“Kami bagai anak ayam kehilangan induk. Sejak pak Daniel keluar, tidak ada lagi yang mengayomi, mengarahkan pekerjaan dan terlebih lagi memecahkan masalah yang kami hadapi di lapangan. Proyek ini tidak dikelola dengan sungguh-sungguh. Setiap keputusan bisa berubah seketika, seenaknya. Tidak ada yang bisa djadikan pegangan”
Kalimat panjang itu begitu saja keluar dari mulutnya saat menemani saya makan siang yang sudah sangat terlambat, di kantor.
“Ada ibu yang membantu. Tentu beliau bisa diajak diskusi mengenai berbagai masalah lapangan”
“Mestinya begitu. Tapi pada kenyataannya, beliau selalu berusaha menghindar dari tanggung jawab” sergahnya sinis.
“Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Jangan selalu melihat dari sisi negatif terus. Kalau beliau kamu anggap selalu menghindar dari tanggung jawab. Kenapa tidak kamu ambil alih tanggung jawab itu? Bukankah jabatanmu memungkinkan untuk itu?”, balas saya.
“Bukankah, sudah saya katakan bahwa saya tidak sanggup? Kondisi lapangan sangat tidak kondusif. Mbak tentu ingat peristiwa pembebasan tanah itu”.
“Tidak sanggup, atau tidak mau? Jangan mencari kambing hitam. Pembebasan tanah itu bagi saya sudah selesai. Tanah itu bahkan sekarang sudah diolah dan akan segera masuk pasar”.
“Tapi, saya tidak bisa melupakannya”
“Kamu ini gimana sih? Wewenang ada pada kamu. Pemegang saham memuji kecerdasan kamu. Pemegang saham sudah memberikan kepercayaan untuk mengelola proyek, tapi kamu selalu berdalih macam-macam. Alih–alih memanfaatkan dengan baik kesempatan itu, kamu malah merusak dengan bayang-bayang masa lalu. Nggak salah kalau direksi menilai kamu seperti kanak-kanak!. Kamu sadar, nggak sih kalau kamu akan kehilangan banyak kesempatan karenanya!”
“Saya usul, gimana kalau mbak masuk ke perusahaan lagi”.
”Untuk apa...?”
”Supaya kami punya tempat untuk berbagi, bertukar pikiran dan banyak hal lagi...”
“Itu bisa dilakukan kapan saja. Tinggal telpon... Tidak harus dengan cara kembali masuk ke proyek. Balik lagi…..? Gila aja….! Itu namanya kemunduran buat perusahaan. Urusan saya sekarang sudah di luar property. Saya menangani hal yang baru. Saya berada di lingkungan baru, berinteraksi dengan orang-orang baru. Ini sangat menyenangkan walaupun pusing karena harus banyak belajar hal baru. Jadi tidak ada alasan yang valid untuk kembali lagi”
“Tapi, tenaga dan pikiran mbak masih banyak manfaatnya di proyek”.
“Sekarang, secara tidak langsung, saya masih terlibat, kok. Walau tidak seintens dulu”.
“Tapi, kami masih butuh orang lain di lapangan. Minimal bisa jadi penyeimbang”.
“Bisa orang lain …. Atau bagaimana dengan kamu sendiri? Kalau saya masuk lagi, itu namanya menutup kesempatan bagi yang lain untuk maju. Harusnya ada penyegaran. Setiap waktu, ada pelakunya sendiri. Jadi ada pergerakan sesuai dengan waktunya. Orang-orang muda sekarang jauh lebih pintar dan agresif. Mereka penuh dengan ide-ide segar dan kreatif. Itu yang harus dikembangkan. Bukan malah menempatkan orang-orang tua yang sudah bulukan dan karatan. Nggak akan maju, kita!”
“Tapi … pengalamannya belum cukup…!”
“Pengalaman tidak akan pernah kita peroleh kalau tidak ada orang yang mau memberikan kesempatan kepada kita. Nah, kamu punya kesempatan itu. Makanya, ambil dong kesempatan itu! Kamu masih muda … kalau tidak mengambil dan memanfaatkan dengan baik kesempatan itu, kamu akan rugi besar kelak! Nanti saat kamu sadar, sudah terlambat. Kamu nggak jadi apa-apa karena ada banyak kesempatan yang dibiarkan tersia-sia. Sementara untuk [pindah kerja di tempat lain, kamu akan kalah bersaing dengan orang muda, karena track record kamu tidak menunjukkan kemajuan. Sudahlah.... jangan sekali-kali meminta orang lain untuk memegang suatu jabatan. Raih kesempatan itu. Untuk kemajuan semua dan terutama untuk dirimu sendiri!”
*****
Dialog di atas cuma sekelumit obrolan di waktu makan siang. Obrolan omong kosong atau serius, tergantung dari sudut pandang setiap orang. Soal sumber daya manusia selalu asyik dibicarakan. Apalagi kalau sudah urusan untuk “menempatkan dan memberi kepercayaan” kepada seseorang pada suatu posisi.
Bagi saya, memanfaatkan kesempatan dan sekaligus memberikan kesempatan bagi orang lain untuk meraih posisi lebih tinggi agar mendapat pengalaman baru, merupakan dua hal yang saling terkait. Kita selalu “was-was” kala harus melepaskan jabatan untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang lebih muda (atau subordinate) meraih posisi lebih tinggi. Apalagi kalau itu berarti mengambil alih jabatan kita. Alasannya klasik.… Belum berpengalaman.
Itu sebabnya, kalau kita melihat iklan lowongan kerja, biasanya ditulis persyaratan … Pengalaman sekian tahun, untuk jabatan yang sama dst … Jarang ada pemberi kerja yang membuka lowongan bagi orang yang tidak berpengalaman. Kalau begitu terus …. Bagaimana kita bisa memperoleh kesempatan untuk memiliki pengalaman?
Tidak itu saja … saat ada staff yang mengundurkan diri, selalu ada usaha untuk mempertahankannya terutama kalau staff tersebut adalah orang yang “pandai”. Padahal, itulah hukum alam. Orang yang pandai akan selalu mencari kesempatan untuk memperluas dan memperkaya kemampuannya. Dia tidak akan pernah merasa betah di suatu tempat, kalau keinginan untuk memperluas dan memperkaya kemampuan tidak terpenuhi.
Di sisi lain, keluarnya seorang staff mengharuskan perusahaan untuk mencari staff baru. Jadi akan ada orang baru yang lebih segar. Ada perputaran ada pergerakan dari kondisi yang statis. Diharapkan, orang baru yang lebih muda dan lebih pandai bisa membawa angin segar di perusahaan. Ada ide-ide dan kreatifitas baru dalam pekerjaan. Orang baru juga diharapkan memacu semangat staff lama yang sudah loyo karena rutinitas untuk bangkit kembali dan “bersaing” secara sehat untuk kembali meraih prestasi.
Sayangnya, jarang ada orang yang dengan senang hati “melepaskan” jabatan untuk memberikan kesempatan kepada anak muda. Kalaupun ada pergantian, maka para pengganti selalu diambil dari “kalangan sendiri” yang memenuhi kriteria “berpengalaman”. Bukan diambil dari kalangan orang-orang muda yang masih penuh vitalitas. Dua-duanya punya segudang alasan. Yang “tua” berkata ….”Reagan aja, jadi presiden pada umur 70an. Tua kan bukan berarti tidak mampu berprestasi”. Sementara yang muda merasa “tidak enak hati” karena “merasa belum berpengalaman”. Atau walaupun di dalam hati merasa mampu dan mau, tetapi malu-malu kucing, nggak enak hati kepada seniornya. Jadi mesti didorong-dorong. Jadi... yang senior harusnya sadar. Sudah waktunya memberi kesempatan pada orang muda agar kaderisasi berjalan baik.
Masalah pergantian orang pada suatu jabatan/posisi, bukan pada usia atau pengalaman. Tetapi yang terpenting adalah semangat untuk memberikan kesempatan kepada orang muda. Semangat untuk melakukan kaderisasi yang terarah. Jangan sampai seperti yang terjadi di Indonesia ini. Lihatlah …. Orde telah berubah. Dari Orde Baru menjadi Reformasi. Tapi tengoklah …. Sebagian besar politikus elite yang menguasai negara ini masih “muka lama”. Tidak banyak muka baru yang menonjol. Padahal hampir 10 tahun reformasi berjalan. Mahasiswa pelaku demonstrasi yang mampu menjatuhkan Suharto di tahun 1998 yang lalu, tentu sudah menjadi sarjana. Mereka sekarang, minimal, sudah bekerja selama lima hingga 9 tahun. Kalau di perusahaan, mereka sudah masuk pada golongan staff senior. Beberapa di antaranya malah sudah menjadi anggota DPR, tapi kiprah mereka tidaklah segarang saat tahun 1998. Entah karena memang tidak diberi kesempatan oleh senior ..., karena larut dengan ”permainan gaya lama”. Berbagai alasan bisa dikemukakan.
Entah salah siapa sehingga kondisi inilah yang sebenarnya terjadi di banyak perusahaan atau organisasi. Kaderisasi berjalan mandek. Entah karena orangtua enggan melepaskan kekuasaannya karena konon kekuasaan (power) itu bagi segelintir orang, sangat mengasyikkan. Atau karena anak muda “malu-malu” atau memang tidak diberi kesempatan karena angkatan tua enggan mundur.
Atau apakah generasi tua memang tidak mampu atau lebih tepat tidak mau melakukan kaderisasi. Atau … apa karena orang-orang muda tidak mampu meraih prestasi yang menjadikannya dipercaya orang tua. Padahal… sungguh mati, saya percaya sekali bahwa anak-anak muda Indonesia saat ini jauh lebih pandai dari generasi sebelumnya. Mungkin para senior yang harus mengubah paradigmanya. Mengantar dan memberikan kesempatan kepada para yunior untuk maju serta melihat mereka sukses adalah kesuksesan dari kita semua.
Lebak bulus 16 desember 2007 jam 20.45
Wah Mme nempati posisi baru? Traktir makan yach... ^_^
BalasHapusKlo si teman tadi gak mau posisinya yg penuh tantangan tadi, kasih ke gw ajah deh... he he
Sayang bukan bidangku ^_^
hehehe.... gak persis begitu sebetulnya. ditambahin kerjaan, iya. Ini kan cuma cerita... antara kenyataan ditambah-tambah imaginasi dikit, gitulah....
BalasHapusimaginasi menghasilkan kreasi, asal mulanya semua maha karya ^_^
BalasHapusKeep on good work, gambatte!!