“Bu …., beli tape uli ya… tinggal sedikit lagi,” begitu tawarannya, saat saya menuruni tangga sebuah pusat perbelanjaan di bilangan jalan RS Fatmawati.
Seorang lelaki berusia sekitar 30 tahun duduk berjongkok, tepat di muka tangga menuju halaman parkir. Di hadapannya ada sepasang pikulan berisi tape ketan hitam berbungkus plastic, beberapa potong uli dalam bungkus daun pisang dan beberapa bungkus kue semprong. Kue tradisional betawi yang sudah sangat jarang dijual orang. Di sampingnya seorang perempuan menjajakan rempeyek.
“Berapa harganya?”
“Dua ribu sepasang bu ….”
“Saya ambil 5 bungkus” sahut saya sambil menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah, sisa belanja tadi. Lelaki itu mengambil uli dan tape ketan dan memasukkannya ke dalam kantung kresek.
“Ibu nggak mau kue semprongnya, sekalian? Tinggal satu. Enak lho bu … !” katanya berpromosi.
“Berapa sih harganya?”, tanya saya sambil menimbang-nimbang apakah akan membeli juga kue semprongnya itu. Maklum, saya dan suami sudah membatasi diri dari mengkonsumsi camilan.
“Lima ribu rupiah, bu. Ambil ya…”, rayunya.
“Ya, bolehlah….”
Si tukang langsung memasukkan kue semprong ke kantung kresek.
“Bu, sekalian habiskan tape dan ulinya ya bu …. Saya kasi semua deh… ada tiga bungkus tape dan ulinya empat. Lima ribu deh tambahnya bu… Jadi uangnya pas…!”
Duh …. Banyak banget…..!!! Siapa yang mau makan? Sungguh mati, sesungguhnya saya tidak berminat membeli makanan-makanan itu. Hari sudah cukup larut. Kami sudah makan malam sebelum keluar rumah. Lagipula, jujur saja, rasa tape ketannya kurang enak. Agak asam. Saya sudah pernah membelinya. Memang, walau tidak semua, jangan berharap banyak akan kualitas dari makanan yang berharga relatif murah. Apalagi dijajakan di pinggir jalan.
Agak lama saya berpikir dan menimbang-nimbang, sambil memperhatikan si tukang. Siapa yang akan memakan kue-kue itu? Wajahnya memelas …. Menunggu jawaban saya, agar saya membeli habis seluruh sisa dagangannya.
“Ya deh ….”, sahut saya. Masa bodoh…! Biar bagaimana nanti saja, siapa yang akan melalap habis makanan ini. Sontak, wajah memelas di hadapan saya berubah menjadi berseri-seri. Dengan sigap dia mengosongkan pikulan dari sisa dagangannya. Ada rasa lega terukir di wajah lelahnya. Seolah mengatakan …. Usai sudah perjuangan hari ini ……!!!
Sambil menunggu suami menjemput dari tempat parkir, saya memperhatikannya membereskan barang-barangnya.
“Tinggalnya dimana?”
“Cengkareng, bu….”
“Ha….? Nggak salah tuh ……. Jauh banget?”
“Yah …. namanya cari makan, bu. Biar jauh, ya mesti dijalanin…!”
“Sama anak-istri…?”
“Nggak bu …. Saya ngontrak sama temen-temen. Anak-istri di kampung. Mana sanggup hidup di Jakarta?”.
“Masak sendiri, di rumah kontrakan?”
“Nggak, bu …. Nggak ada tempat lagi. Lagi juga takut kebakaran”
“Terus, makannya dimana?”. Pertanyaan yang sangat bodoh terlontar.
“Di warung … beli indomie”
“Masa indomie terus….?”
“Ya gimana bu… Kalo gak gitu, ntar gak bisa ngirim ke kampong. Tapi kalo lagi untung banyak sih, kadang-kadang beli nasi juga di warung tegal”
Duh ……………. Betapa beratnya hidup ini. Saya baru sadar … itu sebabnya dia begitu bersemangat “merayu” saya menghabiskan dagangannya. Kalaupun saya “rugi” karena dua puluh ribu rupiah yang saya belanjakan untuk dagangannya, yang kurang memenuhi selera, itu relatif tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kegembiraannya telah berhasil menjual seluruh dagangannya di hari itu. Masih terbayang wajahnya yang mendadak ceria saat dagangannya habis. Berarti pada jam 20 malam itu, dia sudah bisa menempuh perjalanan pulang ke rumah kontrakannya di bilangan Cengkareng untuk melepas lelah. Bahkan, saat saya tiba di rumah dan sudah beristirahat di tempat tidur, dia masih dalam perjalanan pulang. Walaupun sudah larut, jarak Cipete – Cengkareng, minimal harus ditempuh dalam waktu 2 jam.
Tape ketan itu, kalaupun kurang enak, masih bisa diolah lagi. Dihaluskan dan dicampur agar-agar dan santan. Jadilah pudding yang cukup sedap. Ulinya digoreng sebentar dan dibuatkan serundeng manis-pedas buat cemilan/sarapan pagi. Nggak ada salahnya berbagi rejeki dan kebahagiaan dengan orang lain.
Lebak bulus 16 desember 2007 jam 22.30
bener banget mba.....paling engga kan si mas ini masih berusaha cari yg halal dan mau keluar tenaga...
BalasHapusmudah2an kebaikan mba Lina dibales yg berlimpahlimpah,kan menggembirakan orang miskin itu banyak pahalanya ya mba..amin..
Insya Allah ... amin....
BalasHapusKadang, kita suka lupa bahwa di sekitar kita banyak orang yang kurang beruntung
Iya mbak, aku juga suka kasian liat penjual seperti ini.
BalasHapusBtw, ini lokasi kejadiannya di Dbest Fatmawati ya???? Hehehhehe
Betul... kalo kamu tahu, pasti sering liat orang ini deh.... di dekat tangga masuk pintu samping depan toko kain
BalasHapusIya. Aku kan kalo masup ke Dbest sering dari sisi seblah situ.Hehhehehe. Kasian emang tiap liat dia.
BalasHapus