Dari banyak kisah tentang para sahabat rasul, kisah keteguhan Umar ibn Khattab dalam memegang amanah yang dipercayakan kepadanya, sering disitir para khatib.
Konon, selama masa pemerintahan Umar ibn Khattab, beliau seringkali menyelinap keluar rumah untuk keliling kota. Mendengarkan secara langsung suara hati rakyat, apakah mereka memang sudah terpenuhi kebutuhannya. Beliau sangat takut akan murka Allah SWT, seandainya amanah yang dipercayakan kepadanya ternyata membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Di suatu rumah, Umar tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sayup-sayup terdengar suara seorang ibu sedang membujuk anak-anaknya yang menangis kelaparan. Umar mendekat dan mengintip apa yang sedang terjadi :
"Tunggulah nak, ... ibu sedang menanak beras dan membuatkan sup untuk kalian", begitu bujuknya seraya berlinangan airmata. Di hadapannya ada sepanci air sedang dijerang yang diisinya dengan beberapa butir batu. Sang ibu sedang memberikan kesan memasak, sambil berharap anak-anaknya lelah menangis lalu segera tertidur.
Demi melihat pemandangan itu, terkejutlah Umar, lalu bergegas kembali ke rumahnya, segera dibukanya baitul maal. Diambilnya sekarung beras dan dipanggulnya karung itu. Pengawal yang ingin membantunya, ditolak :
"Biarkan kupanggul karung beras ini. Ini masih lebih baik daripada murka Allah SWT yang harus kutanggung karena melalaikan kepentingan rakyat yang menjadi tanggung jawabku". Begitulah... Umar ibn Khattab kembali kerumah keluarga miskin itu, lalu memberikan sekarung beras kepada ibu tersebut, tanpa membuka identitas dirinya.
*****
Itulah salah satu kisah keteladanan sang khalifah dalam mengemban amanah.
Ratusan tahun kemudian .... di suatu negara yang tanahnya sangat subur. Tempat dimana orang-orang Arab mengidentifikasikannya sebagai surga dunia. Dimana air mengalir jernih, hutan tropis dan berbagai sumber daya mineral berlimpah ruah. Di sebuah kota, tempat kelahiran dan asal wakil presiden. Salah satu dari petinggi negara yang menerima amanah untuk mensejahterakan rakyat telah terjadi suatu tragedi.
Seorang ibu hamil 7 bulan dan seorang anaknya terpaksa meregang nyawa. Satu anaknya yang lain sempat terselamatkan. Media massa ramai memberitakan tragedi tersebut. Walikota, penguasa daerah mungkin merasa dipermalukan oleh tragedi tersebut. Segera digelar press conference untuk mengklarifikasikan tragedi tersebut.
"Kematian Basse dan anaknya serta musibah yang diderita anaknya yang lain disebabkan oleh Muntaber. Bukan karena kelaparan. Pemerintah Daerah telah mengambil langkah yang diperlukan dan akan menanggung seluruh biaya. Kejadian ini sudah dipolitisasi." Begitu inti pernyataan pemerintah daerah.
Seakan tidak ingin disalahkan, jajaran pemerintah daerah balik mempermasalahkan keluarga tersebut. Basri, sang kepala keluarga yang berprofesi sebagai penarik beca dianggap tidak "tertib" lapor diri sehingga tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Akibatnya yang bersangkutan tidak dapat memperoleh bantuan tunai langsung yang dibagikan oleh pemerintah.
Aduhai... sudah sengsara, dipersalahkan pula. Tidak adakah sedikit kerendahan hati dari para penguasa itu untuk menyatakan "Kami lalai memperhatikan kasus ini, Mohon maaf dan semuanya akan ditanggung pemerintah. Kami akan melakukan perbaikan dan tindakan-tindakan yang layak agar kasus yang memalukan ini tidak terulang lagi".
Jangankan meniru apa yang dilakukan Umar ibn Khattab. Sekedar menyampaikan permintaan maaf kepada para korban saja, para penguasa di Indonesia tidak sudi melakukannya.
Malangnya nasib rakyat Indonesia...
Konon, selama masa pemerintahan Umar ibn Khattab, beliau seringkali menyelinap keluar rumah untuk keliling kota. Mendengarkan secara langsung suara hati rakyat, apakah mereka memang sudah terpenuhi kebutuhannya. Beliau sangat takut akan murka Allah SWT, seandainya amanah yang dipercayakan kepadanya ternyata membawa kesengsaraan bagi rakyat.
Di suatu rumah, Umar tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sayup-sayup terdengar suara seorang ibu sedang membujuk anak-anaknya yang menangis kelaparan. Umar mendekat dan mengintip apa yang sedang terjadi :
"Tunggulah nak, ... ibu sedang menanak beras dan membuatkan sup untuk kalian", begitu bujuknya seraya berlinangan airmata. Di hadapannya ada sepanci air sedang dijerang yang diisinya dengan beberapa butir batu. Sang ibu sedang memberikan kesan memasak, sambil berharap anak-anaknya lelah menangis lalu segera tertidur.
Demi melihat pemandangan itu, terkejutlah Umar, lalu bergegas kembali ke rumahnya, segera dibukanya baitul maal. Diambilnya sekarung beras dan dipanggulnya karung itu. Pengawal yang ingin membantunya, ditolak :
"Biarkan kupanggul karung beras ini. Ini masih lebih baik daripada murka Allah SWT yang harus kutanggung karena melalaikan kepentingan rakyat yang menjadi tanggung jawabku". Begitulah... Umar ibn Khattab kembali kerumah keluarga miskin itu, lalu memberikan sekarung beras kepada ibu tersebut, tanpa membuka identitas dirinya.
*****
Itulah salah satu kisah keteladanan sang khalifah dalam mengemban amanah.
Ratusan tahun kemudian .... di suatu negara yang tanahnya sangat subur. Tempat dimana orang-orang Arab mengidentifikasikannya sebagai surga dunia. Dimana air mengalir jernih, hutan tropis dan berbagai sumber daya mineral berlimpah ruah. Di sebuah kota, tempat kelahiran dan asal wakil presiden. Salah satu dari petinggi negara yang menerima amanah untuk mensejahterakan rakyat telah terjadi suatu tragedi.
Seorang ibu hamil 7 bulan dan seorang anaknya terpaksa meregang nyawa. Satu anaknya yang lain sempat terselamatkan. Media massa ramai memberitakan tragedi tersebut. Walikota, penguasa daerah mungkin merasa dipermalukan oleh tragedi tersebut. Segera digelar press conference untuk mengklarifikasikan tragedi tersebut.
"Kematian Basse dan anaknya serta musibah yang diderita anaknya yang lain disebabkan oleh Muntaber. Bukan karena kelaparan. Pemerintah Daerah telah mengambil langkah yang diperlukan dan akan menanggung seluruh biaya. Kejadian ini sudah dipolitisasi." Begitu inti pernyataan pemerintah daerah.
Seakan tidak ingin disalahkan, jajaran pemerintah daerah balik mempermasalahkan keluarga tersebut. Basri, sang kepala keluarga yang berprofesi sebagai penarik beca dianggap tidak "tertib" lapor diri sehingga tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Akibatnya yang bersangkutan tidak dapat memperoleh bantuan tunai langsung yang dibagikan oleh pemerintah.
Aduhai... sudah sengsara, dipersalahkan pula. Tidak adakah sedikit kerendahan hati dari para penguasa itu untuk menyatakan "Kami lalai memperhatikan kasus ini, Mohon maaf dan semuanya akan ditanggung pemerintah. Kami akan melakukan perbaikan dan tindakan-tindakan yang layak agar kasus yang memalukan ini tidak terulang lagi".
Jangankan meniru apa yang dilakukan Umar ibn Khattab. Sekedar menyampaikan permintaan maaf kepada para korban saja, para penguasa di Indonesia tidak sudi melakukannya.
Malangnya nasib rakyat Indonesia...
Madame Lina, ca va...? Mudah-mudahan masih ingat ya sama aku. Ex anggota kelas conversation di CCF yang udah lama gak muncul2 lagi di CCF... hiks..hiks.. Artikelnya bagus sekali madame. Saya terharu dan sedih banget bacanya... Itulah kenyataan yang ada di negeri kita yang tercinta ini... Aduhai... indahnya jika para pemimpin di negeri kita mengambil teladan dari Umar ibn Khattab... tentunya rakyat negeri ini tidak ada yang sengsara dan terlantar... Dan jika para pemimpin kita memiliki hari selembut Umar ibn Khattab tentunya mereka setiap malam akan menangis dan meratapi nasib mereka yang buruk karena telah menelantarkan rakyatnya dan harus menanggung tanggung jawab kepemimpinan mereka ke hadapan Allah nanti... Alors..., qu'est qu'on doit faire, madame?
BalasHapusfranchement, je n'en sais rien.
BalasHapusSuatu pelajaran bagi yang mau mengerti.
BalasHapusSemoga kita termasuk orang yang mau mengerti
BalasHapus