Senin, 04 Februari 2008

Cerita di balik Pilkada

Dalam suatu jeda pada kesempatan rapat di kantor group media di daerah kedoya, kami sempat ngobrol dengan seorang teman tentang berbagai pelaksanaan pilkada. Terutama tentang pertarungan calon pejabat, yaitu antara calon incumbent, saingan terberat dan sang underdog.

Ini sebuah cerita nyata yang dibawa temanku dari sebuah kabupaten di Jawa Timur. Konon, seorang calon incumbent dari partai hijau yang katanya membelot mencari dukungan merah, yang mencalonkan diri lagi, bersaing sangat ketat dengan ketua dprd setempat dari partai kuning. Melupakan bahwa di luar mereka berdua, masih ada underdog yang baru sebulan menjelang kampanye berketetapan untuk bertarung, dari partai biru. Keduanya sudah sangat mengenal dengan baik masing–masing kelebihan dan kekurangan lawan politiknya. Entah siapa campaign manager masing-masing pihak dan entah apa yang ada dibenak mereka dalam upaya “menjual” calonnya, yang pasti … keduanya terlibat dalam black campaign.

Sang incumbent menyerang saingannya dengan mengungkapkan kehidupan pribadinya. Bahwa sang ketua dprd tersebut telah melakukan poligami. Padahal, kehidupan seksual si incumbent pun tidaklah bersih. Dia diketahui selalu minta disediakan fully service dari seorang ladyescort, saat berkunjung ke Jakarta. Mungkin dipikirnya…. biarlah, toh tidak dilakukan di hadapan rakyatnya. Sementara saingan berat ini dengan lantang menuduh incumbent melakukan berbagai penggelapan dana apbd untuk memperkaya diri. Padahal … pikiran yang waraspun bisa berhitung darimana dana yang diperlukan si ketua dprd itu untuk membiayai dua rumahtangganya. Itu kalau tuduhan poligami, benar adanya.

Begitu konon suasana kampanye di kota tersebut sebagaimana yang diceritakan oleh SSP. Di samping itu, kampanye tidak lupa juga diwarnai dengan upaya-upaya “membeli suara” melalui perang gerilya dan serangan fajar. Entah berapa karung dana yang harus disiapkan dan entah dari manapula mereka memperoleh dukungan dana tersebut. Maklumlah, kedua calon pejabat itu merupakan murid yang baik dari penerus perilaku generasi orde baru.

Pada hari yang telah ditentukan …. dengan pongah dan percaya diri sang incumbent memantau pemilihan. Sangat yakin bahwa dirinya akan terpilih lagi. Apa yang kurang? Potensi daerah sudah hafal luar kepala. Program kerja, entah sekedar untuk tebar pesona dan angin surga atau betul ikhlas akan dilaksanakan, sudah diumpankan kepada masyarakat. Berbarengan dengan serangan fajar para pendukungnya. Bahkan hasutan telah dibisikkan ke telinga para kawula di segala penjuru kabupaten.

Tapi, impian tinggal impian….! Bahkan keyakinan bisa jadi hanya fatamorgana, karena manusia tidak boleh mendahului kehendak sang Dalang Agung. Allah SWT punya rencana tersendiri yang tidak bisa ditipu dan ditelikung manusia. Ternyata si underdog yang menguasai medan pertarungan. Dengan persiapan seadanya dalam satu bulan saja. Dengan bekal keuangan yang sangat minim akhirnya dia memperoleh keuntungan maksimal dari pertarungan dua gajah yang saling membuka borok masing-masing. Rakyat ternyata tidak bodoh…. Ajaran “ambil duitnya, pilih yang lain” diterapkan dengan sangat pas!

Namun cerita tidak berhenti di situ. Usai pilkada, sms mulai berseliweran dari berbagai pihak yang merasa diri “berjasa” mengantarnya menjadi pemenang pilkada. Bahkan dari orang-orang yang tadinya bersebrangan. Semua titip diri dan kepentingan agar diingat kala pejabat baru menyusun “kabinet”. Tidak itu saja ….. sang pejabat yang belum menerima SK dan tentunya belum dilantik juga pusing tujuh keliling. Sang incumbent “ngambek”. Mogok dari kegiatan dan tugas rutin yang harus dikerjakan. Bahkan sekedar menghadiri acara seremonialpun, enggan dilakukannya. Padahal, sebelumnya dia dan istrinya tak pernah absen menebar pesona kesana-kemari.

Alasannya sangat klasik! Sudah demisioner… begitu selalu yang dikatakan. Padahal …., asalkan tidak membuat suatu kebijakan atau keputusan strategis dan kalau saja ada niat tulus bekerja untuk kepentingan rakyat, bukankah dia masih memiliki kewajiban menyelesaikan dan menuntaskan pekerjaannya hingga penggantinya dilantik.

Kalau saja hatinya ikhlas dan bersih seperti kita selalu menyatakan … bekerja semata-mata karena Allah semata, maka kalaupun ada kebijakan strategis yang sangat urgent diambil di masa demisioner, dia bisa saja berembug dengan pejabat terpilih untuk menyelesaikannya.
Tetapi begitulah kenyataannya. Entah dimana dia kemudian. Ruang kerjanya sudah langsung bersih sesaat setelah kpud mengumumkan hasil resmi pilkada. Mungkin dia sedang menyesali cara kampanye yang telah ditempuhnya. Bisa jadi, dia sedang berhitung berapa besar dana yang telah dikeluarkan untuk biaya kampanye. Sibuk berhitung darimana dana pembayar hutang yang harus disediakan. Atau, kalau benar tuduhan pesaingnya, bagaimana menambal apbd yang disedotnya untuk kepentingan pribadi agar dia terlepas dari kemungkinan jerat hukum. Akan halnya sang pemenang, diapun tak  kalah pusingnya. Bingung, karena tidak mengira akan terpilih.

Mengamati perilaku mantan pejabat dan pejabat terpilih di masa demisioner, mungkin sangat menarik. Keduanya menjadi salah tingkah …. The winner mungkin merasa salah tingkah, takut menyinggung perasaan the looser. The looser merasa “sudah habis” entah karena habis betulan …. Duitnya habis untuk kampanye dan membeli suara. Malu, mungkin …karena sudah terlalu percaya diri dan begitu meremehkan saingannya.

Mungkin mestinya, ditetapkan saja bahwa suatu jabatan hanya bisa dipegang selama satu periode saja. Tapi, apa mungkin? Suatu jabatan selalu diikuti dengan sebuah power. Kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Kekuasaan untuk memerintah dan karenanya membuat orang lain menjadi patuh. Kekuasaan itu tidak hanya untuk dirinya sendiri. Bahkan mungkin bagi istri maupun anak-anaknya bila aturan protoler diberlakukan.
Bagi segelintir orang, memiliki kekuasaan merupakan suatu kenikmatan yang tiada tara. Yang selalu ingin dinikmati, terus dinikmati. Hingga lupa bahwa suatu waktu, cepat atau lambat kekuasaan itu harus dilepaskan. Maka lupa dirilah dia. Apalagi kalau sang penguasa dikelilingi oleh para punakawan yang selalu membisikkan …”pak … rakyat masih mendukung bapak. Masih menginginkan bapak memegang jabatan itu”. Waduh lupa dirilah dia.

Mungkin sudah saatnya ada suatu aturan protokoler yang berisi what should be done or not be done selama masa demisioner baik bagi pejabat lama maupun pejabat terpilih. Agar keduanya tahu bagaimana menempatkan diri. Tetapi terlepas dari keduanya … kalau saja ucapan bahwa semua pekerjaan dan jabatan yang kita sandang semata-mata hanya karena Allah semata …. Lillahi ta’Ala. Maka….. tidak perlu ada dusta di antara kita….. (kagak nyambung banget, ya akhirnya)

Lebak bulus, minggu 3 februari 2008 dinihari jam 01.25



3 komentar:

  1. Judulnya menarik, tapi isinya tidak menggambarkan judulnya. ya Bu?

    BalasHapus
  2. Jujur saja, saya juga bingung mau ngasi judul apa? Suksesi kalau diartikan pergantian pejabat dari pejabat lama ke yang baru ... yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pejabat lama, judulnya bisa betul. Karena itu yang saya maksudkan dengan suksesi yang sukses Cuma... memang karena terlalu banyak maunya saat nulis, jadi kacau balau deh. Mungkin mesti di edit lagi, tapi sudah terlanjur malas.

    BalasHapus
  3. Jujur saja, saya juga bingung mau ngasi judul apa? Suksesi kalau diartikan pergantian pejabat dari pejabat lama ke yang baru ... yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pejabat lama, judulnya bisa betul. Karena itu yang saya maksudkan dengan suksesi yang sukses

    Cuma... memang karena terlalu banyak maunya saat nulis, jadi kacau balau deh. Mungkin mesti di edit lagi, tapi sudah terlanjur malas. Ya apa boleh buatlah...

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...