Rabu, 19 Desember 2007

Pendidikan untuk apa dan untuk siapa?

“Bu …. Kenapa saya nggak boleh ikut ibu? Saya kan punya hak untuk memilih! Apa hak ibu melarang saya?”

Saya merasa sangat kaget mendengar suara itu. Suara anak perempuan berusia sekitar 18 tahun yang sama sekali belum pernah saya kenal. Anak itu baru tamat sekolah Aliyah di kampungnya, Cihampelas – Cililin kabupaten Bandung. Saya hanya tahu namanya. Ende ... begitu nama panggilan di rumah. Dia keponakannya Dedeh, pembantu rumah tangga kami.

Bapaknya, kakak Dedeh. Lelaki tertua di keluarga yang berprofesi sebagai tukang dagang keliling. Dari mulai menjual kasur, telur bebek dan kerupuk, semua sudah dijalaninya. Meninggalkan kampungnya di Cililin selama satu atau dua minggu menyusuri berbagai kota kecamatan di sekitar Bandung bahkan hingga Karawang. Namun hasil perjalanan jauhnya tidak seberapa. Tidak cukup untuk menghidupi empat orang anaknya. Apalagi untuk menyekolahkannya. Ende mungkin akan jadi satu-satunya anak yang sempat mengenyam pendidikan hingga Aliyah – setara SMA. Beruntung karena ada yang membiayai sekolahnya.

Kehidupan rumah tangga orangtuanya, khas kehidupan keluarga petani atau pedagang kecil di pelosok Indonesia. Masyarakat sekitarnya, tidak memiliki buying power yang cukup kuat untuk menggerakkan roda ekonomi. Akhirnya masyarakat hanya dihadapkan pada kesukaran kehidupan yang mengakibatkan kemiskinan, tidak memiliki akses yang cukup kepada pendidikan dan kesehatan. Namun, mereka produktif menghasilkan anak.

Ibunya sudah seringkali mengancam meninggalkan si bapak untuk pergi mengais rejeki di negeri orang. Menjadi TKW di timur tengah sebagaimana sebagian penduduk kampungnya. Bahkan suatu saat si ibu berhasil memaksa si bapak meminjam uang kepada Dedeh sebanyak 2 juta rupiah untuk biaya ”calo TKW”. Namun begitu uang berada di tangan, si ibu merasa gamang dan membatalkan niatnya. Uang pinjaman tidak dikembalikan, malah raib digunakan membeli berbagai kebutuhan rumah tangga. Hingga kini, entah bagaimana nasib hutangnya tersebut. Saya sudah mengingatkan Dedeh sejak awal :
”Saat kamu ulurkan uang kepada keluargamu, ikhlaskan bahwa uang itu akan hilang. Kalau keluargamu sanggup melunasinya, maka itu adalah rejeki Allah SWT. Dengan demikian kamu tidak akan merasa sakit hati bila keluargamu tidak mengembalikan uang itu.”

Beberapa waktu yang lalu, Dedeh bicara bahwa entah apa penyebabnya, Ende ingin ke Jakarta, ikut di rumah kami. Kalau mungkin bekerja di rumah walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga. Kepada Dedeh, saya sampaikan keberatan. Ende sudah sekolah hingga di Aliyah, bukan untuk menjadi pembantu rumah tangga. Dia diharapkan menjadi kebanggaan keluarganya. Mungkin penolakan itu sudah disampaikan Dedeh kepadanya. Itu sebabnya dia meluapkan kemarahannya saat tahu saya sendiri yang mengangkat telponnya di suatu sore.

”Kamu memang punya hak memilih tapi pilihanmu tidak selamanya benar. Pilihan kamu untuk menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta setelah menyelesaikan Aliyah, menurut saya bukan pilihan yang tepat.”
”Kenapa tidak? Apa ibu lupa kalau bi Dedeh juga tamatan SMA di Cililin? Tapi kenapa dia boleh kerja di tempat ibu sedangkan saya tidak boleh?”

Duh ... anak sekarang!!! Pinter ngomong... nggak ada basa-basinya sama orang tua. Apalagi pada saya, orang yang sebenarnya tidak dikenalnya kecuali status saya sebagai majikan bibinya.

”Kondisinya beda! Bi Dedeh janda. Punya tanggungan anak yang harus dibiayai sekolah. Kalau dia kerja di pabrik, gajinya belum tentu cukup untuk biaya hidupnya. Coba hitung... berapa biaya kontrakan+listrik, biaya makannya, transport. Belum lagi biaya sekolah Ayuni. Gaji di pabrik nggak akan cukup. Biar saja dia kerja jadi pembantu. Paling tidak, dia nggak mesti keluar uang untuk tempat tinggal, makan, transport. Sekolah dan makanan Ayuni juga terjamin. Sebagian besar gajinya masih bisa ditabung. Hal yang tidak mungkin terjadi kalau dia kerja di pabrik. Sementara kamu masih muda ...., Belum apa – apa, kok sudah putus asa?!”
”Nggak ada kerja di kampung ... emak marah-marah terus setiap hari...”
”Coba kamu tulis surat ke kakak kamu yang baru nikah itu... Siapa tahu dia atau suaminya bisa nolong kamu cari kerja di Batam sana. Sekalian cari pengalaman.”
”Ya sudah.... kalau ibu nggak mau nolong saya....” sahutnya ketus. Jelas terdengar nada kesal dalam suaranya.
*****

Nasib Ende, mungkin sama dengan nasib beribu-ribu bahkan berjuta-juta generasi muda Indonesia yang berada di pedesaan. Usai menamatkan pendidikan apakah itu di tingkat SLTP ataupun SLTA, mereka tidak tahu lagi akan kemana nasib membawa. Pendidikan mereka yang relatif tinggi untuk ukuran desa dan kemampuan ekonomi orangtuanya menjadi beban tambahan bagi mereka.

Pendidikan di pelosok desa di Indonesia sekarang tidak ubahnya dengan pendidikan di kota besar. Hanya ada sekolah umum yang kurang membekali keterampilan kerja. Seolah mereka semua disiapkan untuk menjadi sarjana. Tidak ada lagi sekolah-sekolah keterampilan semacam SKKP/SKKA[1], ST/STM[2], SGO[3], SPG[4], PGA[5], SGTK[6], SPMA[7] dan lain-lain. Semua sudah seragam menjadi SMP/SMA atau SMK yang pamornya kurang menarik dibandingkan dulu. Padahal tidak semua anak memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Kalaupun ada, kondisi ekonomi orangtuanya tidak cukup mampu untuk mendukungnya masuk pendidikan di universitas yang relatif cukup panjang.

Di masa awal orde baru, menjadi siswa sekolah kejuruan sama gengsinya dengan menjadi siswa sekolah umum. Sekolah-sekolah kejuruan seperti yang disebutkan di atas banyak bertebaran. Di kota–kota kabupaten Tatar Parahyangan yang subur selalu ditemukan SPMA untuk menyiapkan anak-anak muda untuk terjun di dunia pertanian.

Namun jaman sudah berganti, sekarang anak muda ”dituntut” untuk menjadi sarjana. Seolah–olah hanya gelar sarjanalah yang mampu mengubah nasib menjadi lebih baik. Bukan spirit untuk belajar kepada kearifan alam dan pengembangan dirinya. Akibatnya, anak-anak lebih suka masuk ke sekolah umum SMP/SMA agar bisa meneruskan pendidikan ke jenjang universitas, karena lulusan sekolah kejuruan mempunyai kewajiban bekerja terlebih dulu selama minimal 2 tahun sebelum masuk universitas.

Kondisi ini diperparah dengan daya tampung universitas negeri/swasta yang berkualitas yang sangat terbatas dan mahal pula biaya pendidikannya. Akhirnya hanya Universitas - universitas ”cap dua kendi”[8] atau universitas ruko yang mampu dimasuki. Kualitas.... itu soal lain. Yang penting.... ada gelar sarjana di tangan.

Gelar sarjana dari Universitas cap dua kendi, Universitas Ruko ataupun hanya sekedar ijasah SMA nyatanya hanya menambah jumlah pengangguran berpendidikan. Anak-anak desa yang hanya mampu menamatkan SMA sangat merasa malu terjun ke sawah karena merasa sudah ”berpendidikan”. Apalagi yang sempat mengenyam jenjang pendidikan universitas. Bukan saja sekedar malu akan sindiran tetangga tetapi juga dibebani oleh ”kewajiban” dari orangtua untuk memperoleh kerja dan penghasilan yang mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga.

Pendidikan tinggi mencerabut mereka dari akar lingkungannya. Sehingga mereka merasa tidak ada lagi tempat tinggal di desa. Mereka seolah-oleh diwajibkan merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan sesuai dengan ijasah yang dimilikinya. Sementara itu, kotapun bukanlah tempat yang ramah bagi orang–orang yang hanya memiliki kemampuan atau semangat pas–pasan. Ada anak–anak kota yang memiliki kemampuan jauh lebih baik dari kemampuan sebagian besar anak desa. Tentu tak mudah untuk dikalahkan dalam kancah persaingan mencari peluang kerja.

Tidak banyak anak desa yang serba kekurangan memiliki semangat juang yang tinggi seperti Andrea Hirata[9]. Juga tidak banyak guru yang mampu membina anak-anak yang serba kekurangan itu seperti ibu guru Muslimah, guru Andrea semasa duduk di bangku SD Muhammadiyah - Belitong. Karena mereka memang tidak dididik tentang spirit untuk mengenali kemampuan diri dan lingkungannya untuk kemudian mengembangkannya. Tetapi mereka hanya menerima pendidikan yang disamakan dengan kebutuhan pendidikan anak-anak kota.

Jadi... untuk siapa dan bagaimana pendidikan itu sebenarnya?




[1] Sekolah Kesejahteraan Keluarga tingkat Pertama/ Sekolah Kesejahteraan Keluarga tingkat Atas
[2] Sekolah Teknik/Sekolah Teknik Menengah
[3] Sekolah Guru Olahraga
[4] Sekolah Pendidikan Guru
[5] Pendidikan Guru Agama
[6] Sekolah Guru Taman Kanak-kanak
[7] Sekolah Pertanian Menengah Atas
[8] Ini istilah yang selalu digunakan Budi – guru bahasa Perancis di CCF untuk menyatakan sekolah yang tidak berkualitas.
[9] Baca buku Laskar Pelangi – Sang Pemimpi – Edensor.  

12 komentar:

  1. apa kabar mbak Lina?
    kami udah di Palembang, kapan main ke Palembang?

    itulah yg saya jumpai di sekolah anak2 saya sejak 6 bulan di tanah air, guru mrk hanya mengajar saja tapi tidak mendidik sama sekali, anak2 didik hanya disuruh mencatat dari buku paket yg telah mrk miliki, ironis banget mmg. untuk sebagian ortu yg tdk mampu dan tdk terpelajar mrk sudah pasti tidak akan memberi pelajaran sendiri di rumah setelah pulang sekolah, mereka menyerahkan 100% pengajaran anak2 mereka pd sekolah yg notabene tidak memberikan apa2 ke anak didiknya. termasuk budi pekerti, wong gurunya tiap hari bicaranya tidak santun dan lebih sering marah2nya.

    BalasHapus
  2. prihatin ya... semoga kedepan nanti jauh lebih baik...amin.

    BalasHapus
  3. mbak Lina, boleh saya kopi artikel ini ke milis saya? saya punya teman2 yang ingin berbuat sesuatu utk pendidikan di Indonesia walopun cuman sekedar ide2 sekarang ini. mohon dikasih ijin ya.. saya akan tulis ini tulisan siapa dan kasih link ke multiply mbak. Kalo boleh.

    BalasHapus
  4. beneran itu si ende ngomong gitu bide?yah...emang mendingan gak ditampung kali ya, belom kenal aja bisa ngomong gitu, apalagi nanti klo udah kenal, bisa makin byk lagi tuntutannya kali ya....

    BalasHapus
  5. iya, bener...
    Anak jaman sekarang, kan kalo ngomong sama orang tua suka lupa sopan santun...
    Pengaruh globalisasi...????

    BalasHapus
  6. Dalam kondisi yang serba materialistis, semuanya diukur dari materi sehingga guru lupa pada fungsinya sebagai pendidik, bukan hanya pengajar,

    BalasHapus
  7. Saya punya beberapa gambar dan salah satu gambarnya menceritakan seorang anak yang sedang melemparkan bintang laut dari ribuan yang terdampar di tepi pantai. Seseorang menegurnya, "apa yang kamu lakukan ?"
    A : " memberi kesempatan bintang laut hidup normal"
    B: " wah usaha kamu tidak bisa maksimal, masih ribuan yang terdampar dan butuh pertolongan, dan kamu seorang diri tidak akan sanggup"
    A: " setidaknya saya sudah melakukan satu, ketimbang anda langsung menyerah "

    Have a nice day uni ;)

    BalasHapus
  8. Bila ada satu Lina yang bisa mengangkat satu Ende, maka kalu ada sejuta Lina akan ada sejuta Ende yang terangkat. Sayangnya kenyataannya tidak sesederhana hitungan matematis ini

    BalasHapus
  9. Jawaban yang sangat optimis.
    Semoga makin banyak orang Indonesia yang berpikir positif seperti ini

    BalasHapus
  10. Saya percaya ada banyak orang yang punya perhatian besar bagi orang yang kurang mampu, cuma nggak "ngumbar tulisan" seperti saya... gitu, hehehe

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...