Suatu hari, dengan raut wajah yang sukar diterka, seorang teman bercerita; dia baru saja menemani suaminya memenuhi panggilan Polda. Kasus yang dihadapi sangat menampar harga dirinya. Suaminya diadukan seorang perempuan atas dua hal; pertama ingkar janji untuk menikahi perempuan tersebut dan yang kedua ‘pemaksaan” atas pengguguran kandungan perempuan tersebut.
Bak selebriti, wartawan yang biasa mangkal di polda berkerumun berusaha mewawancarai kedua belah pihak yang berseteru. Temanku sendiri baru tahu kasus tersebut beberapa hari sebelumnya saat panggilan itu datang ke tempat kediaman mereka. Pada saat yang bersamaan itu pulalah sang suami membuka masalah yang dihadapinya beserta kronologis peristiwanya.
Sang suami lahir dari keluarga yang tercerai-berai. Orangtuanya bercerai karena bapaknya yang “pejabat tinggi” group suatu perusahaan yang cukup terkenal di Indonesia , dengan status finansialnya yang cukup kuat, senang bermain perempuan. Itu sebabnya ibunya memilih bercerai dan membalas perilaku suaminya dengan mengawini lelaki yang lebih muda. Tinggallah anak-anaknya hidup sendiri, tumbuh besar tanpa pengasuhan orangtua.
Temanku berasal dari keluarga yang terlihat dari luar cukup harmonis. Bapaknya perwira menengah sedang ibunya sempat menjadi pejabat tinggi di Negara ini.
Pasangan ini bertemu di universitas, menikah hingga memiliki 3 orang anak. Tampaknya, usai menikah, temanku mengikuti jejak ibunya. Aktif di organisasi sosial dan politik sedangkan suaminya membantu usaha sang mertua. Walaupun bidang usaha dan kerjanya sangat bertolakbelakang dengan latar belakang pendidikannya, kelihatannya sang suami sangat larut dengan pekerjaannya. Mungkin di keluarga si istri dia merasa telah menemukan naungan kekeluargaan yang guyub. Sesuatu yang tidak ditemukannya di keluarganya yang telah tercerai berai.
Secara materi, mereka hidup sangat berkecukupan. Usaha keluarga sangat menunjang gaya hidup kelas atas. Rmah besar tidak hanya di Jakarta , juga di luar negeri. Liburan di luar negeri sambil menikmati rumah yang mereka miliki di beberapa kota dunia, belanja barang-barang bermerek menjadi keseharian gaya hidup mereka. Sebagai pekerja di perusahaan keluarga, sang suami memiliki gaji. Namun tentu saja gaji tersebut tidak sebanding dengan pengeluaran keluarga. Katakanlah; gaji yang diterimanya itu hanya sebagai uang saku anggota keluarga. Yang digunakan untuk keperluan pribadi Bukan sebagai penghasilan yang digunakan untuk menghidupi keluarganya, karena pos pengeluaran rumah tangga sudah dipenuhi oleh keluarga besar si istri.
Situasi seperti ini menyebabkan sang suami “terlepas” dari kewajiban menafkahi anak-isterinya. Ditambah lagi, perbedaan lingkungan pergaulan antara suami dan istri bagikan langit dan bumi. Si istri bergaul dikalangan elit Jakarta dan bahkan bersahabat dekat dengan berbagai kalangan pejabat tinggi negeri ini sementara sang suami tidak pernah keluar dari cangkang keluarga. Lama kelamaan, komunikasi mereka menjadi terhambat. Masing-masing berjalan sendiri dan semakin menjauh. Suami merasa “kerdil” di lingkungan gaul istrinya dan berusaha mencari tempat gaul dimana dia menjadi diri sendiri, dihargai sebagai manusia utuh bukan menjadi sub ordinate siapapun.
Dalam kondisi seperti itulah, dia berkenalan dengan perempuan di tempat dimana dia menghabiskan malam-malam sepi sementara sang istri sibuk dengan teman gaulnya. Dengan perempuan itu, dia kemudia menjadi “hidup” dan menikmati keberadaan sebagai “lelaki”, sebagai focal point. Menjadi lelaki yang "dibutuhkan", tempat bergantungnya seorang perempuan. Dimana dia memperoleh pengakuan atas eksistensinya sebagai manusia.
Hubungan ini berlanjut semakin dalam. Bahkan, diam-diam, perempuan itu sudah dibawanya ke pertemuan di lingkungan keluarganya. Hal ini sangat mudah dilakukan karena kesibukan gaul sang istri menyebabkan si istri jarang hadir dalam pertemuan keluarga suami. Hingga akhirnya terjadilah “petaka” itu. si perempuan hamil dan lelaki tersebut “kaget” dan tidak siap menghadapi buah perbuatannya.
Tentu si lelaki tidak siap. Menikahi perempuan itu dan atau bercerai dengan istrinya berarti dia kehilangan kenyamanan hidup. Apalagi, alih-alih “memarahi” menantu yang sudah “membuat malu” keluarga dengan menghamili perempuan lain, ibu mertuanya yang berasal dari Jawa malah memarahi anak perempuannya sebagai perempuan yang tidak mampu "menjaga" suami. Prinsip khas keluarga tradisional Jawa. Itu sebabnya dalam keadaan kalut, si suami berlindung di ketiak sang istri untuk menyelesaikan perseteruan dengan the other woman. Entah deal apa yang disepakati, pendek kata, the other woman “tidak berhasil” meminta pertanggungjawaban dan kasus ditutup begitu saja.
Konon usai peristiwa tersebut, pasangan ini bercerai. Walau demikian, bekas suami masih tetap “berlindung” dalam naungan ibu mertua.
nurutku, pasangan ini sama2 punya andil atas kehancuran rt nya, sama2 salah
BalasHapusbtw kalo sering2 baca blog Mme Lina, lama2 kita jadi psikolog deh, ato konsultan rt? ha ha
BalasHapusYang pasti, mempertahankan biduk rumahtangga memang nggak mudah, karena masing-masing pihak berkembang. kalau salah satu nggak bisa ngikutin, ya akhirnya ketinggalan dan menimbulkan banyak masalah
BalasHapusNggak apa2 kan Jean... belajar memahami masalah orang. siapa tahu ada manfaatnya buat kita
BalasHapusSetuju sama Mbak Lina. Pengalaman adalah guru yang paling baik, gak perlu mengalami sendiri lah, membaca pengalamn orang juga banyak belajarnya.
BalasHapusCeritanya agak klise, sperti dalam sinetron atau novel "escape". Tapi kasus seperti memang banyak terjadi, tentunya banyak yang bisa diambil pelajaran baik oleh lelaki atau oleh perempuan.
BalasHapusIya memang klise banget. Tapi ini memang kejadian nyata. Mempertahankan jalannya rumahtangga memang nggak mudah
BalasHapusmbak lina ceritanya hampir sama dengan slh satu org yg sy kenal..bedanya perempuan lain tsb dinikahi.....meskipun dgn istri lama bercerai tetapi sang suami tetep bekerja ditempat yg istri lama bnyk berperanan..ya tp itu seakan-akan ada 2 nahkoda...jd intinya sbg istri jgn terlalu ngelunjak ya kalau punya kekuasaan&harta shg mnjadikan suami rendah diri...tapi sbg suami jg jgn nikah lg sbg pelariannya..kecuali mmg si istri benar2 susah diatur...baideweh kisah kayak gini seneng bacanya..soalnya bukan fiksi....
BalasHapussaya pikir, sebabnya karena secara tradisi dan agama, lelaki memang diposisikan sebagai imam dan kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap materi dan kehidupan rohani. Jadi saat si istri berperanan lebih penting dan dia merasa harus juga memiliki hak yang lebih (bertukar peran?) atau minimal punya hak dan kewajiban yang sama, maka benturan akan terjadi
BalasHapussi suami gak punya prinsip sih kalo gue bilang ... :)
BalasHapusMungkin produk broken home ya Mas....Tidak mendapat contoh dari orangtuanya bagaimana seorang lelaki bersikap dalam rumahtangga
BalasHapus