Senin, 26 Mei 2008

Problematika Rumah Tangga : Kasus 5 - Persaingan dalam negeri

Pernikahan adalah penyatuan dua hati. Bersatunya dua mahluk yang datang dari dua keluarga dengan berbagai kebiasaan dan hasil serta cara didik orang tua yang berbeda. Pernikahan juga menyatukan dua manusia yang memiliki sifat, kebiasaan dan kegemaran berbeda pula.

Mengapa mereka memutuskan untuk bersatu? Mungkin ini rahasia Allah SWT. Persatuan yang kokoh, ternyata bisa terjadi kalau ada dua benda yang dibentuk berbeda, kemudian dikaitkan. Maka kaitan itu akan lebih kuat, dibandingkan dengan dua bidang yang lurus. Lihat saja bagaimana cara tukang kaku menyambungkan dua batang kayu, atau lambang yin-yang yang berputar harmoni.

Saat masih dalam tahap pacaran, kedua manusia selalu mencari kecocokan. Kalaupun ada perbedaan, maka mereka akan selalu mencari titik temu. berusaha saling menyesuaikan diri atau minmal berharap suatu waktu sang pacar akan berubah. Kadangkala salah satu dengan senang hati mengalah. Keduanya berusaha untuk saling mengerti, bertenggang rasa dan memahami pasangannya. Namun, entah apa sebabnya, usai honey moon kondisi saling mengerti, bertenggang rasa dan memahami pasangannya sukar terpelihara dengan baik dan malah cenderung memudar secara perlahan untuk kemudian ego personal mulai timbul.


Paradigma lembaga pernikahan yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia, umumnya menempatkan posisi istri "selangkah" di belakang suami. Jarang ada suami yang "mampu" menerima istri melangkah di depan, Di antara perempuan yang melangkah di depan suami , seringkali terdengar gunjingan tak sedap di belakangnya. Rumah tangga mereka tidak seindah yang diperlihatkan atau terlihat di mata publik.



“Terlalu banyak kualitasmu, sehingga suamimu mungkin merasa terancam eksistensinya”, jawaban itu keluar begitu saja, menanggapi curahan hatinya saat kami duduk di cafe yang berada di sebuah gedung pertunjukan usai menyaksikan Chris Botti baru-baru ini.

"Saya sudah mengorbankan banyak hal, mbak. Termasuk mengorbankan study saya. Saya merelakan study saya terputus dengan resiko "dimarahi dan dimusuhi" supervisor saya. Saya mengabaikan tawaran memperoleh gelar PhD dari riset yang tinggal satu tahun lagi, karena saya tidak mungkin meninggalkan kewajiban saya sebagai istri dan ibu bagi ke dua anak saya. Jadi, kenapa mbak berpikir saya mengancam eksistensi suami? ", sahutnya panjang lebar.

“Kembali ke Indonesia, saya bekerja dan memilih jalur yang berbeda dengan suami. Suami di pemerintah dan saya mengambil jalur swasta dengan harapan tidak terjadi benturan atau persaingan dalam menempuh karir. Namun semuanya ternyata belum cukup, entah kenapa suamiku seperti berdiri tanduknya kalau berpapasan di rumah “, lanjutnya lagi.

“Itulah … kemampuanmu yang sangat tinggi itu tidak bisa ditutup-tutupi dan dihambat oleh gelar yang biasa saja atau bidang pekerjaan yang kelihatannya tidak bergengsi. Cepat atau lambat, semua orang akan melihat itu. Lingkup gaulmu juga bukan sembarangan. Kamu bisa masuk dimana saja, di akar rumput hingga elit negeri. Dari kelurahan sampai tingkat menteri bahkan dari pelosok desa hingga ke Washington DC. Tidak banyak lelaki yang sanggup berbesar hati melihat kesuksesan dan mendukung kegiatan istrinya. Kebanyakan dari mereka lebih suka perempuan berperan sebagai subordinate dari eksistensinya dan menurutku, suamimu termasuk golongan terakhir ini”

“Tapi, bagaimana mungkin mbak … Dia kenal saya sejak kami masih kuliah. Dia tahu persis siapa saya … Apa yang saya raih sekarang merupakan rangkaian dari apa yang saya lakukan dan raih sejak jaman kuliah dulu!”

Ada perbedaan besar antara saat berpacaran dan kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat dan berkarir saat kita sudah berumahtangga. Saat muda, mungkin ada suatu kebanggaan bagi seorang lelaki yang mampu menaklukkan hati perempuan yang cantik dan berprestasi. Namun kebanggaan itu bisa berubah drastis saat sudah menikah. Si lelaki yang secara tradisional mempersepsikan diri sebagai focal point dalam kehidupan rumahtangga belum tentu rela melepaskan posisi itu kepada istrinya, apalagi bila ternyata si istri betul-betul cemerlang. Bekerja dengan posisi yang tinggi, memiliki penghasilan yang jauh lebih tinggi, lingkup pergaulan elite dan lain-lain. Kesemuanya diraih si istri semudah membalikkan telapak tangan, Sementara si suami terseok-seok meraih karir, kasak-kusuk kesana kemari. Aku lihat, begitulah kondisimu. Kamu adalah salah satu perempuan cemerlang”

“Lalu … apa yang mesti saya lakukan, mbak? Berhenti bekerja …? Apa itu akan menyelesaikan masalah, sementara kehidupan kita semakin mahal dan anak-anak membutuhkan biaya yang tinggi”

“Ya…, bisa jadi itu merupakan salah satu jalan keluar. Minimal, cobalah berbicara dari hati ke hati. Cari akar masalahnya lalu tawarkan jalan keluar untuk membangun kesepakatan bersama lagi. Ya… ibaratnya kan seperti kontrak kerjasama kita di kantor, lah… Diperbaharui bila ada kekeliruan, ada addendum dan lain-lainnya. Hidup berumahtangga rasanya bisa dianalogikan dengan kontrak membentuk rumahtangga seumur hidup. Jadi wajar saja kalau dilakukan evaluasi dan kesepakatan-kesapakatan baru untuk kemudian dilakukan perubahan”.

“Ah, mbak …. Jangankan mau mengevaluasi, ngobrol santai aja nggak pernah. Suamiku, seperti yang kubilang berdiri tanduknya kalau aku ada di rumah. Agresif dan selalu berupaya menyakiti hatiku dengan tindak-tanduk dan ucapannya. Komunikasi kami sepertinya sudah buntu”

“Melalui tulisan, mungkin…?”

“Aku sudah berusaha banyak, mbak! Melalui sms, email …. Jawabnya pendek. Suamiku menjawab tulisanku begini; aku ingin diam and please, don’t bother me…!”

AND …. I’m really speechless. Sepertinya sudah tidak ada jalan keluar.

4 komentar:

  1. mb Lina...saya sering denger kasus ini juga untuk tmn2x saya yg karirnya cemerlang(prp).Kalau di luar negri sptnya biasa saja melihat si istri lebih "high" dari suami.Kalau saya lihat tmn2x kuliah di UI dulu yg skrg sdg meneruskan sekolah S2 or PhD program di abroad dan blm punya pasangan,mrk mencoba menjalin hub dgn non Indonesia.Alasannya nih(gak semua sih..)bilang,cowo Indo itukan pilih2x istri terlalu alasan klasik bgt spt umur prp(rata2x tmn berumur 34-35 thn),tkut education istrinya lebih tinggi(PhD student ,misalnya)bibit,bebet,bobot, dll..he..he..realistis aja mrk sih...tapi saya sih msh bersyukur kalau melihat mrk yg msh memilih kesamaan akidah to melanjutkan hub serius,krn bnyk juga tmn yg menikah tdk sama akidahnya dan suaminya mau pindah agama ,misalnya, kalau tdk kuat2x rumah tangga mereka hancur juga...

    BalasHapus
  2. Iya...
    ada kenalanku, dia cerita anaknya pendidikan S2 dari USA, saat mau dikenalkan dengan perempuan yang juga berpendidikan S2 dari luar negeri, menjawab begini : "Ma... aku nyari perempuan untuk jd istri yang pandai melayani suami, mengurus rumah serta menjadi ibu yang baik bagi anak2ku kelak. Bukan mencari istri yang menjadi lawan debat atau diskusi sepanjang masa. Lawan diskusi/debat cukup kutemui di luar rumah, dan bukan di dalam rumah".

    Aduh ... si ibu sampe nggak bisa ngomong. Entah apa yang dipikir, kecewa karena usulannya ditolak (karena si perempuan yang mau dikenalkan pada si anak memang pintar dan cantik) atau membenarkan apa yang dikatakan si anak.

    BalasHapus
  3. Christine Herawati Hidayat [christineherawati@yahoo.com] wrote ;

    Madame Harlina,
    Asik dan seru lho baca tulisan2 Madame Harlina ttg problematika rumah tangga. As a single girl, I never imagined that such a small becomes a big thing. Good advice for me if someday I get married.

    Seperti dikatakan oleh Madame Harlina, ketika berpacaran semmuaaaa keliatannya bagus en baek, tapi begitu menikah hhmmm... semua berubah... Hilang dech masa penipuan (masa pacaran = masa penipuan). No wonder banyak perceraian terjadi krn mereka jago bersandiwara.

    Rasanya dari hari ke hari orang udah nganggep enteng pernikahan bahkan sometimes membawa nama Tuhan bila rumah tangga mrk mengalami keretakan. Kalo gak cocok, tinggal cerai trus mengatakan ini sdh menjadi kehedak Tuhan bla..bla... blaa.. Saya sampe suka sebel kok Tuhan yg disalah2in..

    Eniwey once again thank you for sharing any kinds of articles.

    christine

    BalasHapus
  4. Saya rasa orang tersebut harusnya tidak mempersalahkan suami mau bicara atau tidak. Itu hak dia dan itu hak dia untuk menyelesaikan masalahnya sendiri jika mau keluar dari masalah pribadinya. Lebih baik anda bersyukur sudah punya karier yang baik dan bisa memberi nafkah pada anak2 anda tidak tergantung pada lelaki. It's important that you know what to do and believe in what you do. People change but your children will change too and they will see what a good mother you are? Hem. Just go on working and earn a lot of money as the prices are really killing you. About your husband? Don't bother. I also have a good carreer and have got my Doctorate degree and am pursuing my professership while on the other hand my husband is now taking his doctorate program. He changed a lot after learning that life is not that easy in obtaining your degree. Cheers. So, be thankful with what you have and do not think of the marriage as c'est la vie. It will have its own solutions kan tidak usah antre BLT kok bingung. Go to other concerts while you can because sometimes you have the money but you do not have the time, energy or whatsoever to go to the concerts. Apalagi kalau penyakit sudah datang.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...