Hari ini Jakarta memulai pagi hari di minggu terakhir bulan Agustus dengan mendung. Sudut-sudut kota seperti biasa dipadati kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat dan menebarkan polusi. Semalam, hujan deras mengguyur belahan Jakarta Selatan dan menggenangi beberapa ruas jalan. Seharusnya, air hujan semalam mampu membersihkan udara. Tetapi jumlah kendaraan bermotor sudah melebihi kapasitas jalan dan ruang kota, sehingga masyarakat Jakarta harus akrab dengan kemacetan dan polusi udara. Mungkin polusi udara juga sudah melanda dunia, sehingga orang mulai khawatir dengan global warming yang membuat perubahan cuaca dunia termasuk Jakarta.
Bila berbicara mengenai perubahan, sebetulnya, alam termasuk manusia seisinya, selalu melakukan perubahan setiap saat. Lihat saja, pagi hari, tatkala kita dibangunkan oleh kokok ayam atau suara adzan, udara begitu sejuk mengantar sang surya bangun dari peraduannya. Seiring dengan berjalannya waktu, sang surya mulai memancarkan sinar dan menebarkan panas untuk kemudian secara perlahan-lahan, kembali meredup dan digantikan skesejukan senja. Begitu pula bunga-bunga kuncup, berkembang mekar untuk kemudian layu dan gugur. Saking mudah dan biasanya perubahan itu terjadi tanpa kita sadari, seolah-olah demikianlah hukum alam.
Bila perubahan alam terjadi tanpa perhatian kita, maka perubahan sikap manusia di sekitar kita menjadi perhatian seksama. Apalagi bila perubahan itu terjadi pada orang-orang terdekat. Kemudian kita lupa, bahwasanya sebagai elemen alam, manusia juga mengalami perubahan. Sifat dan sikap manusia merupakan elemen yang sangat labil, sangat mudah berubah. Ada yang perubahannya tidak mendasar hanya dipermukaan saja dan berlangsung singkat. Contohnya anak-anak dari berteman baik, kemudian marah dan bertengkar kemudian dalam waktu relatif tidak lama, katakanlah 15 menit, menjadi berbaikan kembali. Namun bila hal yang sama terjadi pada orang dewasa, maka
Jangka waktu dari mulai meledaknya kemarahan sampai kepada fase berbaikan kembali menjadi relatif lebih lama. Berbicara mengenai perubahan sifat dan sifat manusia,, membuatku teringat pada salah satu kenalanku.
Mendung juga mengiringiku berangkat ke kantor pagi ini. Mendung dan macet di pagi hari bukanlah kombinasi keadaan yang menyenangkan untuk memulai hari kerja. Sambil menunggu perubahan traffic light, kuraih telpon genggamku untuk melihat sms yang masuk. Hm ...sepagi ini, Ine sudah mengirim sms. Kenalanku yang satu ini pasti memerlukan tempat untuk mencurahkan segala rasa gundahnya.
***
Sebetulnya aku tidak bergaul terlalu akrab dengan Ine. Kami hanya saling mengenal nama dan bertegur sapa sekedarnya kala bertemu. Sebagian besar di mesjid saat shalat tarawih di bulan Ramadhan. Ine yang mantan pramugari ini adalah salah satu aktifis pengajian ibu-ibu di lingkungan tempat tinggal kami. Dua latar belakang ini yang membuatnya memiliki jaringan pertemanan yang sangat luas. Apalagi pembawaannya yang easy going dan sangat ringan tangan, boleh jadi menjadi point penting dalam pergaulan di kalangan ibu-ibu. Ini tentu berbeda 180% denganku yang relatif bersikap sangat menjaga jarak dengan siapapun. Bukan karena sombong tetapi karena aku sangat tidak ingin terlibat dalam gosip-gosip yang biasa membumbui pergaulan di kalangan perempuan.
Suami Ine, mempunyai hubungan yang jauh lebih akrab dengan suamiku. Sebagai mualaf (apakah masih bisa disebut mualaf bila dia sudah memeluk agama Islam lebih dari 20 tahun?), Boy yang pernah belajar piano di conservatori di Italia, memiliki pengetahuan agama yang sangat dalam. Hal ini sangat tidak mengherankan. Konon sejak kecil, Boy memang telah terbiasa bergaul di lingkungan gereja sebagai pelayan misa. Bukan tidak mungkin, dia pernah mengambil studi perbandingan antara Katholik dan Islam. Gereja Katholik memang mempunyai tradisi ilmu keagamaan yang kuat dan dalam bagi penganutnya. Sebab itulah Boy jauh lebih menguasai Islam dibandingkan dengan kaum muslimin keturunan, yaitu terlahir sebagai muslim karena kedua orangtuanya pemeluk agama Islam. Dalam situasi itu, suamiku menemukan kawan yang cocok untuk berdiskusi dan berbicara mengenai segala aspek yang berkaitan dengan Islam, tanpa hambatan, dengan Boy. Apalagi sebelum kami pindah rumah, mereka berdua merupakan pengurus Dewan Kesejahteraan Mesjid di lingkungan perumahan tempat tinggal kami.
Setelah kami berpisah, suamiku masih sering berhubungan dengan Boy. Biasanya mereka membuat janji untuk melakukan I’tikaf atau sekedar shalat subuh berjamaah di mesjid, baik di perumahan tersebut ataupun di Jakarta, Istiqlal atau At-Tin di Taman Mini, terutama di bulan Sya’ban. Mereka selalu menamakannya sebagai persiapan spiritual menjelang bulan Ramadhan.
Usai Ramadhan, seperti biasanya, pada hari lebaran ke dua, kami akan mengunjungi rumah pasangan Boy dan Ine, serta beberapa teman terdekat yang tinggal di suatu perumahan di belahan timur Jakarta. Sudah hampir lima tahun kami meninggalkan komplek perumahan itu. Beberapa teman yang tak tahan dengan kemacetan di sepanjang jalan tol, juga mulai menjual rumahnya dan pindah ke Jakarta atau mendekati lokasi kerja. Siapa yang akan tahan bila harus berlelah-lelah selama masing-masing + 2 jam pagi hari dan sore hari. Sudahlah badan lelah, dompetpun dikuras untuk membayar tol dan bbm yang terbuang karena kemacetan.
Tahun lalu, seperti biasanya Mas Dito mengirim pesan pendek untuk Boy, mengabarkan bahwa kami akan mengunjunginya pada hari kedua Syawal. Ini perlu juga, karena kami tidak ingin kedatangan kami menjadi sia-sia atau mengganggu acara yang telah mereka atur sebelumnya. Untunglah, Boy sudah memastikan bahwa dia akan berada di rumah pada jam yang kami minta.
Menjelang dhuhur, telpon genggamku berbunyi ;
”Assalamualaikum mbak, .... boleh minta nomor telpon rumah ya ... Aku mau telpon ke rumah saja, biar lebih enak”, Suara Ine terdengar lirih.
Agak terkejut juga aku mendengar suaranya. Apalagi dia mengetahui nomor telpon genggamku. Mungkin dia mendapatkannya dari istri kakak iparku yang juga kawan akrabnya di pengajian. Kusebutkan nomor telpon rumah dan tak lama kemudian suara Ine kembali terdengar.
”Mbak, maaf, aku mengganggu di jam istirahat seperti ini ...”, ujarnya berbasa-basi sebelum meneruskan ucapannya.
”Aku mau minta tolong, kalau kalian berkunjung ke rumah, tolong ingatkan Boy untuk kembali lagi menjalankan ibadah seperti sediakala” sambungnya
Aku agak terperangah... ada apa ini? Boy adalah satu-satunya aktifis mesjid yang sering dipuji dan dikagumi suamiku. Tidak pernah lalai shalat subuh berjamaah di mesjid. Bahkan dialah yang selalu membangunkan penjaga mesjid yang tertidur. Jangan lagi ibadah wajib, puasa sunnahpun sudah menjadi ibadah kesehariannya. Bacaan Al Qur’annya pun fasih dan baik serta ditunjang dengan pengetahuan dan kajiannya yang tajam dan dalam mengenai Islam. Khas cendekiawan yang berlatar belakang Seminari. Tidah hanya itu, pembawaannya yang selalu rendah hati, santun, suka menolong dan sangat sederhana menjadi nilai tambahnya di mata suamiku.
”Ada apa Ine, kok kamu seperti mengada-ada? Mana mungkin mas Dito meluruskan Boy yang alim dan santun itu. Ini terbalik namanya ... Kamu jangan bercanda ah..”
”Sungguh.... aku tidak bercanda, mbak. Boy sekarang bukan lagi Boy yang kita kenal dulu. Jangankan tarawih, puasa dan shalat wajibpun sudah mulai ditinggalkan. Aku sedih ..., aku takut Allah mencabut nyawanya dalam kondisi seperti ini...” Suara Ine terdengar mulai terisak.”Ine .., coba jelaskan apa yang sudah terjadi. Biar nanti aku sampaikan pada mas Dito. Dia sedang tidur siang.”
”Boy berselingkuh, mbak ... dengan istri orang. Perselingkuhannya itu membuatnya lupa diri. Dan dia, bukan saja menjauhkan diri dariku dan anak-anak, tapi yang lebih menyakitkan, dia menjauhkan diri dari Allah, dan sudah mulai meninggalkan ibadah-ibadah wajibnya.” lanjut Ine tanpa basa-basi lagi.
Masya Allah ... Aku terhenyak mendengar cerita pembukaan Ine. Bukankah selalu kudengar tausyiah bahwa shalat, menjauhkan manusia dari perbuatan mungkar dan keji. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi pada Boy? Bukankah Boy, seorang selalu taat dalam menjalankan ibadah. Bukan satu dua bulan dia melaksanakannya, tetapi sudah bertahun-tahun Boy menjalankan ibadah dengan tekun. Bahkan, ibadah haji dan umrohpun sudah pula dilaksanakannya. Kalaulah bukan Ine, istrinya, yang mengatakan bahwa Boy yang berselingkuh, mungkin aku menganggapnya fitnah keji belaka.
”In, apa aku nggak salah dengar? Rasanya mustahil itu terjadi pada Boy. Kamu salah lihat atau salah dengar, mungkin?. Jangan lekas percaya dengan gossip ah!” sahutku. Aku tak boleh ikut berprasangka jelek pada Boy.
”Mulanya memang begitu, mbak ... tapi sudah terlalu banyak bukti-bukti yang kudapat. Jadi ini sudah bukan gosip lagi. Bahkan, suatu hari, aku pernah mengikutinya sampai ke Yogya. Mereka pergi berdua ... tinggal di hotel yang sama. Sampai kemudian aku ajak Boy pulang kembali ke Jakarta bersamaku.” lanjutnya masih dalam suara terisak.”Ine ... jangan cepat berprasangka buruk.... Mungkin, mereka teman sekantor dan kebetulan bertugas ke kota yang sama. Kan belum tentu terjadi affair di antara mereka.” sahutku berusaha menenangkannya.
”Ya mbak, putana itu, memang teman sekantornya, mereka sudah bekerja sama lebih dari 18 tahun. Aku kenal dia. Itu yang membuatku tidak habis pikir. Bagaimana mungkin, orang yang kukenal baik, mampu berselingkuh dengan suamiku, teman sekantornya sendiri. Apalagi aku juga kenal suaminya”
”Kamu mengada-ada, mungkin... Eh, namanya Putana?” aku masih saja merasa tidak percaya dengan cerita Ine.”Waktu aku mendengar cerita dari salah satu teman putana yang menelponku, aku juga nggak percaya. Tapi temannya itu memberikan data-data yang jelas semuanya termasuk juga ticket pesawat terbang mereka berdua dan copy email antara Boy dengan putana, yang entah diperolehnya dari mana. Bahkan diapun memberikan nomor telpon suami putana, agar aku mau memberitahukan suaminya mengenai hal ini. Oh iya... putana ini julukanku saja dalam bahasa Itali”
Aku tersenyum sendiri ... menyadari kata yang sama dalam bahasa perancis. Putana itu hampir sama dengan putain/putaine – perempuan nakal.
”Aku juga sudah mengecek email di notebook yang ada dirumah. Sungguh mbak .... surat-surat di antara mereka berdua, menjelaskan bahwa hubungan mereka sudah sangat jauh... Jauh sekali””Kasihan Boy ...., kenapa bisa begitu” Aku kehabisan kata-kata sekaligus menyadari ketololanku. Keadaan ternyata begitu gawat.
”Itulah ... aku minta mas Dito mau bicara dengan Boy. Mereka, kan dekat sekali. Aku pikir, mungkin Boy merasa dirinya kotor karena telah melakukan dosa, sehingga dia malu untuk tetap menjalankan shalat dan puasa. Bila mas Dito bicara, mudah-mudahan Boy bisa sadar akan kekeliruannya”
Suasana menjadi hening.
”Semua orang pasti punya dosa, tapi kan tidak malah menjauhkan diri dari Allah. Inilah yang aku takut dan sedihkan. Setiap malam aku berdoa, minta pada Allah SWT, akan dibukakan hidayahNya kembali pada Boy. Jangan sampai dia dicabut nyawanya dalam kondisi seperti ini. Mudah-mudahan setelah bicara dengan mas Dito, Boy bisa menyadari kesalahannya dan mulai berusaha beribadah seperti semula”, lanjut Ine”Ok Ine.... nanti aku sampaikan pada mas Dito, masalahnya. Entah apa yang bisa kami bantu. Saya sangat prihatin dengan keadaan ini. Sabar dan tawakal ya In...” aku menutup pembicaraan. Tak sanggup kulanjutkan obrolanku dengan Ine.
Ya Allah, betapa lemahnya iman manusia. Baru kusadari, betapa besarnya godaan lelaki kala dia berhadapan dengan harta dan wanita. Sejak krisis moneter 1998, keluarga Boy yang sederhana itu memang mulai berubah secara ekonomi. Maklumlah, sebelum krisis moneter, gaji Boy, walaupun diterima dalam dolar, habis untuk biaya rumah tangga dan mengangsur rumah dan mobil saja. Itu sebabnya, dulu pernah kudengar mereka bermaksud menjual rumah yang dihuninya itu.
Krisis moneter telah melambungkan nilai tukar dolar. Ada banyak orang menderita karenanya, namun Boy memperoleh banyak kemudahan karenanya. Sejak krisis, secara otomatis nilai rupiah gaji Boy menjadi hampir 5 kali lipat. Secara seketika dan pasti, Boy mulai mempunyai keleluasaan keuangan yang sangat besar. Dia bisa memperoleh segala atribut duniawi dengan amat mudahnya. Melunasi sisa angsuran rumah, mengganti mobil dan bahkan mengajak istrinya menunaikan ibadah haji dengan fasilitas ONH plus, yang sebelumnya tidak terbayangkan. Ah, ternyata, dalam kenikmatan duniawi yang Allah berikan, keimanan manusia menjadi begitu mudah terjungkir balik !!!
Usai shalat Ashar, kuceritakan isi pembicaraanku dengan Ine, seraya meminta mas Dito menelpon Ine, sesuai permintaan. Entah apa yang dibicarakan mereka. Kulihat, mas Dito lebih banyak mendengarkan saja dibandingkan berbicara.
Menjelang Isya, yaitu setelah shalat maghrib dan makan malam, kami berdua berangkat menuju rumah mereka. Di dalam perjalanan, aku kehilangan selera untuk berbicara dengan mas Dito. Pikiranku dipenuhi oleh cerita Ine, terpecah dengan sendirinya, antara percaya dan tidak. Rasanya mustahil, orang sesantun, sebaik dan setaat Boy, bisa melakukan perselingkuhan sampai sejauh itu. Namun aku juga tidak bisa memungkiri, bahwa di dalam lingkaran pergaulan metropolitan Jakarta, berbagai kemungkinan bisa terjadi. Mungkin tadinya Boy hanya merasa memiliki teman ngobrol di kantor. Pertemanan biasa yang kemudian lama-kelamaan menjadi semakin akrab karena merasa makin dekat dan makin dekat lagi. Witing tresno jalaran saka kulino. Begitu pepatah Jawa mengatakan.
Kurasa, itu sebabnya di dalam Islam, kita dianjurkan untuk menundukkan kepala bila berbicara dengan lawan jenis. Atau, kita selalu diingatkan bahwa hati-hati kala beradu pandang dengan lawan jenis, karena bila kita berusaha memandang untuk kedua kali, maka syetanpun mulai menggoda. Apalagi, walaupun manusia sudah terikat dalam tali pernikahan, siapa yang mampu membelenggu hati dan perasaan pasangan kita? Konon lagi bila perkawinan sudah berlangsung lama dan kemesraan mulai terkikis tanpa disadari oleh ke dua belah pihak. Maka masuknya pihak ketiga di antara pasangan suami istri, menjadi lebih mudah.
***
Satu jam perjalanan dari rumah, kami mulai memasuki gerbang perumahan yang asri. Suasana malam di sana masih seperti saat kami tinggalkan, tenang dan tenteram. Itu juga yang menyebabkan kami mampu bertahan sampai 12 tahun tinggal di perumahan tersebut. Kalau saja, tidak ada kemacetan yang parah menuju Jakarta, tentu kami tidak akan pernah meninggalkan perumahan tersebut, kecuali ajal menjemput.
Tiba di muka rumah mereka, Boy dengan ramah dan santun seperti biasanya, menyambut kedatangan kami, begitu bel rumah dibunyikan. Ine kemudian menyusul keluar rumah sambil merapikan jilbabnya. Usai berbasa-basi sebentar, Ine menarikku lenganku dan mengajak ke dapur untuk menemaninya membuat kopi dan menyediakan kue. Sambil menuang kopi dari coffee maker, dia berusaha bercerita hal-hal yang ringan dengan keceriaan yang jelas terdengar sangat dipaksakan.
Usai menyilakan mas Dito meminum capuccino asli dari italia, katanya, kami menuju teras belakang untuk memberikan kesempatan pada kedua lelaki itu berbicara. Kupandangi wajah Ine ... terlihat lebih kurus dan suram, tidak seperti biasanya. Tidak lagi kudengar suara dan tawanya yang biasa nyaring dan lepas.
”Ine ... kalau kamu berpenampilan seperti ini terus ... jangan salahkan kalau suamimu berpaling. Jangan larut dengan kesedihan In” ujarku kemudian setelah Ine menceritakan lebih detil lagi bukti-bukti perselingkuhan Boy
”Cobalah untuk tegar .... Walau tidak selalu benar, terkadang, para suami yang sedang kasmaran, merasa ”risi dan sebal” bila si istri merengek dan berpenampilan sembarangan dan kuyu. Tentu dia akan membandingkan kamu dengan penampilan dan pelayanan sang penggoda. Lagi pula, kasihan anak-anak ... nanti mereka kehilangan pegangan” sambungku berusaha mengajarinya, walaupun aku tidak merasa yakin dengan segala teori itu.
”Ya... itulah ... aku khawatir, anak-anak jatuh pada pergaulan yang jelek, karena kecewa, malu dan stress dengan perubahan bapaknya. Boy sudah tidak segan-segan melecehkan aku di depan anak-anak. Bahkan tidak jarang Boy menepis kemanjaan anak-anak. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.”
”Aku hanya bisa menenangkan anak-anak, bahwa yang mereka hadapi sekarang ini bukan papa mereka. Mungkin papa mereka sedang sakit dan dalam kesakitannya itulah muncul jiwa lain yang jahat.. Aku nggak tahu mesti bilang apa sama anak-anak, mbak. Sungguh ... , yang kuhadapi sekarang, rasanya bukan Boy, tetapi orang lain. Hampir 20 tahun kami menikah, dan selama ini aku tidak pernah melihat dan merasakan sikap Boy yang seperti ini. Dia selalu santun, penuh kasih, dan sabar kepada semua orang” imbuhnya.
”In, mungkin ada baiknya kalau kamu mulai bekerja lagi ... paruh waktu mungkin? Katakanlah sebagai property agent atau semacam itulah. Kamu punya jaringan pertemanan yang luas dari berbagai golongan. Aku yakin kamu pasti bisa. Dengan bekerja, selain kita memiliki penghasilan, mungkin juga pikiran kita menjadi lebih postif. Libatkan juga anak-anak, supaya mereka juga tidak kehilangan ”induk” lagi. Usulku kemudian untuk mengalihkan pembicaraan.
”Ya, mbak ... Akan kucoba. Aku hanya bingung kalau harus pontang-panting keluar rumah. Walaupun anak-anak sudah besar, tidak berarti mereka tidak butuh pengawasan. Aku takut mereka terjerat narkoba dan sejenisnya. Apalagi dengan kondisi seperti ini”
Lidahku betul-betul kelu, tak tahu apalagi yang harus kukatakan untuk menghiburnya. Atau mungkin juga, Ine tak perlu hiburan. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Ine hanya butuh orang yang mau mendengarnya, agar kepedihan hati dan beban berat yang dihadapinya bisa terasa lebih ringan.
Hari sudah semakin larut, kala kami meninggalkan pasangan itu. Sukar dipercaya bahwa ada masalah yang begitu berat di antara mereka. Mereka tetap ramah dan santun sebagaimana biasa Mereka melepas kepergian kami sambil bercanda, tanpa beban, seperti biasa.. Ah, semoga keadaannya tidak seburuk yang diperkirakan Ine. Jujur, aku masih tidak percaya mendengar cerita itu. Aku selalu berusaha berbaik sangka kepada siapapun sebelum melihat segala sesuatu dengan mata dan kepala sendiri. Tetapi, kalau cerita perselingkuhan itu kudengar dari langsung mulut istrinya, bagaimana aku menepiskannya?
***
Lama aku tak mendengar kabarnya. Jarak yang menghubungkan tempat tinggal kami memang lumayan jauh dan ditambah dengan kesibukan masing-masing. Lagipula, sejak semula aku memang tidak terlalu sering berhubungan dengan Ine. Aku juga khawatir, bila terlalu sering menghubunginya, malah akan mengganggu ketentramannya. Aku hanya ingin menerapkan prinsip no news means good news. Itu juga harapanku untuk masalah yang dihadapi Ine. Kami memang sempat bertemu sekali lagi, beberapa bulan kemudian, di Citos untuk makan siang bersama dengan beberapa teman lainnya. Ine sudah terlihat lebih ceria. Lagi pula, keadaan saat itu, tidak memungkinkan untuk bertanya lebih lanjut mengenai perkembangan Boy.
***
Satu tahun sudah berlalu ... Minggu lalu, dalam perjalanan pulang, usai menghadiri pertemuan keluarga besar mas Dito, dia memberikan kabar bahwa Boy sudah satu bulan tidak lagi pulang ke rumah.
”Ah ... jangan bikin rumor....!” sergahku.
”Itulah .... aku juga nggak terlalu percaya. Biasa ... mulut perempuan kadang suka berlebihan” timpalnya agak melecehkan. Mas Dito memang mendengar berita itu, dari ipar perempuannya yang juga kawan Ine di majelis taklim.”Nantilah, kalau sempat kutelpon Ine. Kebetulan sudah lama juga aku nggak ngobrol. Aku dulu pernah usul supaya dia kerja di property agent. Kebetulan aku punya kenalan orang Perancis yang ingin cari rumah.”
Keesokan harinya, saat istirahat makan siang, kusempatkan menelpon Ine dari kantor.
”Assalamualaikum, bu ... apa kabar??””Eh, mbak..., wa alaikum salam. Lama nggak kedengaran beritanya. Tumben?” sahutnya. Suara Ine terdengar lebih ceria. Ah semoga berita itu hanya omong kosong, aku membatin.
”Iya nih, sudah lama nggak dengar kabar beritanya. Kamu baik-baik saja kan? Kuharap, begitu juga dengan anak-anak dan Boy”,
”Alhamdulillah, mbak. Keadaan kesehatanku baik-baik saja. Tapi jangan tanya soal Boy dan anak-anak,, ya... Sudah semakin nggak keruan, dia. Tambah banyak masalah! Aku malah khawatir, anakku yang ke dua menderita gangguan psikologis, mbak.” Seperti biasa Ine bicara panjang lebar, menumpahkan isi hatinya
”Separah itu?””Begitulah. Mbak tahu, anakku sepertinya trauma dalam menghadapi masalah bapaknya. Setiap kali dia melihat sebuah keluarga lengkap sedang berkendaraan atau makan di restoran bersama, dia selalu berkomentar ...ma, bilangin dong ke tante itu dan anak-anaknya.. Jangan-jangan si oom cuma pura-pura sayang sama anak dan istrinya. Dia pasti lagi siap-siap ngumpulin duit buat menikah dengan pacar simpanannya. Begitu selalu yang dikatakan”
”Ada apa lagi sih?’ tanyaku
”Entah syetan apa yang nyangkut di kepala Boy. Setiap kali anak perempuanku mau bermanja dengan bapaknya, si Bapak malah menghindar. Padahal, biasanya si gadis paling manja sama bapaknya. Yang paling menyakitkan, Boy bilang sama anak-anak, bahwa kepergiannya sama putana sudah sejak lama direncanakan dan dipersiapkan. Sejak anak-anak kecil, katanya. Bahkan, Boy bilang, dulu, dia hanya merasa kasihan, tidak tega karena anak-anak masih kecil. Jadi selama itu dia terpaksa berpura-pura untuk menunggu waktu yang tepat meninggalkan keluarga.. Bayangkan mbak, bagaimana anak-anak itu tidak shocked mendengarnya?”
”Kok sampai begitu ya?” tanyaku.
”Entahlah ... mungkin dia frustasi. Ingin bercerai dariku, tapi nggak punya alasan yang valid. Dalam keadaan tertekan dan sedih, aku selalu berusaha menjadi istri dan ibu yang baik buat anak-anak. Tidak sepotongpun kalimatpun kuucapkan saat Boy menghinaku. Putana akhirnya sudah diceraikan suaminya. Mungkin dia mulai mendesak Boy untuk menikahinya”.
”Ah sudah lebih jauh lagi rupanya tindakan mereka. Kamu yakin putana sudah bercerai dengan suaminya?” tanyaku lagi. Aku jadi ikut-ikutan menyebut nama putana. Ine sama sekali tidak pernah mau menyebut nama perempuan itu.
”Suaminya yang menelponku ... minta maaf atas kelakuan istrinya dan sekaligus memberitahuku, bahwa mereka akhirnya bercerai. Kalau tidak salah dua atau tiga bulan yang lalu” lanjutnya.
”Tapi kalian tidak pisah rumah kan?” aku ingin memastikan cerita yang didengar mas Dito dari iparnya itu.
”Boy sudah tidak lagi tidur di rumah. Tapi dia masih kerap pulang, mengambil barang-barangnya. Kemarin saat menjelang subuh, dia juga pulang.”
”Ah syukurlah...!” aku mendesah. Ine segera melanjutkan pembicaraan yang terlanjur kupotong;
”Ya ... sebelum masuk rumah, dia menelpon, tapi aku sedang shalat tahajud. Jadi dikirimnya sms dan bilang... orang suci, bukakan pintu pagar!!!. Begitulah sekarang dia memanggilku. Tidak lagi dengan namaku seperti biasanya. Entah apa maksudnya, menyindir atau sengaja memancing amarahku.”
”Aku ikut prihatin ya. Banyak doa, In. Minta pada Allah agar memberikan yang terbaik buat kalian.”
”Ya mbak, aku sudah tidak lagi mau ambil perduli apa yang dikatakannya. Aku pikir, aku sekarang sedang dicoba Allah mengurus suami yang sedang sakit jiwa dan karenanya aku harus sabar. Aku hanya takut, kalau Boy murtad, itu saja. Dia sudah sering melalaikan shalat. Setidaknya yang kulihat saat dia sedang di rumah. Jadi harus selalu diingatkan. Jadi, bagaimana mungkin aku yakin dia menjalankan shalat saat di luar rumah?. Aku bersyukur, masih banyak teman dan bahkan ibu mertuaku yang menopangku secara moril. Itulah sumber kekuatanku menghadapi ini semua ....”
Entah apalagi yang harus kukatakan untuk menghibur Ine. Rasanya ... kalau aku mengalami hal yang sama, belum tentu aku akan tabah dan tawakal sebagaimana yang diperlihatkannya. Sungguh, semakin kusadari, betapa besarnya godaan yang dihadapi pasangan suami isteri dalam mengarungi rumah tangga. Dalam ikatan sakral yang diharapkan berlangsung seumur hidup, maka upaya melanggengkan rumah tangga tidak dapat dilakukan secara sepihak.
Aku tahu Ine sudah berupaya semaksimal mungkin. Bahkan, dia sudah siap mengijinkan Boy melakukan poligami, kalau itu adalah jalan keluar yang diperlukan untuk meredakan prahara rumah tangganya. Ine sadar sekali bahwa rumah tangga orang tua merupakan cermin dan teladan bagi anak-anaknya. Bahwa perceraian, walaupun dihalalkan tetapi bukanlah jalan keluar yang baik terutama bagi perkembangan jiwa anak-anak. Subhanallah, betapa luasnya keikhlasan yang diperlihatkannya dalam menghadapi cobaan ini. Dalam kondisi ini, apakah mempertahankan keutuhan rumahtangga merupakan alternatif penyelesaian yang baik juga?
”Aku hanya sedang mendapat cobaan dari Allah mbak. Aku sadar sekali ada masa kita mendapat berkah melimpah .. dan ada waktu kita mendapat cobaan. Dalam setiap doa-doa, aku selalu meminta agar senantiasa diberi kesabaran dalam menghadapi cobaan ini”, ujar Ine
”Aduh In ... jangan minta kesabaran dong...!! Kesabaran manusia kan ada batasnya. Nanti kalau Allah mengabulkan doa kamu, kan bisa berarti masalah ini tidak ada habisnya ..., karena doamu untuk selalu sabar menghadapi ”ulah” Boy, sudah dikabulkan. Mestinya gini nih ... Minta supaya Allah memberikan penyelesaian yang baik bagi semua pihak.” kataku, sok menasihatinya.
”Oh ... iya juga ya.... Semoga penyelesaian yang diberikan Allah adalah yang terbaik dunia akhirat bagi kami ya...””Insya Allah ....”
Sebentar lagi, umat Islam akan memasuki bulan Ramadhan yang suci dan penuh berkah. Biasanya mas Dito mulai mengajak beberapa teman dekatnya, di antaranya Boy, mempersiapkan diri memasuki bulan Ramadhan dengan melaksanakan I’tikaf. Aku sudah mengingatkannya untuk mulai mengirim sms padanya. Sebelum adanya peristiwa ini, Boy akan segera menyambut ajakan Itikaf itu. Dia akan memilih itikaf hingga shalat subuh berjamaah di mesjid dekat rumahnya. Mas Dito biasanya akan memenuhi ajakan Boy, karena Itikaf di tempat itu, sekaligus merupakan kesempatan bertemu teman-teman lama sesama jamaah mesjid. Akankah Boy absen dan menghindar seperti tahun lalu. Atau Allah bersedia memberikan kembali hidayahNya kepada Boy agar dia kembali ke jalan yang lurus lagi benar?
Obrolan siangku dengan Ine tidak mudah pupus dari ingatan. Masih terngiang ditelinga ucapan Ine ;
”Mbak, kenapa ada perempuan yang tega menyakiti hati sesamanya? Sudah kurelakan suamiku untuk dimilikinya, tapi, belum puas juga dia. Bukankah malamnya Boy adalah milikku, istrinya yang sah dan hari libur Boy adalah milik anak-anaknya?”
Apa gerangan yang direncanakan Allah SWT pada keluarga itu. Sungguh tidak pernah dapat kubayangkan, begitu mudahnya hati manusia terjungkir balik. Atau memang Allah sengaja menguji keimanan orang-orang yang taat kepadaNya, sebagaimana sering kudengar; semakin tinggi ketaatan seseorang kepada Allah, maka semakin besar pula ujian yang akan ditimpakanNya. Tetapi mengapa Allah menguji orang-orang yang taat dan membiarkan orang yang ingkar hidup dalam kemudahan duniawi?
”Ya Allah, Engkau Maha Pengasih. Kau panggil Boy dari kegelapan iman ke dalam terangnya Islam. Tentu atas kehendakMu jua bila saat ini dia berpaling dariMu. Engkau sang Pencipta. Engkau penguasa alam yang mampu membolak-balikkan hati manusia yang lemah. Sesungguhnya manusia dan alam diciptakan untuk tunduk kepada hukum dan ketentuan sang Pencipta, sang Dalang Utama. Dan manusia sebagai ciptaanMu yang paling sempurna mempunyai akal dan pikiran untuk memilih. Karenanya jangan Kau tutup pintu hati manusia. Berikan kesempatan sekali lagi kepada mereka untuk mencicipi hidayahMu Dan karenanya, berikanlah jalan penyelesaian yang baik bagi keluarganya.....”
Dalam keremangan malam, sayup-sayup, kudengar gadis kecilku sedang menghafal salah satu surat kegemaranku :
Alam nasyroh laka shod rok
Bukankah telah kami lapangkan dadamu?
Wa wadho’ na ’anka wizrok
Dan kami hilangkan beban yang memberatkanmu
Alladzi an qodho zhohrok
Beban yang telah menyesakkan dadamu
Warofa’ na laka dzikrok
Dan Kami tinggikan derajatmu
Fa inna ma’al ’usri yushro
Maka sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan
Inna ma’al usri yushro
Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan
Fa idza farogh ta fan shob
Jika kau telah selesai mengerjakan sesuatu, bersiaplah mengerjakan hal lain dengan sungguh-sungguh
Wa ila robbika farghob
Dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap.
Aku sudah lama kehilangan kata-kata untuk menghibur Ine. Entah apa yang akan terjadi esok hari pada perjalanan hidup mereka. Semoga keikhlasan dan ketawakalannya menghadapi cobaan ini dapat menghapus segala dosa-dosanya dan akan berbalas dengan kemudahan baginya di kemudian hari. Baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT. Amin
Lebak bulus – 28 Agustus 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar