Memang tidak mudah untuk menangkap signal kebutuhan dasar anak-anak akan perhatian orangtuanya terutama dari ibu. Kita seringkali mendengar banyak wanita karier berkata bahwa dalam mendidik anak dan memberi perhatian, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Pada kenyataannya, yang dinamakan kualitas menurut versi orangtua, lebih banyak bersifat materialistis. Misalnya saja, jalan-jalan ke Mall, untuk makan bersama atau sekedar membeli buku. Itupun, dilakukan dengan melibatkan para pengasuh anak agak orangtua terbebaskan dari kerepotan mengurus anak selama acara bersama tersebut. Jadi, dalam mengisi kualitas pertemuanpun, anak lebih banyak ditangani oleh para pengasuhnya, sementara orangtua asyik ngobrol. Hanya sesekali saja diluangkannya waktu menyapa anak. Benarkah hanya itu yang dibutuhkan anak? Bisakah “kualitas” pertemuan diterjemahkan dari sudut pandang si anak?
***
“Ma, … aku tadi jatuh di kamar mandi. Tanganku bengkak dan sakit”, begitu kata seorang gadis kecil, saat menelpon ibunya yang sedang dalam perjalanan pulang sehabis bekerja sepanjang hari.
“Tuh, kan .... pasti main air lagi”. Teringat kebiasaan si gadis yang sangat suka bermain air di kamar mandi. Bayangkan saja, 100 ml isi shampoo habis digunakan dalam waktu satu minggu saja. Begitu juga dengan shower gel. Entah bagaimana cara dia menggunakan sabun dan shampoo, yang pasti begitu dia keluar dari kamar mandi, maka harum shampoo atau sabun akan langsung menyerang penciuman kita.
”Bapak sudah pulang?”
”Sudah ..., lagi baca koran””Sudah bilang sama bapak...?”
”Sudah .....”
Tiba di rumah, seusai shalat maghrib dan makan malam, gadis kecil mendekat, memperlihatkan jari telunjuk kirinya yang bengkak dan membiru. Si ibu melihat ke arah suami yang juga ikut memperhatikan jari tangan yang bengkak itu.
”Jam berapa jatuhnya dan bagaimana?”
”Tadi siang ... kira-kira jam dua. Nggak tahu gimana jatuhnya, lupa....””Kok nggak bilang dari tadi? Kan bisa langsung pergi ke haji Naim[1], minta tolong oom atau mami[2]”
Baik anak maupun suami, diam tak berkomentar. Dalam raut wajah gadis kecil, terbayang jelas ”ketakutan”. Takut karena membayangkan rasa sakit saat dipijat. Sementara itu, sukar untuk menterjemahkan diamnya si bapak. Entah apa yang dipikirkan saat itu..... Menyesali keterlambatan si ibu pulang dari kantor? Entahlah....
Usai menelpon adik yang biasa berhubungan dengan ibu haji, si ibu menyiapkan teh manis hangat, untuk minum si gadis saat jeda di antara pijatan, maka pada jam 21.30 keluarga tersebut berangkat ke bilangan dapur susu – Lebak Bulus. Usai dipijat/urut malam itu, si gadis terpaksa diijinkan ”mengisi” pojok tempat tidur orangtuanya. Katakanlah itu sebagai kompensasi kesediaannya merasakan sakit saat dipijat tadi. Ditambah kemanjaan anak gadis yang masih berumur 8½ tahun itu dan rasa khawatir ibunya. kalau-kalau demam menyerangnya sesudah pijatan yang menyakitkan itu.
***
”Ma .... minta data passportnya ya, sekalian juga datanya bokap” message itu masuk di yahoo messenger, Jum’at siang itu.
”Kapan perlunya? Aku nggak ingat detilnya. Week end ini, aku bikin foto passportnya deh. Senin kukirim ya. Jadi, liat aja datanya disitu”.”Kalo perforation number dan registration number itu apaan sih?”,
”Maksudnya apa sih?”
”Itu pertanyaan dari formulir isian perpanjangan passport”
”Coba lihat di pinggiran passport ... ada lubang-lubang kecil yang berisi huruf dan angka biasanya sama dengan nomor passport. Pasti itu yang dimaksud. Kalau Registration number, mungkin bisa dilihat di halaman terakhir passport. Ada data pemilik di situ, termasuk nomor file. Nah nomor file itu, mungkin yang dimaksud sebagai registration number”.
”Oke deh....”
Duh .... anak ini, udah gede, soal kecil begitu aja ditanyain ke ibunya. Dia ini betul-betul duplikat bapaknya. Kalau ada masalah, nggak perduli besar atau kecil, istrinya (perempuan) juga yang harus menyelesaikan masalah. Mereka (lelaki) cuma mau tahu beresnya saja.
***Ini kejadian sekitar 5 tahun yang lalu, saat anak lelaki masih kuliah di Jakarta dan sesekali ke kampus UI Depok untuk praktikum.
”Aku sudah selesai ngajar nih ... tolong dong cari anakmu untuk jemput saya di jurusan dan langsung pulang”, begitu pesan suami melalui telpon. Kalau sudah begini, nggak ada kompromi. Si ibu mesti mencari anaknya yang entah ada di belahan kampus mana. Padahal kedua lelaki itu, masing-masing memiliki telpon genggam. Jadi mereka sebetulnya bisa langsung berkomunikasi. Tetapi kenyataannya komunikasi untuk urusan cari-mencari dan menetapkan posisi kedua orang itu di areal kampus UI Depok yang konon katanya seluas 300ha itu masih membutuhkan ”mediator”. Jadilah si ibu sibuk telpon dari yang tua, lalu disambung ke yang muda sampai akhirnya konfirmasi didapat dari keduanya, bahwa mereka sudah bertemu dan sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Kondisi yang agak mengganggu waktu dan konsentrasi kerja ini bukan satu dua kali terjadi. Sudah jadi rutinitas setiap kali mereka saling mencari.
Tidak itu saja, si suamipun terkadang menelpon istrinya, manakala dia mencari dompet, telpon atau stnk mobil yang ”ketlisut” entah dimana. Padahal, sungguh mati ... kesemuanya adalah barang-barang pribadi dan harusnya sudah menjadi SOP (standard operating procedure) pribadi yang diterapkan setiap hari saat akan meninggalkan rumah.
***Kesemuanya itu adalah sekelumit cerita yang menggambarkan hubungan/kedekatan / keterikatan antara anak (perempuan maupun lelaki) dengan ibunya dan hubungan / kedekatan /keterikatan antara suami dan istri. Dari kedua bentuk hubungan itu, terlihat kecenderungan bahwa perempuan/istri/ibu menjadi figur sentral.
Saya teringat pada obrolan dengan anak lelaki saya sekitar 10 tahun yang lalu, saat dia masih duduk di bangku SMP. Pertanyaan dilontarkan itu, sebetulnya dipicu oleh keingintahuan sekaligus membuktikan perkataan ArSa[3] bahwa lelaki, seberapapun usianya, sangat mengharapkan ibunya (perempuan) berada di rumah saat dia pulang dari manapun. Itu yang menyebabkan ArSa, saat masih duduk dibangku SMP meminta ibunya berhenti bekerja dan hanya menjadi ibu rumahtangga saja. Dia juga tidak mengijinkan ibunya aktif di Dharma Wanita di instasi tempat bapaknya ArSa bekerja sebagai pejabat tinggi negara). Padahal, saat itu, Suharto sedang dalam masa jayanya dan Ibu Tien ”mengharuskan istri akti di Dharma Wanita.
Pertanyaannya begini;
”Kalau bisa memilih ...kamu lebih suka punya ibu yang bekerja atau ibu yang ada di rumah saat kamu pulang sekolah?””Ibu yang ada di rumah!” jawabnya cepat, tanpa pikir panjang.
”Lho ... kok gitu? Kenapa? Kan enak dan bangga punya ibu yang bekerja. Apalagi bisa membelikan ini-itu buat anaknya”
”Iya juga sih .... tapi, kan lebih enak kalo pulang sekolah ada ibu yang nyambut di rumah...”
Nah lho....!!!! Kalau begitu yang ada di pikiran anak lelaki (dan pasti juga di pikiran anak perempuan), mungkinkah begitu juga yang ada di pikiran para suami?. Perempuan, apakah statusnya ibu atau istri, ternyata memiliki fungsi yang sangat sentral. Menjadi pusat roda kegiatan rumah tangga. Adakah para perempuan (ibu) menyadarinya sehingga mau mengerti bahwa kebutuhan anak bukan hanya sekedar pemenuhan materialistis, tetapi juga pemenuhan rohani berupa ”kehadiran” fisik, sentuhan/affeksi dan perhatian yang penuh tanpa mediator (pengasuh).
Mungkin ada banyak perempuan yang sadar akan hal ini, tetapi ego dan keinginan untuk ”exist”, aktualisasi diri, secara perlahan mengikis kesadaran itu. Atau minimal, membuat perempuan (ibu) serasa berada selalu di persimpangan jalan dalam menata kehidupannya. Menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita bekerja. Memilih keduanya agar berjalan seiring, seringkali memicu masalah. Apalagi bila karier (lebih tepat penghasilan) yang diperolehnya, menyumbangkan kontribusi yang cukup besar dalam kehidupan dan kemapanan rumahtangganya.
Bila anak dengan sangat terpaksa menerima kondisi bahwa ibunya bekerja dan hanya memiliki waktu yang sempit untuknya, maka lain halnya dengan suami. Defisit perhatian, sentuhan dan afeksi, seringkali dicarinya di luar rumah dan seringkali mengakibatkan perselingkuhan. Padahal, kalau saja suami (lelaki) mau mengerti dan menyadari, istripun (perempuan) juga membutuhkan perhatian, sentuhan dan afeksi. Lebih jauh dari itu, perempuan, sesuai dengan kodratnya, butuh perlindungan dan pengayoman dari suami. Kelihatannya, membangun komunikasi, menterjemahkan kebutuhan ”partner” (suami-istri atau orangtua-anak) dari sudut pandang mereka untuk menumbuhkan rasa saling mengerti, saling percaya, dan bukan menterjemahkan keinginan ”partner” sesuai interpretasi kita, bukanlah hal yang mudah. Dan kita seringkali terjebak oleh segala theory yang diperoleh dari bahan bacaan sehingga seolah-olah sudah mengerti kebutuhan partner kita, padahal sesungguhnya kita hanya mengerti kebutuhan pribadi saja.
Duh berat juga ya... Tenyata menuliskannya, juga membuat saya harus mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan buat keluarga, terutama buat anak. Karena keharmonisan hubungan pasangan suami istri dan hubungan antara orangtua dengan anak, akan menjadi cermin bagi anak-anak saat mereka kelak meniti rumah tangga..
[1] Haji Naim, di Cilandak terkenal sebagai “dukun pijat” aliran Cimande.
[2] Anak-anak memanggil neneknya dengan sebutan mami.
[3] ArSa, adalah singkatan nama teman lama saya, dia anak tunggal dan lulusan Planologi ITB.
kadang2 klise deh dengar para wanita karir selalu bilang, kualitas lebih penting dari kuantitas...padahal anak2 itu tidak hanya butuh pertemuan yg berkualitas tapi juga sering (kuantitasnya)...
BalasHapussaya pernah tanya ke anak sulung saya "Uni, klo ibu kerja boleh nggak? Trus dijawabnya boleh tapi klo uni pulang sekolah ibu harus ada di rumah ya". memang betul deh, rasanya hati ini lebih tentram klo yg nyambut kita pulang sekolah adalah ibu, walaupun saya dulu nggak ada yg nyambut waktu pulang karena ibu saya pulangnya sama dgn saya karena beliau bu guru.
heran juga ya Mbak Lina, hampir semua teman saya yang laki-laki cenderung maunya pas pulang disambut istri yang rapi jali, rumah beres, anak manis ......halah.....padahal realitanya perempuan juga perlu berkarir kan.....dengan berbagai reasons....kalau semua perempuan selesai kuliah, merit terus jadi full time ibu rt semua...kayak apa dunia ya? Apalagi tantangan kehidupan yang semakin menuntut double income di dalam keluarga untuk mendapatkan kehidupan yang layak.....sigh......bahagianya angkatan omaopa dong ya....yang tak terlalu banyak tuntutan untuk siapapun, just living on.....sekarang perempuan semua mesti jadi super woman dan perempuan perkasa yang juga keibuan....
BalasHapusisi blog mbak Lina nih rata2 berbobot punya, bahasanya pun enak dicerna. Saya juga pernah dengar tentang penelitian seorang teman, guru SD di Yogyakarta yang sehari2nya dia memegang kelas anak2 bermasalah dan rata2 adalah anak2 yang ditinggalkan oleh orang tuanya terutama ibunya untuk mengejar karier dan ambisi orang tuanya, sehingga dia menyarankan bahwa seorang ibu setinggi apapun pendidikannya alangkah baiknya bila ia berada di rumah dalam posisi utamanya sebagai ibu, istri dan seorang pendidik. Saya ini masih bau kencur belum banyak ilmunya, ga ada seujung kuku sama Mbak Lina yang sudah sarat pengalaman. Terima kasih banyak atas artikelnya dan kesediaannya untuk berbagi ilmu.
BalasHapusIdealnya memang begitu. Sayangnya, jarang perempuan yang ikhlas menerima kondisi itu. Menjadi "hanya sebagai IBU Rumah Tangga" sepertinya kurang bergengsi. Jadi banyak alasan diajukan oleh perempuan. Di samping itu, gaya hidup materialistis mengalahkan dan mengikis kepekaan naluri keibuan. Dan banyak lagi alasan yang dikemukakan. Saya cuma ingin supaya para ibu tidak menyesali keputusan yang diambilnya, apakah sebagai ibu rumah tangga saja atau wanita karier. Btw, terima kasih atas pujiannya.
BalasHapusada sisi positif punya ibu bekerja, si anak jadi lebih mandiri dan bisa apa-apa sendiri. kebetulan dulu ibu saya bekerja dan dia lebih memikirkan pekerjaannya sehingga mempercayakan anak2xnya ke pengasuh/pembantu. dampaknya, saya merasa - dalam banyak hal - saya bisa melakukan segalanya sendiri. Tapi anehnya saat sekarang ibu saya pensiun, saya kok merasa lebih nyaman melakukan banyak hal bersamanya. apakah ini bentuk kompensasi alam bawah sadar saya? atau mau tahu beres saja? entahlah :P
BalasHapusada sisi positif punya ibu bekerja, si anak jadi lebih mandiri dan bisa apa-apa sendiri. kebetulan dulu ibu saya bekerja dan dia lebih memikirkan pekerjaannya sehingga mempercayakan anak2xnya ke pengasuh/pembantu. dampaknya, saya merasa - dalam banyak hal - saya bisa melakukan segalanya sendiri. Tapi anehnya saat sekarang ibu saya pensiun, saya kok merasa lebih nyaman melakukan banyak hal bersamanya. apakah ini bentuk kompensasi alam bawah sadar saya? atau mau tahu beres saja? entahlah :P
BalasHapusbisa jadi keduanya bener.... Kompensasi kurang perhatian saat kecil dan mau enaknya aja... hehehe....
BalasHapus