Jumat, 18 Januari 2008

Mlaku-mlaku neng Yogyakarta…..


Jum’at 28 desember 2007 adalah hari terakhir liburan kami di Yogyakarta. Usai shalat subuh dan membereskan koper, saya mengintip dari jendela kamar ke arah inner court. Ingin tahu apakah cuaca pagi sudah lebih bersahabat. Semalam hujan deras mengguyur Yogyakarta sehingga acara makan malam berupa gudeg di kawasan Wijilan terasa kurang nikmat. Untunglah, cuaca terlihat lebih cerah.

Anak gadis saya masih tidur. Begitu juga dengan para keponakan, adik, dan suami. Usai makan gudeg sambil kehujanan di Wijilan, kami sempat mampir ke “Kakiku”. Tempat pijat dan reflexology di depan hotel dan ramai-ramai dipijat seluruh tubuh, kecuali suami yang hanya berkenan pijat kaki. Sekarang mereka tentu masih nyenyak tidur karenanya.

Jam 5.30 saya, iseng keluar kamar … niatnya menuju pasar pathuk. Jalan kaki, melemaskan otot sekaligus mencari bekal perjalanan pulang. Di depan pasar ada penjual serabi Solo. Sehari sebelumnya, saya sudah mencicipi dan kelihatannya semua orang suka. Kali ini ingin memberi dua doos. Satu doos di setiap mobil. Dalam setiap perjalanan panjang yang menyertakan anak-anak, kita harus selalu siap sedia dengan makanan pengganjal lapar. Kalau tidak, tiba saat makan dan belum terlihat restoran yang sesuai selera dan layak dikunjungi, maka anak – anak akan menjadi rewel dan bahkan akan menangis.

Di halaman hotel ada seorang pengemudi becak yang langsung menghampiri saya.
“Mari bu …. Monggo, kemana ibu kerso. Saya bawa ibu keliling-keliling sekitar kraton atau Beringhardjo. Murah kok, tiga ribu saja.”
Duh… saya tidak berminat ke sana. Kamis sore, sepulang dari Prambanan, saya dan anak gadis sudak mengunjungi Beringharjo. Sudah dapat rok batik ber payet[1] model “duyung” untuk dipakai pada pesta pernikahan Nanda. Itu untuk dipakai anak gadis saya, melengkapi seragam kebaya brokat yang sudah selesai  saya jahit sebelum berangkat liburan. Tinggal lagi memasang payetnya.

“Nggak mas, terima kasih. Saya cuma mau ke pasar pathuk saja, kok”
Ada raut kecewa tergambar di wajahnya. Pengemudi becak itu rupanya memang selalu mangkal di depan hotel D. berharap agar penghuni hotel menggunakan jasanya untuk berkeliling kota atau ke Malioboro walau jarak hotel ke Malioboro hanya sekitar 100 meter saja. Selain itu… sudah lama sekali saya tidak naik becak. Mungkin sudah 25 tahun, yaitu sejak becak dilarang beroperasi di Jakarta. Lagipula, bukankah becak merupakan salah satu bentuk l’exploitation de l’homme par homme?[2]  Maka sayapun berlalu, menuju toko serabi.

Pulang dari pasar si pengemudi becak berupaya lagi merayu saya menggunakan jasanya.
“Ayo bu … keliling-keliling kraton dan kauman. Nanti ibu saya ajak ke tempat batik atau dagadu yang asli. Lebih bagus daripada yang ada di Malioboro atau Beringharjo”
“Lha… memangnya sudah buka, sepagi ini?”
“Sudah bu… kan kita langsung ke rumahnya…”

Entah kenapa, tiba–tiba terbersit ide …. Kenapa tidak saya manfaatkan saja jam–jam terakhir di Jogja untuk keliling kota. Kami belum sempat mengunjungi kraton. Niat saya membuat foto gedung Bank Indonesia dan Bank BNI, juga belum tercapai. Interest orang dewasa dan anak-anak selalu bertentangan dan karena ini liburan anak–anak, maka merekalah yang mengatur acara. Rasanya tukang becak di Yogyakarta layak diberi penghargaan atas keterlibatan dan kegigihan menarik penumpang berkeliling kota. Ini bentuk langsung keterlibatan mereka dalam mempromosikan kotanya.

“Berapa biayanya kalau keliling keraton dan kauman, lalu antar saya balik lagi ke sini?”
“Terserah berapa ibu mau memberi…”
“Walah…. Ya jangan begitu. Berapa maunya…?”
“Sepuluh ribu ya bu….”
“Keliling-keliling, terus mbawa saya balik lagi ke sini?”
“Ya bu……”
“Ok, tunggu ya… saya taruh serabi di kamar dulu”.

Di kamar, anak gadisku masih terkapar tidur. Masih belum ada yang terbangun. Hari baru jam 6. Saya pikir, ada cukup waktu yang bisa dimanfaatkan keliling kota naik becak sambil menunggu waktu makan pagi. Persetan dengan l’exploitation de l’homme par home. Selain ingin menikmati suasana pagi di Yogya, saya hanya ingin memberikan kebahagiaan dan kepuasan kepada pengemudi becak itu. Bahwa dia sudah berhasil merayu saya. Bahwa sepagi ini dia sudah mendapat rejeki yang bisa dibawa pulang nanti buat anak dan istrinya di rumah.

Maka, naiklah saya ke dalam becak, berkeliling kota sambil potret sana, potret sini menggunakan sony ericsson. Camera phone yang selalu saya kantongi. Tujuan pertama adalah ke daerah Kauman dimana banyak terdapat pengrajin batik. Sayangnya seperti sudah diduga, semua masih tutup  Perjalanan lalu dilanjutkan mengelilingi tembok keraton dari mulai arah Taman Sari hingga ke alun–alun. Tiba–tiba teringat niat untuk membuat foto ke dua bank milik pemerintah itu.

“Mas, lewat ke depan bank Indonesia ya…”
“Yang dekat kantor itu, bu…”
“Ya…. Jalan pelan–pelan lewat sana ya…”

Usai melewati Bank Indonesia, saya ditawari lagi untuk membeli batik
“Sepagi ini, mana ada yang buka?”
“Ada bu … saya tunjuki ibu tempat yang bisa saya sambangi. Banyak ibu–ibu yang mborong di situ”

Dia lalu memutar lagi haluan becaknya. Jujur, saya tidak tahu ke arah mana becak dibawa. Tapi, rasanya masih di sekitar keraton. Masih di wilayah yang berada di dalam gerbang batas wilayah kraton atau plengkungan, kata orang hotel. Di depan rumah yang cukup mewah bertuliskan “Rumah Batik”, becak dihentikan.

Mati saya….. kalo saya dibawa kesini, bisa runyam. Ini pasti batik kelas mahal. Sementara di dompet hanya ada beberapa lembar uang yang hanya cukup untuk membayar 2 kali makan dalam perjalanan pulang. Untung bisa bayar pakai CC. Kalau nggak, jatah makan dalam perjalanan pulang, bisa terkuras.

Selesai membeli batik oleh–oleh untuk ibu saya, pengemudi becak menawari saya ke tempat Dagadu. Kebetulan, saya masih memerlukan beberapa helai TShirt untuk oleh–oleh. Kira–kira  seperti tshirt dagadu yang saya beli di Malioboro. 11 ribu per helai. Nggak perlu yang asli. Tapi, lagi-lagi …. Itu toko Dagadu yang asli. Harga kausnya 3–5 kali dari harga eceran di Malioboro yang ternyata as-pal. Pemilik Dagadu itu tahu persis bahwa semua design yang ada di tokonya ada padanannya di Malioboro. Bahkan bukan tidak mungkin kaus-kaus itu merupakan produk kelas dua mereka. Saya membeli 3 buah kaus berlengan panjang. Anak saya pasti suka sekali dibanding dengan yang berlengan pendek.

“ibu masih mau jalan kemana lagi?”
“Nggak ah, cukup! Kembali saja ke hotel”
Saya baru tersadar, hari sudah cukup siang dan lalu lintas di jalan mulai ramai. Ada rasa sesal meninggalkan anak sendiri di kamar sementara saya menikmati perjalanan solitaire … yang  sangat jarang saya lakukan. Ternyata, tak terasa sudah 75 menit becak dikayuhkan mengantar saya mengelilingi wilayah kraton.

Duh beratnya mengais rejeki…..! Sepuluh ribu untuk 75 menit mengayuh becak dengan beban seberat orang dewasa? Tak sanggup dibayangkan betapa lelahnya… Betapa beratnya napas ditarik….betapa banyak energi yang telah terkuras!

Turun dari becak, saya mengeluarkan dompet dan segera membayarnya….. tanpa melihat, segera saya tarik lembaran uang dari dompet. Semoga bukan lembaran sepuluh ribu yang keluar dari dompet… Semoga dia merasa cukup puas dengan upah yang diterimanya sepagi ini……

Reedit sabtu 5 januari 2008





[1] paillette
[2] Eksploitasi manusia oleh manusia

12 komentar:

  1. wahh mlaku-mlaku sendirian enak juga ya..
    kepingin juga saya ke yogya..dengarin di sana shopping bagusss skali hehe

    BalasHapus
  2. Enaknya pagi-pagi sebelum kegiatan kota dimulai. Udara masih segar...
    Asyik lho, naik becak sambil ngobrol sama pengemudinya... Di Jakarta nggak mungkin terjadi

    BalasHapus
  3. Ternyata Mbak, kita ke Yogya selisih 1 hari. Saya sampai di Yogya tanggal 29 Desember, Mbak dah pulang.....

    BalasHapus
  4. ....ternyata lembaran seribuan sisa kembalian belanja tadi........

    BalasHapus
  5. Kalau anak gadis mungkin sebaiknya dibiarkan beristirahat, Mbak Lina. Kalau anak bayi harus dibawa, hahaha...

    BalasHapus
  6. Sayang ya... kalo gak, bisa copy darat ya.....

    BalasHapus
  7. Nah..... ini namanya berburuk sangka......
    Tapi... nggak apa2 lembaran seribuan, kan.... Kalo segepok....? Pasti nggak ada yang nolak..!

    BalasHapus
  8. Setuju.... kalo punya bayi, biasanya selalu saya bawa, pake kanguru (gendong depan). Simple aja.. .karena nggak tega ninggalinnya

    BalasHapus
  9. wah , kampung halaman aku tuh...:)

    BalasHapus
  10. wah... pantes, dengan melihat foto di tengah jalan aja, kamu sudah dengan tepat menebak lokasi foto. Bener-bener kenal luar kepala...

    BalasHapus
  11. Aku tau kenapa dia "rela" di bayar sepuluh ribu bu. Abang tukang becak itu kan juga dapat komisi dari toko2 yg dibawakannya tadi. Ahh... masak ibu ga tau seh info kek ginian. Aku tahu infonya bukan berarti aku tukang becak lho. HUe..he..he.. Tapi aku kalo naik becak suka melebihkan koq, kasian liat mereka. Minimal mereka masih mau berusaha daripada jadi maling di jalan.

    BalasHapus
  12. Tahu juga... Cuma, gak perlu ngitung2 rejeki orang, lah. Kita hitung jasa dia yang kita pakai untuk narik becak aja.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...