Senin, 11 Februari 2008

Banjir dan banjir lagi.

Jakarta banjir? Itu bukan berita lagi. Sudah menjadi rutinitas tahunan yang tidak pernah terselesaikan. Apalagi ditambah dengan isu pemanasan global yang berdampak pada pergeseran musim dan anomaly cuaca dunia.

Banjir pada tahun 2002 dan 2007 disebut sebagai banjir siklus lima tahunan. Tetapi pada awal tahun 2008 ini, Jakarta dilanda banjir besar lagi. Sama besar dengan banjir di awal tahun 2007 yang lalu. Karenanya, entah karena memang begitu kenyataannya atau sekedar mencari kambing hitam atas ketidakmampuan menanggulangi banjir, pemerintah buru-buru menyatakan bahwa banjir siklus lima tahunan telah menjadi banjir rutin tahunan. Artinya, masyarakat Jakarta harus siap sedia bahwa setiap tahun akan dilanda banjir besar.

Kalau diperhatikan, banjir di Jakarta semakin menghebat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan baik di Jakarta itu sendiri maupun di kota sekitarnya serta di wilayah penyangga (green belt) Bogor – Puncak dan Cianjur (Bopunjur). Banjir besar dan meluas dimulai sejak tahun 70an. Walaupun tidak berarti sebelum era tahun 70an Jakarta tidak pernah dilanda banjir. Namun saat itu, wilayah yang terkena banjir masih sangat terbatas dan ketinggiannyapun masih dalam batas yang dapat ditolerir. Masih dalam bilangan di bawah 50 cm.

Ada banyak faktor penyebab banjir. Selain hilangnya wilayah hutan penyangga Bopunjur, pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan pertumbuhan kebutuhan tempat tinggal. Juga berarti pertumbuhan kebutuhan akan sejumlah fasilitas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Ini berarti ada sejumlah kebutuhan untuk membangun rumah, jalan, tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain) fasilitas umum berupa sekolah, pasar pertokoan, kawasan rekreasi dan lain-lain. Ini berarti lahan hijau perkotaan terpaksa dikurangi untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut.

Pada tahun 1965, gubernur kala itu, Ali Sadikin, dikenal dengan panggilan bang Ali, telah membuat sebuah tata ruang DKI Jakarta. Termasuk di dalamnya rencana pembangunan MRT[1]. Sosialisasi tentang RUTR[2] dan RBWK[3] telah dilakukan. Di tempat strategis terpampang papan yang berisi peta RBWK terkait.

Masyarakat kemudian mengenal dan dikenalkan dengan keharusan memperoleh IMB[4] sebelum mendirikan bangunan. Keinginan kuat bang Ali untuk membangun Jakarta agar bisa disejajarkan dengan ibukota negara lainnya dilaksanakannya dengan baik. Pada jaman pemerintahannyalah, berbagai fasilitas sosial dan fasilitas umum dibangun. Sebut saja di antaranya Gelanggang Remaja dan kolam renang di seluruh wilayah kota Jakarta. Velodrome, pacuan kuda, Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Mahasiswa dan  Pusat Perfilman, keduanya[5] di kawasan Kuningan. Pasar tradisional yang kumuh mulai dibangun secara permanen.

Masyarakat Jakarta mulai berkenalan dengan  komplek pertokoan modern, kala itu dengan dibangunnya Proyek Senen, Aldiron dan lain-lain. Tidak itu saja, kawasan industri dan Pusat Industri Kecil untuk menampung kebutuhan pertumbuhan tenaga-kerjapun dibangun di Pulogadung dan Cakung. Begitupun dengan kawasan perumahan seperti Taman Solo di Cempaka Putih, Tanah Mas di Rawamangun dan lain-lain.

Perkembangan Jakarta yang sedemikian pesat dan relatif sangat maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia telah menarik penduduk pedesaan untuk mengadu nasib di Jakarta. Tanpa bekal maupun ketrampilan yang memadai, mereka berbondong-bondong berdatangan ke Jakarta dan menghuni sembarang lahan kosong. Entah apakah lahan tersebut berada di bantaran kali, di sepanjang rel kereta api ataupun sekedar secuil lahan kosong di kolong jembatan.

Dari seluruh pertumbuhan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya yang kemudian berdampak pada pertumbuhan jumlah penduduk baik karena pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta itu sendiri karena kelahiran maupun karena peningkatan jumlah pendatang, ada satu benang merah yang mengikat à Ada pengurangan jumlah lahan kosong yang ternyata cukup signifikan. Yang telah menyebabkan menyusutnya jumlah ruang kota berupa rawa, situ, hutan karet dan lahan pertanian yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air hujan.

Kawasan Taman Mini dan Lubang Buaya pada awal tahun 1970an, masih berupa hutan karet yang sepi. Itu sebabnya pelaku pembunuhan pada peristiwa G30S membenamkan para jenderal di sebuah sumur di kawasan tersebut. Bahkan Pondok Indah, kawasan elite di Jakarta Selatan merupakan kebon karet.

Perhatikan juga beberapa nama kawasan di Jakarta yang mencirikan kondisi lingkungannya. Nama-nama Kebon Manggis, Kampung Rambutan, Kebon Melati, Kebon Kacang, tentu sudah menyiratkan kondisi kawasan tersebut. Kawasan Rawasari, Rawaterate, Rawamangun dan lain-lain yang didahului dengan kata rawa, tentu bukan sekedar nama yang diberikan masyarakat setempat, tetapi memang karena daerah tersebut memang masih berupa rawa penampung air. Kawasan pantai utara seperti Muara Karang, Pluit, Kapuk, Pantai Mutiara dan Ancol adalah daerah rawa dan hutan bakau. Begitu pula kawasan Kelapa Gading dan Sunter. Jadi, kalau dilihat kondisinya saat ini kawasan-kawasan tersebut, bisa dibayangkan seberapa besar sudah hilangnya kawasan hijau royo-royo dan rawa penampung air di Jakarta.

Perkembangan kota, memang tidak bisa dihindari. Atas dasar itu pulalah penataan dan pembangunan kota Jakarta, dibarengi oleh bang Ali dengan menata kampung kumuh, membuat RUTR dan disertai dengan perangkat hukum dan administrasi lainnya. Namun sayangnya, niat baik tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana. Perkembangan dan pertumbuhan kota secara fisik selalu berjalan lebih cepat dari perkembangan sosial budaya masyarakat dan masih diperparah dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat masyarakat pendatang terutama mereka yang tidak memiliki ketrampilan yang memadai untuk menunjang kebutuhan hidup di Jakarta. Apalagi, setelah era bang Ali, tidak ada kesinambungan atas apa yang telah dirintisnya.

Di luar masalah hilangnya wilayah penyangga hujan Bopunjur yang semakin hari semakin dipenuhi villa dan resort hotel, ada baiknya kita mengintrospeksi diri. Mencari tahu penyebab banjir yang semakin hari makin tidak terkendali; dengan memulainya dari diri sendiri.

Beberapa kesalahan yang dilakukan masyarakat antara lain; masyarakat pedesaan, tanpa ketrampilan tanpa bekal yang memadai, berbondong-bondong menyerbu Jakarta untuk mencari penghidupan lebih baik. Setelah tiba di ibukota, melakukan penyerobotan dengan menempati lahan kosong, di bantaran kali, tepi rel KA, taman-taman dan bahkan dikolong jembatan. Akibatnya aliran sungai menjadi terhambat, menyempit dan kemudian menjadi dangkal.

Di lain pihak penduduk Jakartapun kerap tidak mematuhi aturan pemerintah daerah berkenaan dengan ketentuan mendirikan bangunan. Ketentuan koefisien dasar bangunan - KDB[6], seringkali dilanggar dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan jumlah anggota keluarga. Perluasan bangunan akhirnya menghasilkan tutupan dasar bangunan yang seringkali memenuhi seluruh luas tanah atau KDB 100%. Akibatnya sudah bisa dipastikan; tidak ada secuil tanahpun yang tersisa sebagai lahan penyerap air hujan.

Kaum berpunya kerap meninggikan ego dengan membangun villa di kawasan penyangga Puncak, membangun rumah dengan luas yang melebihi kebutuhan dasar. Tanpa mau menyadari bahwa “perbuatan”nya itu menyebabkan pengurangan lahan penyangga (green belt) di kawasan Bopunjur.

Andil Pemerintah Daerah untuk “merusak” lingkunganpun, tidak kurang. Pemerintah Daerah selalu terlambat mengantisipasi penyerobotan wilayahnya oleh pendatang, yaitu taman-taman, pedestrian dan jalur hijau dan bahkan sebagian badan jalan untuk dijadikan lokasi berdagang atau tempat tinggal. Ada kesan terjadi pembiaran. Di beberapa tempat terjadi kolusi antara oknum aparat dengan para pendatang sehingga pelaku penyerobotan merasa terlindungi haknya.

Pemdapun selalu terlambat mengantisipasi penyerobotan wilayah bantaran kali, sepanjang rel kereta api dan kolong jembatan yang dijadikan tempat tinggal. Hal ini diperparah dengan kurangnya koordinasi antar aparat atau dinas pemerintah. Adalah suatu keanehan bila pendatang/penyerobot lahan bisa memperoleh sambungan telpon, listrik serta memiliki identitas kependudukan. Ini berlangsung hingga puluhan tahun. Akibat dari kedua kondisi di atas, kala dilakukan penertiban dan pembersihan suatu kawasan, akan selalu terjadi perlawanan keras dari  penghuni.

Di samping hal tersebut, pemda seringkali tidak konsisten memegang aturan penerbitan IMB yang berkaitan dengan KDB dan KLB[7]. Peraturan tata kota mengenai IMB memberikan peluang terjadinya pelanggaran atas KDB maupun KLB, yaitu dengan peraturan mengenai besaran denda pelanggaran. Akibatnya peraturan tersebut seringkali dilanggar. Wilayah Jakarta Selatan[8] yang semula ditujukan sebagai daerah green belt dengan KDB 20%, saat ini sudah menjadi daerah perkotaan dengan KDB 60%. Kawasan jalur hijau seperti Senayan bisa berubah menjadi kawasan komersial dengan KDB  dan KLB tinggi, karena para pengusaha hanya tinggal menghitung ratio besarnya pembayaran denda dengan keuntungan.

Pembangunan infrastruktur terutama jalan dan saluran seringkali mengabaikan hirarkinya sehingga tidak jelas mana jalan/saluran primer atau sekunder. Ataupun kalau ada tetapi tidak terintegrasi secara makro dengan jalan/saluran, kali dan sungai yang membelah kota. Bahkan seringkali jalan dibangun tanpa saluran.

Lebih jauh, pemerintah Indonesia dan pemda setempat terlambat mengantisipasi pembangunan perumahan rakyat secara vertikal, untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Padahal semua orang tahu bahwa luas lahan tidak akan bertambah. Pembangunan rumah (landed house) di Jakarta, sejak dua atau tiga dekade yang lalu seharusnya sudah harus dibatasi dengan ketat. Landed house seharusnya hanya dibangun di wilayah perkotaan dengan KDB 20% yang dijaga ketat. Sedangkan di wilayah kota dengan KDB 60% sudah harus dibangun hunian vertikal.

Banjir yang semakin membesar dan meluas dari tahun ke tahun hanyalah merupakan akumulasi dari berbagai ketidakpedulian serta egoisme masyarakat terhadap lingkungan hidup serta kebutuhan komunalnya. Adanya celah pada peraturan pemerintah berupa denda pelanggaran telah mengakibatkan pemerintah daerah tidak konsisten memegang aturan yang dibuatnya. Ditambah lagi dengan keterlambatan pemerintah mengantisipasi berbagai dampak pembangunan yang dilakukannya. Sesuai dengan simbol materialitis, pembangunan lebih banyak dilakukan secara fisik dan ditujukan untuk meningkatkan nilai ekonomi. Pembangunan non fisik berupa moral, etika dan norma seringkali dilupakan. Apalagi ada kesan bahwa pembangunan yang berhasil hanya dilihat secara fisik saja. Melupakan bahwa pembangunan atau minimal mempertahankan kawasan hijau untuk keseimbangan lingkungan hidup merupakan bagian dari pembangunan fisik itu sendiri.

Banjir hanyalah bagian kecil dari dampak akumulasi kerusakan di berbagai bidang baik fisik, lingkungan dan moral yang sudah berjalan bertahun-tahun. Bisa jadi sudah lebih dari 30 tahun. Untuk memperbaikinya, tentu diperlukan banyak waktu dan kerja keras yang terus menerus. Tanpa maksud membela, akumulasi kerusakan selama 30 tahun tidak mungkin diperbaiki hanya dalam waktu 100 hari program kerja seorang Fauzi Bowo. Bahkan untuk mengantisipasinyapun diperlukan waktu yang cukup panjang.

Kontributor kerusakan lingkungan bukan hanya pemerintah daerah saja, tetapi juga para pengusaha dan masyarakat dari berbagai strata sosial itu sendiri. Untuk memperbaikinya, harus ada kerjasama dan saling pengertian dari seluruh stake holder. Harus ada kemauan untuk mengekang diri dari keinginan menonjolkan egoisme untuk mulai memikirkan kepentingan bersama. Ada pengertian dan kepercayaan dari seluruh stakeholder bahwa penertiban, pembersihan dan pembenahan dilakukan semata-mata untuk kepentingan bersama. Kepentingan kita sekarang dan terutama kepentingan bagi generasi yang akan datang. Inipun harus dilakukan secara bertahap, gradual dalam berbagai aspek pendekatan. Jalannya masih sangat panjang. Entah apakah kita masih mampu melakukannya?

Minggu 10 Februari 2008, debut du jour 00.35




[1] mass rapid transportation
[2] rencana umum tata ruang
[3] Rencana bagian wilayah kota
[4] Ijin mendirikan bangunan
[5] Saat ini keduanya dikuasai oleh kelompok Bakrie, dikenal dengan nama Pasar Festival
[6] perbandingan antara luas dasar bangunan dengan luas lahan seluruhnya
[7] Koefisien lantai bangunan, yaitu perbandingan antara total luas bangunan dengan luas tanah
[8] Khususnya Jakarta Selatan di luar outer ring road (Cilangkap - jl TB Simatupang – RA KArtini)

8 komentar:

  1. banjir jkt sekarang udah everyday, di mana ada hujan di situ ada banjir, udah bukan periode 5 taonan lagi......
    banjir udah menyambut di awal taon visit indonesia year 2008, emang oke punya negara kita ! :P

    BalasHapus
  2. Horeee,.... kebon manggis (kelurahan saya) disebut dahuluan,..... aduh senengnyaa.... :-p dan lbh senang lagi karena kebon manggis awal februari lalu tidak ikutan kena banjir spt thn 2002 dan 2007, Alhamdulilah....

    Mengenai banjir di Jakarta,.. penyebabnya kok banyak bgt yaa?? kmrn Pak Fauzi Bowo menyalahkan sistem drainase dan jg kebiasaan buang sampah ke sungai dan selokan. Tp setelah baca tulisan diatas,.. waaawww ... banyak bgt ya penyebabnya.... Pfuuiihhhh. Mungkin yg bs diupayakan pemda saat ini adalah mengurangi efek banjir yaa?? kalo menghilangkan(mencegah) banjirnya sendiri gmn yaa??

    BalasHapus
  3. Long way to go Iskar.... Mesti sabar, tulus mengerjakannya. Panjang banget masalah yang mesti diberesin. Jadi saya sih maklum aja kalo banjir masih melanda Jakarta. Malah jadi kasihan pada orang yang dengan gagah berani bilang bisa mengatasi banjir di Jakarta. Itu tandanya dia nggak ngerti masalahnya.

    Sedih ya kalo kita tahu bahwa penyebab banjir bukan sekedar disebabkan kita membuang sampah ke kali. Semua golongan masyarakat, secara sadar atau tidak sadar sudah menjadi kontributor banjir.

    BalasHapus
  4. mungkin ada baiknya kalau kita mulai dari diri sendiri untuk mengurangi banjir ya mbak. Dengan tidak membuang sampah sembarangan, membuat sumur serapan, membuat lubang biopori, atau yang paling sederhana membuat tanah terbuka di halaman( tidak disemen) agar air masih bisa terserap ke dalam tanah

    BalasHapus
  5. Setuju Murni. Di rumah saya, semua air masuk tanah lagi. Di sudut ada lubang untuk buang daun2an. sebulan sekali daunnya diambil untuk pupuk. Lumayan dapat pupuk gratis ... hehehe

    BalasHapus
  6. Ini bukan gagah berani, tapi gagah-gahan. Mungkin benar dia gak ngerti masalahnya. Tapi demi untuk cari simpati ia akan ngomong begini. Dan biasanya omongan seperti ini disampaikan pada saat kampanye untuk menarik simpati.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...