebayoran Baru, atau Menteng, tempat tinggal golongan menengah atas Jakarta sejak jaman kumpeni.

Kampung itu sendiri cukup padat dan agak kumuh. Kami tinggal di rumah milik nenek yang sangat luas dibanding dengan rumah-rumah di sekitarnya, apalagi untuk ukuran kampung di Jakarta. Konon, pada jaman penjajahan, rumah tersebut adalah rumah termegah di kampung tersebut. Seperti laiknya hidup di perkampungan, kami tinggal dengan kualitas sanitasi lingkungan yang sangat buruk. Tidak ada saluran air buangan. Entah kemana mengalirnya air bekas mandi/cuci para penduduk. Sementara di rumah kami, air menggenang sebentar di halaman belakang untuk kemudian terserap tanah. Untung halaman rumah cukup luas.

Rumah yang kami tempati adalah rumah tua bertata ruang gaya betawi. Sebagaimana rumah kampung jaman itu, facade rumah (tampak muka rumah) terbuat  batu bata diplester dengan gaya betawi. Sedangkan bagian lainnya setengah tembok. Bagian bawah dari batu bata sedangkan bagian atasnya dari anyaman bambu. Halaman rumah yang luas itu ditanami dengan pohon rambutan, jambu air, jeruk bali dan mangga. Kadang-kadang kalau pak tuo (kakak ibu) datang, dia mencangkul halaman samping untuk ditanami dengan kacang tanah, jagung dan singkong.

Teman main masa kecil adalah anak-anak kampung asli, walaupun berasal dari berbagai macam suku pendatang yang pada umumnya menyewa rumah petak di sekitar rumah nenek. Ada Uju, Engkom dan Uum yang berasal dari Dawuan Cikampek. Ada keluarga Darwati, lengkap dengan Palik dan Buliknya yang mengontrak rumah persis di muka rumah. Ada Aidah, anaknya haji Salim serta Paridah, Tuti, Jamilah yang asli betawi. Dan di gang lainnya ada Mimin, Lies dan emPop gadis Jawa yang ketiganya masing-masing memiliki sepasang mata yang bulat besar dan berkulit sawo (terlalu) matang ... hehehe....  

Ada juga dari golongan cina. Babah gendut pemilik warung di tengah kampung beserta anak menantu dan cucu-cucunya serta Oom Tjhin, pemilik pabrik permen di pinggir rel kereta api. Memang kampung kami terletak di antara rel kereta api jalur Senen - Jatinegara dengan kali kecil. Setelah peristiwa G30S/1965, keluarga Darwati menghilang entah kemana. Konon mereka adalah gembong pengurus PKI di wilayah Jakarta Timur.

Kami sekeluarga kenal baik dengan keluarga oom Tjhin. Selain karena memang tanahnya langsung berbatasan, mungkin juga karena si oom tahu betul bahwa bapakku bekerja di bank. Jadi keluarga kami dianggap cukup pantas untuk bergaul dengan Lily, anak mereka, dibandingkan dengan anak-anak keluarga lain yang asli betawi. Anak-anak oom Tjhin, entah sekolah dimana. Tidak ada yang tahu. Mereka sangat tertutup, tidak pernah bergaul kecuali saling mengunjungi/mengirim penganan saat lebaran atau sincia, Konon setelah tamat sekolah dasar, sekitar akhir tahun 60 an, Lily melanjutkan sekolah ke Singapore.

Musim rambutan adalah saat yang ditunggu oleh orang kampung. Saat kami memetik rambutan, maka hampir seluruh tetangga di gang tersebut, terutama anak-anak, akan datang ke rumah dan menunggu pembagian rambutan di halaman. Rambutan di halaman rumah kami memang lebih enak (nglotok – istilahnya) dibandingkan dengan rambutan di rumah tetangga. Begitu juga kala panen jambu air.

Saat saya kecil dan tinggal di Jakarta itu, yaitu sejak 1956 sampai dengan 1965, pikiran saya tidak pernah melayang terlalu jauh. Maklum ... pergaulan sehari-hari a la kampung, Sekolah juga tidak jauh dari rumah. Sekolah kampung juga... yang muridnya masih banyak pakai sandal jepit. Teman main yang sebaya atau anak-anak tetangga, umumnya drop out di kelas 5 atau paling lambat hanya tamatan SD saja. Remaja yang melanjutkan ke SMP, bisa dihitung dengan jari. Kalau ditanya penyebabnya, mereka selalu menjawab bahwa ”otaknya sudah soak” (zwaak – bahasa belanda) udah nggak bisa diajak mikir. Jadi, dapat dimengerti bila wawasan dan pergaulanpun a la kampung, Cuma seluas batok kelapa.

Tempat main saya, saat itu, adalah pangkalan bambu di pinggir rel KA Senen-Jatinegara. Di situlah, setiap sore, sehabis mandi saya bermain dengan anak-anak tetangga. Berlari dan  bernyanyi sambil memukul-mukul bilah bambu dengan ranting pohon. Kemudian, setelah mampu, saya di belikan sepeda dan  belajar menaikinya. Jatuh bangun dengan luka-luka di sekujur tubuh dijalani dengan sukacita. Walaupun sederhana dan kampungan, kami semua bahagia. Anak-anak selalu bahagia, bahkan dengan permainan yang sangat sederhana sekalipun.

Sebelum ada tetangga yang memiliki televisi, lepas maghrib, anak-anak belajar mengaji di rumah bu Odah, selama 1 jam dengan membayar 1 liter beras sebulan. Usai mengaji, lalu bermain di halaman rumah. Kalau habis gajian atau sedang dapat rejeki tambahan, bapakku akan dengan senang hati membelikan es puter yang biasa dijajakan malam hari.

Jaman itu, jajanan keliling masih sangat sederhana. Siang hari, anak-anak membeli gulali yang dicetak menjadi bentuk binatang, kue pancong, kue ranggi atau es lilin (goyang). Kadang-kadang ada juga lewat es cincau hijau atau es doger.  Sore hari ada jajanan rebusan, mulai dari kacang, jagung dan pisang rebus. Mie baso masih jarang dijajakan orang, karena dikonotasikan kepada daging babi. Restoran masih amat sangat jarang. Maklum saja, jaman itu memang jaman susah. Masa konfrontasi dengan Malaysia, jadi ada waktu-waktu pada malam hari dimana penduduk diperdengarkan sirine sambil dilakukan pemadaman penerangan untuk belajar menyelamatkan diri bila ada serangan udara. Kami juga pernah merasakan makan nasi jagung dan gandum. Saya masih ingat, pernah diajak menebus kupon bahan pakaian yang kemudian dijahit ibu untuk digunakan pada saat lebaran. Persis seperti gambaran di negara komunis. Semua antri dan semua serba seragam.

Siaran televisi baru ada bersamaan dengan penyelenggaraan Asian Games tahun 1962. Di lingkungan kami, baru ada di rumah oom Jaka, orang Sunda yang bekerja di Kantor Pajak. Ke sanalah orang-orang sekampung pergi menonton televisi setiap sore. Rupanya, sejak jaman orde lama, pegawai direktorat pajak memang lebih kaya dibandingkan dengan pegawai negeri lainnya. Jadi bukan sekarang saja mereka memperkaya diri. Baru menjelang awal tahun 1965, kami memiliki televisi. Saat, setelah menamatkan pendidikan di akademi bank, bapakku mendapat promosi dan kenaikan gaji. Jadi rapel gajinya dibelikan sebuah pesawat televisi. Jadi, sejak itu, para tetangga memiliki dua tempat untuk menonton.

Hampir seluruhnya penghuni kampung itu, memang keluarga Betawi asli ..., dan umumnya tidak bekerja di kantoran. Mereka yang bekerja di kantor sebagai PNS umumnya penduduk pendatang. Sementara lelaki/bapak yang berasal dari Betawi, nggak jelas apa pekerjaannya. Soal pekerjaan inipun baru saya sadari setelah saya dewasa. Bahwa orang hidup harus bekerja ...., Maklum ... lelaki di kampung betawi, kan kebanyakan ada di rumah sepanjang hari. Jadi, sama sekali tidak terlihat aktifitas rutin pagi hari untuk berangkat kerja. Apalagi sekolah saya, masuk siang hari, Jadi pemandangan rutin yang saya lihat setiap pagi adalah, bapak-bapak ngrumpi sambil ”ngupi” dan sarapan nasi uduk atau ketan urap di depan rumah.

Di samping soal pekerjaan itu, saya juga hanya tahu jenjang sekolah sampai SMP saja. Sudah ..., selesai SMP, manusia harus bekerja ... dan yang perempuan menikah. Bagaimana tidak, setiap kali saya diajak nenek untuk ”kondangan”, saya mendapati kenyataan bahwa mempelai perempuan rata-rata baru berumur antara 13 – 15 tahun saja. Katanya, sudah akil baliq, jadi sudah pantas menikah. Sementara mempelai lelaki berumur 2 atau 3 tahun di atasnya. Nenek saya yang aktif di Aisyiah (organisasi wanita Muhammadiyah), diberi kepercayaan memegang peralatan sewa (piring+gelas+sendok). Jadi banyak kenalannya yang meminjam peralatan pesta sekaligus mengundangnya. Inilah wajah dunia saya sampai dengan tahun 1965

Saya tinggal di Jakarta hanya, sampai kelas 4 SD saja, karena usai peristiwa G30S, pada bulan Desember 1965 kami sekeluarga pindah ke Garut – Jawa Barat, mengikuti bokap yang diberi tugas membuka cabang pembantu bni di kota intan tersebut.

Kepindahan kami ke Garut pada akhir tahun 1965, membuka cakrawala pengetahuan saya .... Bahwa ternyata, ada sekolah lanjutan sesudah SMP. Saya mulai mengenal ada STM (sekolah teknik menengah), SPG (sekolah pendidikan guru), SMEA (sekolah menengah ekonomi atas), SKKA (sekolah kesejahteraan keluarga atas), SGO (sekolah guru olahraga), SPMA (sekolah pertanian menengah atas), SAA (sekolah asisten apoteker) dan lain-lain ... Juga mulai mengenal adanya pendidikan tinggi tingkat universitas, walaupun saat itu terbatas pada Fekon extention (ini istilah saat itu untuk fakultas ekonomi di Unpad ... entah apakah istilah ini digunakan juga di universitas lain) Unpad. Pengetahuan ini juga berkat oom saya (adik ibu) yang tinggal bersama kami dan bersekolah di SMEA untuk kemudian melanjutkan kuliah di fakultas publisistik Unpad.

3 tahun tinggal di Garut, sekaligus membuka cakrawala pergaulan yang lebih luas. Istilah kerennya, naik strata sosialnya. Dari tadinya orang kampung, masuk pada pergaulan kelas menengah, walau di kota kecil. Sudah mulai mengenal fasilitas mobil dinas, dihormati orang karena menjadi ”anak pejabat”. Tapi jaman itu, semua orang hidup bersahaja. Hampir tidak terlihat perbedaan mencolok antar strata sosial dalam masyarakat. Kami diijinkan untuk berangkat sekolah nebeng dengan mobil bokap, karena sekolah kami letaknya di depan kantornya. Tetapi di luar itu, kemana-mana kami harus jalan kaki atau paling banter naik becak atau delman. Untungnya, Garut berhawa sejuk dan nyaman. Kendaraan bermotor masih dapat dihitung dengan jari Jadi jalan kaki berkilometerpun tidak masalah. Malah, kami, anak SD Daya Susila, pernah jalan kaki ke Cipanas (wisata air panas) di daerah Tarogong yang berjarak 4 km dari sekolah. Begitu pula pemandangan setiap pagi di depan rumah. Semua dijalani dengan hati yang riang gembira dan pasti menyehatkan. Maklum, anak-anak selalu menjalani hidup dengan ceria, bebas dari beban.

Tahun 1968, kami pindah ke Karawang, kabupaten penghasil  beras (dulu...he..he..) masih di Jawa Barat juga,  lalu menyeberang pulau, pindah ke Jambi pada tahun 1971 hingga tahun 1974, Jadi masing-masing selama 3 tahun juga. Inilah pertama kali kami sekeluarga merasakan naik pesawat terbang dari airport Kemayoran. Untung tidak mabok udara seperti biasa terjadi pada orang yang pertama kali naik pesawat.

Selama tinggal di Jambi ini, pergaulan terasa sangat terisolir, karena satu-satunya hubungan dengan dunia luar, hanya melalui pesawat terbang. Jalur darat dari Jambi – Palembang ditempur minimal dua hari melintasi hutan belantara. Jarang orang mau keluar dari propinsi Jambi melalui jalan darat. Jadi, bulan Desember atau akhir tahun ajaran adalah saat-saat yang ditunggu semua orang. Pada saat itu, anak-anak orang berada atau anak-anak para pejabat di Jambi yang umumnya bersekolah di Jakarta dan Bandung akan menghabiskan waktu liburan dengan mengadakan pesta dansa. Itulah satu-satunya hiburan bagi anak muda kala itu.

Tinggal di Jambi itu akhir dari kebersamaan keluarga secara utuh, karena sesudah itu, bapak saya kembali ke kantor pusat di Jakarta. Sementara saya sudah duduk di kelas 3 sma. Mulai dari tahun 74 itulah, saya dan 2 orang adik yang masih di SMA, tidak lagi mengikuti kepindahan keluarga ke Padang – Hongkong – Bandung untuk kemudian kembali lagi menetap di Jakarta pada tahun 1984 hingga akhirnya bapak pensiun tahun 1987.

Sewaktu kecil dulu, saya pernah bercita-cita menjadi dokter. Maklum... cuma itu profesi yang saya kenal dengan baik. Namun entah mengapa cita-cita itu hilang dari ingatan saat duduk di sma. Mungkin karena saya penakut. Jangankan menyentuh mayat untuk praktikum. Lewat pemakaman umum di malam hari saja, saya selalu memejamkan mata. Saya sendiri menyelesaikan kuliah selama hampir 10 tahun setelah sempat mengambil cuti akademis selama 4 tahun, mengikuti suami yang dapat beasiswa ke Perancis. Melahirkan satu anak lelaki di negaranya Catherine Deneuve/Alain Delon (ini bintang pujaan era tahun 70 an). Jadi usia saya sudah + 28 tahun saat di wisuda. Sudah tidak ada greget kebahagiaan karena, akhirnya dapat menyelesaikan kuliah ... Yang ada cuma kelegaan menyelesaikan beban moral kepada orang tua.

Setelah sempat menganggur selama satu tahun (ini juga disebabkan karena tidak mencari pekerjaan dengan serius), saya bekerja di sebuah konsultan arsitektur yang cukup besar. Namun demikian, saya tidak memiliki cita-cita muluk dalam mencari pekerjaan. Yang penting dapat pekerjaan karena hasil jerih payah sendiri (bukan karena koneksi) dan dapat penghasilan yang halal saja. Soal berapa besar gaji yang akan diterima, biar saja mengikuti standar kantor. Saya tidak pernah bermuluk-muluk untuk tawar menawar gaji dan fasilitas. Bagi saya, biarlah orang menilai hasil kerja dulu. Nanti semuanya akan terbayar. Toh Allah SWT tidak tidur. Jadi tidak akan pernah salah memberikan apa yang menjadi hak kita. Itu sebabnya saya tidak betah bekerja di konsultan arsitektur tersebut, karena pekerjaan itu didapat atas koneksi bapak yang ”gerah” melihat anaknya di rumah saja setelah selesai kuliah. Karenanya, dari awal masuk kerja, betul-betul sudah ditekadkan untuk mencari pekerjaan di tempat lain dengan kemampuan sendiri. Kesempatan pindah pekerjaan itu akhirnya diperoleh tepat 3 tahun setelah bekerja sebagai arsitek. Sekarang, saya bekerja di perusahaan yang ketiga. Sampai kapan? Entahlah ... tidak ingin dipikirkan lagi. Jalani saja seperti air mengalir.

Tempat kerja saya yang terakhir ini membuat saya masuk pada dimensi lingkungan pergaulan yang sama sekali tak terbayangkan. Dunia yang bersinggungan dengan para elite pemerintahan negara, walaupun saya hanya kadang-kadang saja lewat dan mampir di emperannya .. he..he...

Awalnya, karena sekitar 7 tahun yang lalu, pemilik perusahaan yang juga aktifis organisasi dan politik meminta saya untuk membantu salah seorang mantan menteri jaman Suharto. Saat itu, beliau, sebagai salah seorang pendiri Yayasan, sedang membenahi kemelut dalam salah satu Yayasan yang didirikannya. Sebetulnya, saya agak enggan melaksanakan tugas itu. Jujur, saya paling tidak suka berhubungan dengan pejabat/mantan pejabat. Saya tidak pandai bermuka dan bermulut manis. Lebih suka berkata apa adanya ... tanpa bumbu penyedap. Bos saya bilang terlalu naif dan polos. Nggak pantas dan nggak cocok untuk jadi orang marketing karena seringkali kelugasan cara bicara saya, bisa merusak suasana. Ini bisa dianggap kekurangan saya dalam pergaulan, dan saya sadar betul akan hal ini.

Sungguh bukan pekerjaan yang mudah untuk bicara dan memulai pekerjaan yang dibebani boss. Apa yang saya kerjakan sudah merambah kemana-mana, kadang menyentuh dimensi politik, walaupun hanya sekedar membuat makalah, atau draft sambutan. Seringkali, saya merasa tugas tersebut sudah melebihi porsi tugas kantor. Tapi apa boleh buat... perusahaan ini milik bos 100%, jadi dia berhak memerintahkan apa saja sesuai kepentingannya. Walau terkadang saya mengambil hikmahnya saja, yaitu memperluas cakrawala pengetahuan dan pemikiran. Jadi dapat dikatakan, saat itu, saya ditugaskan untuk ”melayani” mantan pejabat tinggi yang masih punya pengaruh di dunia politik Indonesia (setidaknya dari kacamata kepentingan boss).

Pada hari yang ditetapkan untuk mengunjungi beliau, gigi saya mendadak sakit. Mungkin suatu kebetulan, atau saya benar-benar stress sehingga mendadak sakit gigi. Jadi saya menelpon ke kantor ... berharap ada yang bisa mengganti tugas tersebut. Tentu dengan harapan agar tugas selanjutnya itu bisa ditangani pengganti saya... he.. he... Sialnya... atau untungnya..., boss menolak usul tersebut dan meminta saya untuk membuat janji baru.

Seminggu kemudian, dengan agak enggan, saya terpaksa mengunjungi rumah beliau. Saya diterima di show room mutiara miliknya (setelah lengser dari kursi menteri, beliau menjadi salah satu pengusaha mutiara yang cukup berhasil dan tetap giat dalam organisasi politik maupun sosial). Angker dan menjaga jarak..... Saya hanya disapa sekedarnya untuk kemudian diterima (sepertinya) oleh sang asisten. Belakangan saya tahu, dia adalah staff yayasan yang sedang bermasalah itu. Tidak ada pembicaraan langsung.. semua melalui asisten. Percuma saya datang... alih-alih mendapat banyak masukan sebagai bahan untuk membantu pemecahan masalah yang sedang dihadapi, saya merasa hanya membuang-buang waktu saja. Si asistenpun tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan saya.

Hampir satu tahun kemudian, secara perlahan-lahan, beliau mulai memberi kepercayaan pada saya. Bukan melulu urusan yayasan, tapi sampai pada masalah pribadi dan keluarga. Bahkan saya pernah dipercaya untuk memegang kendali keuangan salah satu perusahaannya. Konsekuensi dari kepercayaan itu memang agak merepotkan. Setiap pagi, saat saya sedang repot mengurus anak berangkat sekolah dan menyiapkan sarapan bagi anak dan suami, beliau menelpon ke rumah. Rutin ... bukan hanya menyapa apa kabar atau menanyakan urusan yang dibebankan kepada saya. Tetapi kadangkala melampiaskan kejengkelan kepada anaknya melalui saya selama minimal 15 menit.

Segala masalah yang dialaminya dikeluarkan. Beliau seperti memiliki tempat menumpahkan segala unek-unek yang sudah membuncah dalam hati dan pikirannya. Masalah politik, ekonomi, keluarga bahkan keluh kesah terhadap kelakuan anak, menantu, cucu-cucu dan keluarga lainnya semua keluar. Sedih, senang, suka maupun duka semua tumpah ruah. Bahkan kadang-kadang, dengan seenaknya beliau marah melalui telpon kepada saya, tanpa saya tahu apa sebabnya.

Kadang, saya merasa kesal sekali mendapat perlakuan ini (dimarahi tanpa sebab), Saya bukan orang gajiannya ... tidak juga berhutang budi padanya ... tapi menjadi sasaran tumpahan segala masalah hidupnya. Tetapi di lain waktu, saya merasa iba dengan kondisinya. Bayangkan, dengan uang yang melimpah ruah, nama baik dan jabatan yang pernah diraihnya, toh beliau masih merasa tidak berbahagia. Uang yang banyak juga, ternyata membawa tambahan masalah yang sama sekali tidak terduga. Kesemuanya, sama sekali tidak pernah saya bayangkan.

Manusia memang tidak pernah puas. Kala kita miskin, kita selalu bercita-cita memiliki harta berlebih agar bisa hidup lebih berbahagia. Ternyata, kalau kita sudah sampai di sana, masih saja ditemui kekurangan yang lain. Akhirnya kita selalu mengejar sesuatu yang absurd dan tidak pernah puas dan terkadang tidak tahu kapan waktunya untuk berhenti.

Sampai saat ini saya, secara tidak langsung, masih terseret-seret dalam lingkaran para selebriti politik. Obrolan makan siang di kantor tidak jarang diisi dengan gunjingan ”off the record” dari para pelaku politik negara ini. Apalagi sudah hampir dua tahun ini, suami juga masuk di dalam lingkaran pemerintahan. Wah lengkap sudah informasi yang masuk ke telinga. Kadangkala terbersit harapan atas potensi negara kita yang tercinta ini. Tetapi, tidak jarang harus menahan rasa sedih, kadangkala geram mendengar kehebohan negeri ini.

Perjalanan hidup manusia memang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Apalagi bagi keturunan (separuh) Betawi seperti saya yang sering dikatakan ”anak kampung”. Kalau saja pada tahun 1965 bapak tidak berketetapan hati menerima penugasan ke Garut demi mendengar keberatan keluarga besarnya, mungkin nasib saya tidak akan jauh dari teman-teman main saya; menikah dalam usia muda, yaitu belasan tahun, punya anak segudang seperti anak kelinci. Ini persis seperti dalam kisah Si Doel Anak Betawi, dimana babe Sabeni sangat marah tatkala si Doel diterima bekerja di perushaan minyak off-shore; Orang (daerah) lain berebut masuk ke Jakarta (Betawi) ... eh kok orang Betawi asli malah ”minggir”??

Dalam usia menjelang senja, saya hanya dapat mensyukuri apa-apa yang sudah dilalui, baik suka maupun duka. Kesemuanya menunjukkan, betapa besar kuasa Allah SWT bermain atas nasib manusia. Ada beberapa cita-cita dan keinginan yang tidak tercapai, walaupun sudah mati-matian diusahakan. Namun ada beberapa kesempatan baik yang datang secara tidak terduga. Pengalaman burukpun dapat melintas dalam kehidupan manusia setiap saat. Tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Akankah kita menarik hikmah darinya atau malah kecewa tak berkeputusan. Namun saya selalu percaya, bahwa bagi orang-orang yang bertawakal, hidup ini memang harus dijalani sebagaimana yang telah Dia tetapkan. 

Salam
Lebak bulus 6juli2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...