Selasa, 22 Januari 2008

Pejuang yang sebenarnya

Seorang ibu menulis surat :
suatu hari, saya mendengar suara isak tangis dari kamar anak saya. anak lelaki yang sangat sukar diatur dan pecandu narkoba. diam-diam saya mengintip isi kamarnya. di atas tempat tidur tergeletak sebuah buku. sejak hari itu, perubahan besar terjadi.... dia berusaha keras menghentikan kecanduannya akan narkoba dan mulai kembali ke bangku kuliah. buku itu.... Laskar Pelangi telah mengubah jalan hidup anak saya.
Itulah prolog pada salah satu episode acara Kick Andy di Metro Tv. 

Apakah anda menonton acara Kick Andy di Metro TV yang dibawakan oleh si kribo Andy F Noya?  Kalau ya …. Mungkin, seperti saya, anda sempat kaget kalau pada hari Jum’at  18 Januari 2008 malam dan Sabtu 19 Januari 2008 sore, Metrotv menayang ulang episode Laskar Pelangi yang menampilkan pengarangnya, yaitu Andrea Hirata. Ini merupakan tayangan ulang ke dua kali setelah yang pertama kali pada tanggal 4 dan 7 Oktpber 2007 yang lalu.

3 kali saya menonton episode Laskar Pelangi ini, yaitu 4 Oktober 2007 serta tayangan bulan Januari 2008 tersebut. Tiga kali pula saya tidak mampu menghalau airmata merebak, terutama saat Andrea tak mampu menyampaikan kesan untuk gurunya, yang menurut Andy F Noya tidak dapat hadir ke studio. Terbayang isi buku Laskar Pelangi dengan episode-episode pendek yang menceritakan karakter para anggotanya melalui berbagai peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 9 tahun serta perangai dari teman-teman sekolahnya. Kesemuanya mengandung hikmah kehidupan yang teramat dalam.

Sebut saja tentang Lintang. Si super jenius yang menjadi ”musuh bebuyutan” Ikal alias Andrea Hirata ini, harus menempuh 80 km pergi pulang setiap hari dengan hanya mengendarai sepeda butut dan itu terus dilakukannya walaupun harus menempuh hujan badai dan bahkan suatu hari, ia dihadang dan hampir diterkam buaya. Anak nelayan pesisir itu melakukannya dengan senang hati. Tak seharipun dia bolos sekolah. Padahal, usai sekolah, dia masih harus bekerja membantu bapaknya, si cemara angin, yang memiliki tanggungan 14 nyawa di rumahnya. Atau Trapani yang sangat bergantung pada ibunya.

Selama ini kita selalu melihat hidup dari sudut pandang strata sosial dimana kita berada. Keberadaan kaum marginal selalu dipandang sebagai ”ancaman” yang mengusik kenyamanan hidup kita, tanpa mau melihat bahwa sebagian dari mereka masih memiliki keinginan untuk maju, untuk mengubah nasibnya kelak.

Atau, mungkin peri kehidupan kaum marginal di pelosok daerah memang berbeda dengan kaum marginal urban. Nilai-nilai spiritual dan budi pekerti luhur yang secara tradisional dianut oleh masyarakat Indonesia seperti sifat gotong royong dan saling membantu masih sangat lekat dalam kehidupan mereka. Sementara kehidupan kaum marginal perkotaan telah tercemar oleh gaya hidup materialitis dan hedonistis sehingga perilakunyapun berubah menjadi premanisme yang keras. Tetapi betapapun adanya perbedaan tersebut, kaum marginal memang menjadi golongan yang selalu luput dari perhatian pemerintah.

Dalam buku Laskar Pelangi kita diajak untuk melihat kehidupan anak manusia dari sudut pandang kaum marginal. Namun sudut pandang itu tidak mengiba-iba meminta belas kasihan kita. Dia justru mengobarkan semangat mengobarkan harapan walaupun tidak semua semangat dan harapan tersebut terpenuhi.

Laskar Pelangi, buku pertama dari tertralogi Laskar Pelangi – Sang Pemimpi – Edensor, ketiganya sudah terbit dan terakhir Maryamah Karpov yang baru akan terbit, memang fenomenal dalam belantara perbukuan Indonesia khususnya untuk segelintir karya yang bisa dimasukkan ke dalam golongan elite bernama karya sastra.

Konon, buku ini tidak direncanakan untuk diterbitkan. Hanya sekedar untuk memenuhi janji yang sempat terucap kala Andrea (Ikal, nama panggilannya dalam Laskar Pelangi) masih dibimbing oleh ibu Mus (Muslimah Hapsari). Apalagi Andrea mendengar kabar bahwa ibu Mus sedang sakit. Maka ditulislah memoire yang mengambil judul Laskar Pelangi. Julukan bagi 10 orang murid terakhir dari perguruan Muhamadiyah Belitong.

Buku itu seperti sebuah sandiwara kehidupan riel yang dituliskan kembali oleh Andrea Hirata berdasarkan scenario yang digariskan oleh Sang Pencipta dengan pemain kepala sekolah, guru kelas serta 10 murid terakhir Perguruan Muhammadiyah. Karenanya banyak hikmah dan pelajaran hidup yang patut dijadikan bahan renungan.

Hidup ini hendaknya dijalankan untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk mengambil sebanyak-banyaknya. Ucapan pembuka dari KA Harfan M Noor, sang kepala sekolah menjadi adalah pelajaran budi pekerti yang luhur yang akan selalu menjadi pegangan hidup anak-anak Laskar Pelangi.

Sebagai orang yang pernah hidup diberbagai kota kecil baik di pulau Jawa maupun Sumatera pada awal pemerintahan Suharto, saya juga akrab dengan kehidupan keras masyarakat kecil. Teman sebangku saya, di SDN Bhineka II Karawang, anak supir di BRI tinggal di gubuk berlantaikan tanah berdesakan dengan 4 keluarga lainnya. Mungkin mirip dengan kondisi rumahnya Lintang. Dia harus melepas keinginannya untuk tetap bersekolah demi meringankan beban orangtuanya. Menikah di usia 12 tahun setelah sempat mengecap bangku SMP selama 3 bulan saja. Kala teman-temannya asyik berolahraga, berlarian atau menyimak pelajaran di kelas, dia sudah harus mengurus bayi yang dilahirkannya satu tahun kemudian.

Andrea memang beruntung atau Allah SWT memang telah menggariskan hidupnya seperti ini, agar dia mewartakan perjuangan anak-anak kaum marginal nun jauh di pelosok desa untuk meraih asa. Mereka bisa jadi anak-anak kuli angkut di tengah kemewahan koloni kecil bernama komplek perumahan perusahan multinasional yang menjarah kekayaan alam Indonesia. Atau bisa jadi anak-anak jermal di tengah perairan laut Cina Selatan.
*****

Beberapa waktu yang lalu, sempat terbetik kabar bahwa Laskar Pelangi akan dituangkan dalam versi film layar lebar. Semoga hasilnya sebaik apa yang tertulis dalam bukunya. Pasti sangat tidak mudah menuangkan isi buku yang indah ini ke dalam layar lebar. Para pemain filmnyapun belum tentu mampu menghayati dan mengadopsi karakter sesungguhnya dari para pelaku memoire itu. Pemain film yang terpilih tentu berasal dari kalangan “the haves” yang sama sekali tidak mengerti kehidupan nyata kaum marginal.

Berbagai buku “best seller” menjadi gagal total saat diadaptasikan ke dalam layar lebar. Sebut saja buku The Da Vinci Code atau Perfume yang saat diadaptasikan ke dalam layar lebar menjadi kehilangan gregetnya. Mungkin, hal ini juga disebabkan karena saat membaca, emosi dan imajinasi pembaca turut bermain dan mempengaruhinya.

Tapi, siapa tahu, ditengah keterpurukan di segala bidang, Indonesia mampu menghasilkan karya film sekelas The Sound of Music. Karena Laskar Pelangi memang sangat menarik.

Andrea Hirata memang sudah membuktikan dirinya sebagai “orang hebat”. Anak kuli yang mampu mengubah nasibnya melalui pendidikan. Bukan sekedar menjadi sarjana dari universitas ”ecek-ecek”, tetapi dari Universitas penyandang nama negara, Universitas Indonesia, yang pasti ditempuhnya dengan susah payah. Bahkan ia mampu memperoleh beasiswa untuk menikmati pendidikan jenjang S2 di Sorbone – Paris IV dan salah satu Universitas di Inggris.

Andrea seakan membalikkan paradigma bahwa keberhasilan anak tergantung dari sekolah yang dimasukinya dengan kurikulum internasional. Inilah yang menyebabkan orangtua selalu berlomba-lomba menyekolahkan anak ke sekolah favorit. Andrea adalah produk dari SD – SMP bobrok nun di pelosok salah satu pulau yang gemerlap, namun masih menyisakan pendar-pendar feodalisme dan kolonialisme yang kejam. Selama 9 tahun dia dan teman-temannya hanya dididik oleh seorang ”mahaguru” lulusan Sekolah Kepandaian Putri – SKP, sekolah setara SMP, yang mengajar seluruh mata pelajaran di kelasnya.

Andrea adalah satu dari sedikit anak Indonesia yang betul-betul mampu menjungkilbalikkan berbagai teori dan paradigma pendidikan. Mungkin masih banyak Andrea-Andrea lain di pelosok negeri ini. Kepada merekalah kita seharusnya memberikan perhatian yang lebih, Mereka adalah pejuang yang sesungguhnya. Pejuang yang ingin melepaskan diri dari rasa iba kaum berpunya (negara donor?!) yang berjuang tanpa pamrih demi harga diri. Persis seperti petuah sang kepala sekolah : Hidup ini hendaknya dijalankan untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk mengambil sebanyak-banyaknya. 

Mereka dan kaum marginal di pelosok dan pedalaman Indonesia, bisa jadi merupakan pejuang tangguh yang mampu membawa negara ini keluar dari keterpurukan.

lebak bulus 21 januari 2008

11 komentar:

  1. satu pertanyaan paling mendasar : kpnkah gaji dan taraf hidup para guru yg ngajar di sekolah2 negeri en swasta yg notabene non "international school" bisa ditingkatkan/ diperhatikan o/ pemerintah kita ?

    BalasHapus
  2. Kalau Laskar Pelangi menjadi reference ... maka jawabnya... GAJI GURU tidak ada korelasinya dengan kepandaian/hasil yang dicapai murid-muridnya. Karena ibu Mus hanya digaji setara 15 kg beras saja tetapi dia mengajar dengan "sepenuh hati" dan itu yang memberikan kekuatan dan semangat bagi semuanya.

    Pertanyaan kamu itu Ly, khas pertanyaan orang kota yang melihat segalanya dari sisi materi... hahaha

    BalasHapus
  3. duh sayang gak sempat nonton tayang ulangnya...

    BalasHapus
  4. jadi tambah penasaran mo baca bukunya...

    BalasHapus
  5. justru pemerintah musti mensejahterakan hidup para guru....
    ada segelintir org yg masih berjiwa mulia en mau mendedikasikan hidupnya spt bu Mus, alangkah baiknya kalo mereka2 itu diperhatikan pemerintah (sok2 idealis, cuih !!!)

    BalasHapus
  6. sama mba...aku juga nonton yg ketiga kalinya bareng kluarga... teteuup mewek juga tuh

    BalasHapus
  7. Namun mgkn jg kehebatan pasukan Laskar Pelangi adalah karena kejadian nyatanya, lalu jg ditambah kerinduan para pembaca akan "David vs Goliath" Sekolah Muhammadiyah Vs Sekolah PN, dibidang kesenian : Mahar is the maestro, ngalahin Marching Band dgn budjet jutaan & pelatih dr Jakarta, dikalahkan dgn ide brilian "tarian Afrika dgn kalung buah aren:,
    di bidang sains : Cerdas Cermat, si Lintang ngalahin Sekolah PN dgn bimbingan Sarjana MIPA cumlaude, plus teori optik Newtonnya......

    Dan dibalik semua itu adalah para guru2 tsb : Bu Mus yang menemukan bakat menyanyi Mahar saat menunggu adzan Dzuhur sblm bubaran sekolah, dan juga Pak Harfan melalui buku2nya yg dibaca oleh Lintang saat membersihkan ruangannya...

    (dr kejauhan sayup2 terdengar hymne guru....)

    BalasHapus
  8. Akhirnya.... kau baca habis Laskar Pelangi....!!!!
    Bacanya super kilat karena penasaran ya.....??? Gak nyesel, kan?

    BalasHapus
  9. Baca deh...
    Anak-anakmu juga diajak baca buku itu, walau mungkin banyak istilah2 yang berat buat anak2. Ya... dibimbinglah, bacanya.

    BalasHapus
  10. perjuangan akan terasa bila berada di dalam kekurangan................nah bagaimana agar anak yang orang tuanya cukup mapan juga bisa menjadi pejuang?

    BalasHapus
  11. Ini juga menjadi pertanyaan besar bagi saya

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...