Teman kantor saya, perempuan, punya dua anak. Yang besar sudah kelas 3 SMP sedangkan yang ke dua berumur 5 tahun. Keduanya perempuan. Yang besar, konon lebih introvert. Tidak terlalu banyak menuntut. Sangat bertolak belakang dengan si bungsu. Gadis kecil itu sangat ekstrovert, banyak omong. Semua orang disapa dan terlihat selalu ingin menyenangkan hati semua orang dan pandai mencuri perhatian orang. Persis seperti ibunya.
Minggu lalu, ibu dan gadis kecil ini dipanggil seorang psikolog berkaitan dengan prosedur penerimaan murid sekolah. Psikolog itu ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi tentang calon murid sekolah tersebut. Selama psikolog berbincang dengan anak-anak, para orangtua diminta mengisi kuesioner yang pada umumnya berisi informasi tentang anaknya. Usai berbincang dengan anak, giliran si ibu diinterview;
“Ibu, …. Rupanya sibuk sekali ya…” Duh… belum apa-apa si psikolog sudah “menyerang” si ibu. Temanku diam, nggak tahu mesti bereaksi apa.“Ada apa dengan anak saya?”, si ibu balik bertanya sebelum menjawab pertanyaan itu.
“Apakah suami ibu tidak ada di rumah?” si psikolog bertanya lagi.
“Ya … dia bertugas di luar kota sejak enam bulan yang lalu. Kami hanya bertemu saat ada libur panjang akhir pekan”.
“Anak ibu merasa sangat kehilangan ayahnya. Kegiatan yang selalu dilakukan dengan bapaknya setiap hari, hilang. Kegiatan yang sangat sederhana. Sekedar membeli roti untuk bekal sekolah”.
“Bisakah ibu, meluangkan sedikit waktu untuk anak ibu?”
Temanku bungkam… Tak mampu menjawab pertanyaan itu. Kesibukannya sangat padat. Selain bekerja dan menjadi direktur di beberapa anak perusahaan, dia juga masih melanjutkan kuliah di malam hari. Maklum saja, dia menjadi orang kepercayaan pemegang saham mayoritas di perusahaan tempatnya bekerja. Itu sebabnya, waktunya sangat tersita dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Bekerja, kuliah, perjalanan dinas ke luar kota dan tidak lupa hang out dengan teman-teman. Khas kehidupan wanita executive di kota besar.
Entah kapan diluangkannya waktu untuk anak-anaknya.
No comment, karena bukan wanita bekerja he...he..he....
BalasHapushhhhh.........kalo aku tetep begini juga pasti anak anakku*nanti* terlantar
BalasHapuspulang malam, sabtu minggu kadang keluar
emang kudu cari aktivitas lain yang lebih bisa dimanage
Anak2mu pasti bahagia, karena pulang sekolah disambut ibunya dengan sepiring kue2
BalasHapusDan ternyata tidak mudah juga melepaskan diri dari jeratan kesibukan kota besar.
BalasHapussetujuuuuu!! kami jg lebih senang (teramat senang) jika stlh sepulang sekolah bertemu dgn mama dirumah yg tlah mnyiapkan makan siang untuk kami ..alhamdulillah :)
BalasHapusternyata bukan cerita belaka, ....................................alhamdulillah bisa ketahuan kemauan anaknya sekarang ya,........................................
BalasHapusKetahuan maunya si anak, sayangnya tidak berarti bahwa si ibu "mau" mengorbankan ambisi dan kesenangan pribadinya.
BalasHapusSemoga....yg jelas mereka senang pulang sekolah ada mama dirumah menanyakan ttg cerita mereka selama disekolah......
BalasHapusBanyak Ibu begini yang bela diri dengan mengatakan: Anak2ku menjadi sangat mandiri karena terbiasa ditinggalkan orang tuanya. Ini baik untuk masa dewasanya menghadapi dunia yang tidak ramah ini.
BalasHapusBetul...
BalasHapusMungkin mereka lupa, anak2 tetap saja menjadi anak2, mereka perlu perlindungan. Lha, kita aja yang sudah tua begini terkadang perlu perlindungan kok
introvet ama ekstrovet artinya apa?
BalasHapus