Masih menurut cerita salah seorang temanku yang lain. Dia bekerja di bagian legal dari suatu kantor di bilangan Jakarta. Orangnya cekatan dan effisien bekerja walau usianya masih muda. Semua orang suka bekerja sama dengan dia.
Suatu hari, dia harus menangani penjualan asset perusahaan berupa property – rumah mewah di bilangan daerah elit Jakarta Selatan. Seperti lazimnya yang berlaku, setelah peminat dan penjual mencapai kesepakatan harga dan kondisi, maka calon pembeli membayar uang muka dan notaris yang ditunjuk menangani akta jual-beli akan melakukan serangkainan pengecekan legalitas surat-surat property tersebut. Jadi, sesuai dengan prosedur baku, temanku menyerahkan sertifikat asli, IMB dan SPT-PBB kepada notaris. Biasanya pengecekan hanya akan memakan waktu 1–2 hari saja.
Di luar kebiasaan, pada hari ke 3, temanku mendapat telpon dari notaris, yang mengajaknya bertemu di kantor pertanahan setempat untuk bersama-sama melakukan pengecekan. Konon pengecekan online yang dilakukan oleh notaris tidak menggembirakan, walaupun dia tidak merinci hasil penelusurannya.
Dengan rasa sedikit kecut, temanku hadir ke kantor pertanahan. Aku maklum, temanku itu baru bekerja 3 tahun di kantornya sementara sertifikat yang harus dicek keabsahannya itu sudah berumur sekitar 6 tahun. Jadi dia memang tidak mengetahui asal-usul pengurusan sertifikat saat berganti dari SHGB menjadi SHM.
Tiba di kantor pertanahan, sebelum bertemu dengan pejabat pertanahan, notaris mengatakan bahwa dia tidak bisa menemukan data mengenai tanah tersebut dan dikhawatirkan terjadi pemalsuan atas sertifikat HM tersebut. Itu sebabnya notaris mengambil inisiatif untuk bertemu dengan kepala seksi pendaftaran tanah.
Saat bertemu, secara tegas dan lugas, seraya menjelaskan dan menunjukkan cirri-ciri dalam buku sertifikat tersebut, pejabat kantor pertanahan mengatakan bahwa SHM tersebut asli tapi palsu.
Dengan perasaan lemas dan kepala pusing seketika, temanku pulang ke kantor dan melaporkan langsung kasus ini. Semuanya gempar ….. staff yang ditugasi kantornya untuk mengurus kenaikan status tanah dari SHGB menjadi SHM telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Berkas asli SHGB serta dokumen terkait lainnya telah diserahkan kepada petugas pertanahan setempat saat buku SHM diterimakan.
Keesokan hari, temanku dan supervisornya kembali ke kantor pertanahan untuk bertemu langsung dengan kepala kantor untuk mengklarifikasi bahwa mereka mengurus perubahan status SHGB menjadi SHM secara legal, langsung ke kantor pertanahan. Malah, pembayaran retribusi kepada kas Negara dilaksanakan langsung di kantor pertanahan dengan didampingi staff kantor mereka. Sang supervisor, bahkan menunjukkan kartu nama staff pertanahan yang membantu pengurusan sertifikat tersebut. Di situ tertera jabatan Kepala Seksi.
Dengan enteng pejabat pertanahan menjelaskan bahwa staff tersebut hanya berstatus staff biasa. Bukan kepala seksi dan sudah dipecat karena beberapa kasus pemalsuan sertifikat. Dia juga menambahkan sudah ada 17 kasus serupa. Bukan saja yang berkaitan dengan pemalsuan oleh “orang dalam” tetapi juga pemalsuan sertifikat yang dilakukan melalui kantor notaris. Temanku dan supervisornya hanya bisa terhenyak, mendengar berita itu.
Malangnya juga, saat tiba di kantor, sang supervisor mendapat kabar buruk lagi. Saat mengkonfirmasi rencana “hang out” sesudah jam kantor dengan “teman rumpinya”, dia diberitahu pembatalan acara. Salah satu temannya yang juga bekerja di property (sponsor acara tersebut) berhalangan. Yang bersangkutan sedang pusing karena mendapat musibah. Dia menemukan pemalsuan 3 buah sertifikat dan ketiganya adalah sertifikat yang diterbitkan oleh kantor pertanahan Jakarta Selatan. Kantor Pertanahan yang sama dengan kasus yang dialami temanku itu.
Good and clean governance of Jakarta? Tampaknya masih panjang perjuangannya.
wah....kayaknya memang gitu...!
BalasHapuspunya pengalaman dg BPN Jakarta Selatan
BalasHapus