Senin, 07 Januari 2008

Jeritan dari Yogyakarta.

Sebetulnya, sama sekali tidak ada niat untuk menyelidiki kondisi para karyawan hotel tempat kami menginap selama liburan akhir tahun 2007 lalu di Yogyakarta. Cerita itu mengalir begitu saja, terutama saat para karyawan tersebut mengetahui bahwa saya kenal dekat dengan pemilik hotel. Bahkan satu di antaranya masih ingat bahwa saya pernah berkunjung ke hotel bersama anak sulung pemilik hotel, hampir sepuluh tahun yang lalu.

Semuanya berawal dari rengekan anak gadis saya untuk berlibur melihat candi Borobudur dan Yogyakarta atau Solo menjadi kota tujuan untuk menginap. Pilihan jatuh ke Yogya, karena buat suami, Yogya lebih familiar. Anakpun memilih Yogya karena dia kenal nama kota tersebut melalui alunan suara Katon Bagaskara.

Tidak ada yang salah dari pilihan mereka. Yogya memang sudah dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata di Indonesia. Apalagi, ada 2 orang teman kantor yang berasal dari Yogya Kebetulan, keluarga keduanya memiliki losmen yang disewakan kepada turis. Bahkan kantor saya memiliki proyek di kota ini. Apalagi, di belakang proyek, ada rumah besar yang konon kamar-kamarnya (lengkap dengan kamar mandi di dalamnya) disewakan dengan tarif hanya seratus ribu per malam. Jadi klop-lah pilihan untuk menjadikan Yogya sebagai basis selama liburan akhir tahun itu.

Saat memilih penginapan, ketiga alternatif itu menjadi bahan pertimbangan. Kami memang ingin agar perjalanan ini tidak menghabiskan dana yang terlalu besar. Apalagi, ternyata beberapa hari menjelang hari H, adik ipar dari Bandung menanyakan kemungkinannya untuk ikut serta berlibur ke Yogya. Di samping itu ada 2 orang keponakan, juga dari Bandung yang ingin turut. Alih-alih hanya 3 orang yang berwisata, perjalanan kami akhirnya diikuti oleh 5 orang dewasa, 2 remaja dan 2 anak. Pilihan menginap di rumah belakang proyek terpaksa di dropped, karena suami ingin menginap di tengah kota. Sangat spesifik disebutkan….”tidak jauh dari Malioboro”.

Kakak iparnya Bayu, memiliki losmen di daerah Sosrowijayan di wilayah Malioboro juga. Problemnya losmen tersebut terletak sejauh + 50 meter masuk di gang dan tidak memiliki parkir sehingga penghuni harus menitipkan mobil di sepanjang jalan Sosrowijayan. Sedangkan Agung tidak sempat dihubungi secara serius karena mobile phone nya tidak pernah diangkat. Akhirnya pilihan jatuh kepada hotel D yang saya sebutkan di atas. Lokasinya juga tidak jauh dari Malioboro. Di salah satu jalan yang berhubungan langsung dengan Malioboro sebagaimana jalan Sosrowijayan. Dan saya, kira-kira tahu bagaimana kondisi hotel tersebut. Maka mulailah saya menelpon keponakan pemilik meminta nomor telpon manager hotel, setelah tidak berhasil menelpon si pemilik karena ternyata, sang pemilik beserta anak-menantu-cucu2nya sedang berlibur akhir tahun di luar negeri.

Sang keponakan dengan sigap memesankan kamar hotel, setelah saya katakan bahwa selama 2 hari saya tidak berhasil menelpon manager hotel melalui mobile phone nya.  Tidak lama kemudian masuk telpon dari sang manager. Setelah berbasa-basi meminta maaf tidak menjawab telpon saya, dia mengatakan :
“Ibu …. maaf, kondisi hotel kami kurang memadai untuk menerima ibu menginap disini”

Sungguh, agak kaget saya menerima jawaban yang terkesan menolak secara halus itu. Hampir terbersit pikiran buruk … jangan-jangan mereka menduga saya ingin menginap gratis. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud mendapatkan kamar secara gratis. Sudah siap lahir batin untuk membayar.

Ada apa..? Apakah hotel sudah terisi penuh untuk akhir tahun? Saya berharap bisa mendapat 2 kamar untuk 2 malam pada minggu terakhir Desember nanti. Suami saya ingin sekali menginap di wilayah Malioboro”
“Maaf bu …. Tentu masih ada kamar tersisa. Kalau ibu mau, bisa kami siapkan. Kami hanya menyampaikan apa adanya. Kondisi kamar tentu tidak sebagus 8 tahun lalu saat ibu mengunjungi kami.”
“Ok, tolong sementara di reserved saja dulu. Nanti saya kabari lagi, apakah saya jadi mengambil kamar-kamar tersebut atau dibatalkan.”

Saya menyampaikan hasil pembicaraan itu pada suami. Seperti biasa jawabnya selalu “asal-asalan”
“Ambil sajalah! Toh kita cuma numpang tidur! Kita berlibur pada peak season. Tidak mudah dapat kamar, jadi masih lebih baik daripada kalian kuajak ngemper[1] tidur di mesjid”.
“Ya sudah … asal jangan kecewa belakangan….!!”

Begitulah, hari selasa 25 desember 2007, sekitar jam 19 di tengah gerimis kecil kami tiba di hotel setelah menempuh perjalan selama 10 jam dari Bandung melalui jalur selatan. Hotel D ini, setahu saya adalah hotel Melati yang cukup baik. Jaraknya hanya sekitar 100 meter dari Malioboro. Bangunannya terdiri dari 2 lantai dengan + 30 kamar. Seluruh kamar dibangun mengelilingi inner court seluas 15 x 15 meter tempat tamu bisa duduk-duduk. Ada ruang makan berkapasitas 5 meja @ 4 kursi, di samping kanan pintu masuk dan lobby kecil. Selain itu tidak ada fasilitas lain.

Saat tiba, hanya ada satu orang duduk di concierge. Tidak ada petugas lain. Tapi tak apa… di luar negeri, ada banyak hotel yang tidak menyediakan bell boy untuk melayani tamu, membawakan koper ke kamar.

Sesuai pesanan, ada 3 kamar yang diberikan. 2 buah berada di bawah dan satu kamar berada di atas. Kamar pertama persis di sebelah tangga, diisi double bed. Ini saya berikan pada adik yang membawa 2 anaknya. Saya  dan anak gadis juga mengambil kamar di bawah. Untuk suami dan keponakan, biarlah mereka di atas.

Bau lembab langsung menyergap hidung saat kamar dibuka walaupun hawa sejuk sudah berhembus dari pendingin ruang yang ternyata sudah dihidupkan sejak pagi. Anak gadis saya langsung menampakkan wajah kusut…..
“Ma…. Boleh pindah hotel, nggak…?
Saya termangu, tidak bisa segera menjawab pertanyaannya. Sungguh … kondisi kamar hotel sama sekali di luar dugaan saya. Sekitar 10 tahun yang lalu, saat kantor saya mengambil alih pengelolaan hotel di Batu, bos sering uring-uringan dengan kondisi hotel yang buruk. Menyesali keteledoran pengelola lama dalam pemeliharaan. Beliau segera memerintahkan kami melakukan renovasi hampir total terhadap seluruh kamar hotel secara bertahap.

Ternyata kondisi kamar hotel D ini jauh lebih buruk daripada kamar hotel di Batu sebelum renovasi. Sebagian plafond kamar dekat pendingin ruang tergambar bercak air. Mungkin ada pipa yang bocor. Kamar mandi tidak jauh berbeda …. Plafond penuh bercak. Kran air bocor atau tidak bisa ditutup sempurna. Fasilitas, hanya tergeletak 2 buah sabun. Tanpa handuk ataupun kertas pembersih. Televisi jebol, kulkas tidak dingin, begitu juga dengan pesawat telpon. Hanya handset nya saja yang tetap berada di atas bed side table. Semuanya terasa lebih sebagai penghias ruang dari kepatutan kelengkapan sebuah kamar hotel. Pantas kalau anak saya tidak berkenan dengan kondisi kamar…. Pantas juga, belakangan saya melihat bahwa dalam peta pariwisata Yogya, lokasi D tidak lagi diberi notasi H tetapi L alias losmen. Turun derajatnya, sudah. 

Pertanyaan anak belum terjawab, suami sudah turun lagi, meminta kamar lain. Rupanya, dia tidak tahan dengan bau lembab kamar. Untung masih ada kamar lain yang kelihatannya lebih baik. Selintas, sempat saya sampaikan keluhan anak gadis saya ke suami. Seperti biasa, walaupun dia sempat meminta pindah ke kamar yang kondisinya lebih baik, dia tetap saja menjawab :
“Nggak gampang cari kamar di akhir tahun. Apalagi yang dekat dengan Malioboro. Sudahlah … yang penting ada tempat tidur. Kita toh akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar.”
Ya sudah, kalau begitu maunya.

Sambil menunggu redanya hujan serta menunggu suami dan adik untuk makan malam ke Malioboro Mall, saya mengajak ngobrol receptionist hotel;
“Mbak R, besok datang? Ingin ketemu lagi … Entah apakah dia masih ingat saya”
“Ndak bu …. Bos-bos ndak ngantor disini. Paling hanya satu kali sebulan. Untuk control saja”
“Oh….! Kamar hotelnya penuh, mas?”
“Ndak juga, bu. Hanya saja besok akan masuk lagi tamu. Titipannya ibu E, dari Manado
“Memang ada berapa kamar tersisa?”
“Kami hanya bisa menjual 18 kamar dari 30 yang ada. Itupun hanya 15 yang bisa dipakai alakadarnya. 3 lagi sama sekali tidak bisa dipakai”
“Lho, kenapa…?”
“Anu bu…. Kamarnya kosong. Selain ndak ada ranjangnya, gentingnya kalau hujan juga bocor bu. Jadi ndak bisa dijual. Yang tiga itu, kalau diisi dan kamar mandinya dipakai, pipa-pipa airnya bocor dan merembes ke kamar bawah.”
“Lho…. Kok bisa? Ranjangnya kemana”
“Anu bu …. dikirim ke Semarang untuk itu lho ….  untuk markas kelompok wayangnya ibu”.
“Oh gitu… terus kenapa nggak beli ranjang baru…?
“Ndak ada duitnya bu ….”
“Hehehe…. Ibu itu banyak duitnya lho….!”
“Nah .. itulah. Anak wayang itu banyak ngabisin duit ibu lho…! Dibawa ibu ke India, ke Cina … rekaman ini, rekaman itu… semua duitnya ibu…”

Saya terdiam … ingat rukan[2] yang dimiliki ibu di komplek dekat rumah beliau di bilangan Kemang Utara.  Beberapa di antaranya “dipaksa” ibu dijual untuk membiayai kegiatannya dalam membina kesenian tradisional Jawa. Mungkin senilai hampir 3 miliar yang sudah dihabiskannya dari hasil penjualan beberapa rukannya.

“Tadinya, saya pikir hotel ini sudah direnovasi … sudah ditambah jumlah kamarnya. Saya pernah liat gambar arsitekturnya. Yang dibuat oleh mas Heru…!”
“Ndak bu … Memang sudah sempat selametan … tumpengan sekalian perletakan batu pertama. Tapi entah kenapa, pembangunannya dibatalkan”
“Sayang ya …. Lokasi ini cukup strategis….!”
“Ya bu…. Dulu, ada temannya mbak D dari Jerman … Rsh namanya. Tahun lalu ada juga dari Malaysia datang. Semua, katanya mau Invest. Mau kerjasama. Tapi semua juga ndak ada kelanjutannya”.

Saya terdiam, sangat paham mengapa semua rencana itu tidak berhasil. Saya cukup kenal ibu dan anak-anaknya. Cukup tahu logika bisnis ibu. Ibu yang sangat generous dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan social tetapi bisa sangat keras dan sangat “berhitung” saat berbicara mengenai honor/gaji pegawai dan buruh yang menggantungkan nasib dan periuk nasinya di perusahaan yang dimilikinya. Namun ….. bisa terjadi, tanpa ada angin atau hujan, beliau tiba-tiba menjadi sangat pemurah dan memberikan hadiah baik berupa natura atau uang dalam jumlah yang tidak terbayangkan siapapun juga kepada karyawan dan buruh-buruhnya. Ibu memang selalu penuh kejutan dan kontradiktif. Sementara anak-anaknya, terutama mbak D yang sering diumpamakannya sebagai Burung Merak, belum mampu meraih kepercayaan penuh dari ibu untuk mengelola bisnis keluarga.
 
“Sayang ya… aset berharga begini dibiarkan hancur”.
“Mau bagaimana lagi bu…?!
“Jadi, siapa yang sekarang pegang hotel dan gedung pertemuan? Masih keluarga ibu?”

Saya teringat bahwa ibu memang membentuk sebuah yayasan yang menguasai seluruh aset-aset/perusahaannya dengan tujuan untuk memberdayakan keluarganya.
 
“Ndak lagi bu… semua sudah didepak! Sekarang mbak R dan ibu E yang pegang. Ibu percaya sekali sama mereka. Padahal kami semua tahu bagaimana permainan mereka… Ibu itu banyak ditipu orang”
“Oh jadi mbak R bukan anggota keluarga, ya…?”
“Bukan bu… Orang luar..”

Saya juga ingat saat mengawasi renovasi dulu. Ternyata, saat bangunan dibongkar, baru diketahui bahwa sebagian besar dinding hotel tidak ditunjang oleh pondasi batu keliling tetapi hanya bertumpu di atas sloof saja. Padahal kontraktor pelaksananya adalah keponakan ibu sendiri dan pada gambar serta spesifikasi bangunan jelas tercantum keharusan adanya pondasi batu kali.

“Kenapa nggak bilang sama ibu…? Kamu kan orang lama”
“Ndak berani bu …! Nanti ibu-ibu itu marah dan kami bisa digeser atau malah dipecat. Orang kecil seperti kami, wis tuo[3]… mau cari kerja dimana lagi?”
“Iya ya… jaman susah begini. Apa-apa mahal, kalo gak punya kerjaan juga susah ya…”
“Ya mau apalagi, bu …? Sebetulnya, kerja disini, kalau dipikir-pikir, kok ya ndak nututi[4] kebutuhan hidup. Tapi ndak kerja malah tambah susah”
“Sudah lama kerja disini?”
“Sejak hotel dibuka.. Dulu sih enak, waktu masih dipegang pak B”.
“Tapi, dulu kan hotel baru. Jadi wajar kalau bagus pemasukannya.” Saya berusaha netral.
“Nah itu dia bu … Mengelola hotel kan gak mudah. Apalagi kalo sudah jelek seperti ini.”
“Betul … Nggak ngomong sama mbak R atau langsung sama ibu supaya kondisi hotel diperbaiki? Idealnya setiap 5 atau maksimal 10 tahun, hotel harus di refurbished. Kapan hotel ini dibuka”
“Tahun 90. Kami sudah minta renovasi lagi bu … Kan waktu tahun 2000 dulu, baru sebagian yang direnobasi. Tapi dijawab, hotel ndak punya uang…..”

Saya hanya bisa tertawa kecil… Bagaimana mungkin hotel bisa punya uang, kalau kondisinya seperti ini. Yang ada, malah semakin kehilangan konsumen. Tetapi, walaupun begitu, ibu sebagai pemilik, tidak mungkin tidak punya uang. Saat ini beliau sedang merenovasi total rumahnya. Saya taksir, milyaran rupiah akan dihabiskan untuk renovasi tersebut.

“Coba ibu bayangkan, sprei itu belum pernah dibelikan lagi yang baru sejak pertama kali hotel beroperasi. Yang repot, kalau ibu rawuh[5] dan menginap disini… wah semua kena semprot… Ndak bisa ngurus kebersihan… katanya. Padahal, bukan soal ndak diurus… gimana mungkin sprei yang usianya sudah 17 tahun bisa putih bersih kinclong seperti maunya ibu.”
“Hehehe… repot juga ya….” Jawab saya.
Sekarang baru terjawab sebabnya, mengapa sprei tidak terlihat berwarna putih gres tetapi agak keabu-abuan dan serat-seratnya terlihat jarang. Mbladus…. Begitu istilah yang sering diucapkan suami.

“Iya bu…kadang sedih juga. Bagaimana tamu mau tidur disini?!”
“Ya… lalu bagimana kalian narik pengunjung….?”
“Kami jelaskan saja bu sama tamu yang datang. Kami ajak liat kamar yang kosong dulu kalau setuju, ya masuk… Kebanyakan akhirnya batal”.
Saya tercenung… mengerti sekali kesulitan dan kesedihan mereka.
“Sekarang ndak ada yang perhatikan kami lagi. Bayangkan saja… kami ini sudah kerja belasan tahun, gaji kami rata-rata hanya 400 ribu. Mana cukup buat hidup?”, lanjutnya lagi.

Huk…. Perut saya rasanya seperti tertonjok Mike Tyson…!!! Mual…!!!
Can you imagine four hundred thousands rupiah every month for feeding the whole family even they live in Yogya which is less expensive than Jakarta?

“Berapa UMR[6] di Yogya?”
“Sekarang sudah 540 ribu. Dulu waktu naik dari 400 ke 450, kami sudah matur[7] ibu. Tapi ibu ndak kerso[8]. Lalu naik ke 500 kami ndak berani matur lagi. Nah yang sekarang ini sudah kenaikan yang ke 3”.
“Jangan-jangan, sampeyan[9] ndak ngomong sama ibu langsung. Cuma nggrendengan[10] di belakang saja…”
“Sudah ngomong langsung kok bu… Cuma, Ibu bilang hotel ndak mampu. Kalau mau nderek[11] ibu, ya monggo kerso[12], kalo ndak ya silakan cari kerja di luar. Begitu katanya. Lha kami mau apa lagi kalau begitu jawabnya…?”
  
Duh…. Kok saya jadi terlibat jauh seperti ini ya? Entah apa maksud mereka menceritakan semua ini kepada saya? Untuk membawakan suara hati mereka kepada ibu? Tentu tidak mungkin saya lakukan. Sudah lebih dari 3 tahun ini saya tidak lagi berhubungan secara intens dengan Ibu. Terakhir bertemu beliau sekitar 1 tahun lalu saat saya mengunjungi kantor ibu untuk bicara dengan mbak LS dan mas DS mengenai rencana kerjasama budidaya mutiara. Walaupun prihatin dengan nasib mereka, saya tidak ingin mencampuri urusan orang. Lagipula, saya tidak mengerti jelas akar permasalahannya dan juga tidak tahu sampai sejauh mana kebenaran cerita karyawan tersebut.

Namun, yang pasti hilang sudah keinginan untuk pindah hotel ke tempat yang lebih baik lagi. Padahal, semula saya sudah berketetapan hati untuk mencari hotel lain dan pindah kamar. Cukup satu malam saja menginap di D, sekedar memenuhi pesanan saja. Saya juga sudah berhitung berapa biaya 3 kamar di hotel lainnya untuk 2 malam selanjutnya dan rasanya masih cukup mampu membiayainya. Namun niat itu terpaksa saya telan kembali. Kalau saya keluar… tentu mereka kehilangan pemasukan. Saya tidak memikirkan ibu atau mbak R. Tapi saya membayangkan wajah kecewa dari karyawan hotel atau lebih tepat disebut losmen D melihat satu demi satu tetamunya berpindah hotel.

Kalaupun akhirnya cerita mereka dituangkan dalam tulisan ini, tentu bukan maksud untuk mengumbar keburukan orang. Saya hanya ingin menghimbau kepada siapapun yang membaca tulisan ini agar memperhatikan kesejahteraan orang-orang kecil yang berada di sekitar dan menggantungkan nasibnya dari kemurahan hati kita. Jangan memperlakukan mereka dengan semena-mena dan bayarkan gaji mereka selayaknya sebelum kering keringat yang mengalir di tubuhnya. Agar kita tidak mendapat azabNya. Wallahu alam.

Lebak bulus 4 Januari 2008 jam 22.35




[1] Tidur di emperan/ lantai teras
[2] Rumah kantor biasanya terdiri dari 2 s/d 4 lantai
[3] Sudah tua
[4] Mengikuti/memenuhi
[5] datang
[6] Upah minimum regional
[7] Menghadap/berbicara kepada
[8] Kurang berkenan
[9] kamu
[10] Membicarakan ketidaksukaan terhadap sesuatu/seseorang di belakang orang yang dimaksud
[11] ikut
[12] silahkan

13 komentar:

  1. dulu, waktu ibuku belum pindah ke jogja
    setiap tugas di sana aku nginep di Hotel Sriwibowo, Dagen
    cuma beda gang sama sosrowijayan mbk
    hotelnya memang cuma kelas melati, tapi lumayan eksis
    makanya kalo ada rencana menginap apalgi di musim libur kudu pesan jauh jauh hari....
    turis dan wisatawan lokal sebenernya masih prefer di hotel hotel kelas melati ini, murah meriah, deket saa objek wisata
    asalkan tetap dipelihara dan diurus dengan bener, Insya Allah tamu tetep ada
    apalagi dengan sistem familly hotel.

    BalasHapus
  2. Saya nggak jadi menginap di Sosrowijayan, kok. Nanti lain kali saya coba nginap di Dagen deh. Sebenarnya enak juga kok nginap di hotel Melati. Terutama kalau aktifitas kita sepanjang hari di luar hotel

    BalasHapus
  3. pernah dapat nasihat....., kalau mau tau siapa diri kita sebenarnya... tanya kepada orang2 terdekat seperti keluarga, tetangga dan tentunya orang2 yang bekerja untuk kita...

    BalasHapus
  4. Setuju .... walau belum tentu 100% benar, tapi bisa menjadi gambaran seperti apa wajah kita sebenarnya

    BalasHapus
  5. Waduh Mbak, ceritanya liburan tapi malah jadi agak mengharu-biru ya. Apalagi mereka orang-orang yang Mbak kenal ya.

    Akhir tahun 2007, kita juga ke Yogya. Malam pertama nginep di Hotel Puri Pangeran, di belakan keraton Pakualaman. Kondisinya mirip dengan hotel yang Mbak bahas, sayang deh.... Padahal kalo manajemennya baik pasti bagus. Suasananya tenang dan teduh.

    Malam berikutnya kita nginap di Hotel Wisanti daerah Taman Siswa. Ini juga hotel melati tapi pelayanannya bintang. Lumayan bagus loh.....

    Kita sengaja nyari nggak deket Malioboro, maksudnya biar nggak terlalu ramai.

    BalasHapus
  6. setidaknya beberapa bintang laut berhasil di lempar kelaut ;)

    BalasHapus
  7. Paling tidak, kita bisa mengenal sisi lain dari kehidupan manusia. Nggak selamanya aman dan nyaman. Masih banyak orang-prang yang menderita. Insya Allah menjadi pengingat untuk selalu mensyukuri nikmat Allah SWT

    BalasHapus
  8. HAlo.... sudah bangun...??? (nggak nyambung pisan....)

    BalasHapus
  9. kalau lihat fotonya sih di pajeksan,.....:D

    secara aku org yogya mbak...., wah sayang juga tuh hotel ^D^ padahal setahuku lumayan juga dulu....., pernah pk utk tamu waktu itu.

    BalasHapus
  10. kl lihat fotonya sih di pajeksan ya mba...:)

    sayang juga tuh htl ^ D ^, padahal dulu jg pernah pk utk tamu, lumauyan sih dulu....

    BalasHapus
  11. Wah.... hebat kamu...! Bener2 orang Jogja. Dari foto aja bisa nebak nama jalannya. Jangan2, kamu bisa keliling Jogja dengan mata tertutup ya... hahaha...

    BalasHapus
  12. Hi mbak, salam kenal. Boleh di share ga cerita ini? Bagus. Mengingatkan kita untuk bersyukur dan memperhatikan orang yang menggantungkan nasibnya dari kemurahan hati kita.

    BalasHapus
  13. silahkan. Semoga bermanfaat buat yang membacanya

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...