Kemarin, salah satu temanku cerita; Dia diminta bantuan istri bossnya ngurus keterangan kehilangan surat-surat penting di Kepolisian Resort Jakarta Selatan. Mula-mula sih, standard pelayanan harus ngisi formulir beserta kelengkapannya antara lain keterangan domisili, yang selain harus ditandatangani oleh RT/RW juga harus ditandatangani kelurahan.
Urusan RT/RW sih, baik-baik dan lancar-lancar saja, walaupun harus dilaksanakan sesudah jam kerja. Masih bisa diterima karena Ketua RT/RW kan bukan pejabat publik resmi, tapi sukarela. Jadi jam pelayanannyapun di luar jam kantor resmi. Jadi kondisi ini bisa diterima semua orang.
Beres urusan RT/RW, temanku meminta anak buahnya untuk ke salah satu Kelurahan di Jakarta Selatan. Oleh ketua RW, dia sudah dibekali dengan nomor telpon sang lurah, karena sang lurah berpesan untuk langsung menghubunginya apabila menemui kesulitan di lapangan. Sampai disini juga, OK.... niat baik sang lurah untuk memutus birokrasi, patut dihargai. Untuk itu sehari sebelum berangkat ke kelurahan, temanku menelpon pak Lurah meminta waktu dan sudah disepakati waktunya pagi hari keesokan harinya.
Pada hari yang dijanjikan, pergilah anak buah temanku itu ke kelurahan tersebut, lengkap dengan berkas dan "amplop", bila sewaktu-waktu diperlukan. Semua orang juga tahu bahwa berurusan dengan aparat pelayanan publik di negeri ini tidak akan lancar dan mulus bila tidak membekali diri dengan amplop berisi kertas warna-warni yang bukan kertas origami.15 menit sebelum waktu yang ditentukan, mereka sudah tiba di Kelurahan dan menunggu. Menit demi menit menunggu, panggilan tak kunjung datang. Teringat dengan janji pak Lurah, anak buah temanku langsung menghubungi Lurah melalui HP. Tanpa rasa bersalah dan dengan suara ketus pak Lurah menjawab; dia tidak bisa diganggu karena sedang berada di Airport untuk suatu perjalanan dinas ke luar kota. Maka paniklah si anak buah, dia langsung menelpon temanku.
Temanku memang nggak ada matinya. Dia tahu betul bagaimana kelakuan dan maksud-maksud yang tersirat namun tak tersurat dari para pejabat publik negeri ini. Maka langsung dia menyambar hpnya dan menelpon si Lurah yang konon menurut pengakuannya sedang berada di Airport. Entah gertak sambal apa yang dilancarkan oleh temanku, si Lurah menjawab :
"Bu ... siapa yang bilang saya di airport?, Saya sedang menunggu staff ibu di kantor. Malah saya bingung kok dia belum menghadap saya?"
Temanku betul-betul mati angin mendengar jawaban si Lurah. Padahal belum sampai 5 menit sebelumnya, anakbuahnya menelpon dan menceritakan bahwa dia mendapat jawaban langsung dari Lurah, bahwa si Lurah sedang berada di airport. 1 jam sebelumnya saat dia tiba di kelurahan, staff kelurahan bilang bahwa Lurah belum datang dan dia dimohon menunggu.
Usai menerima telpon temanku, anakbuahnya itu langsung dipanggil masuk ke ruang kerja Lurah dan urusan tandatanganpun selesai. Tidak sampai 5 menit untuk menandatangani surat keterangan domisili tersebut dan aku lupa menanyakan apakah amplop kertas berwarna yang bukan kertas origami itu juga diserahkan kepada lurah atau staffnya. Tetapi perjuangan untuk mendapatkannya benar-benar mencerminkan kualitas pelayanan pejabat publik negeri ini, khususnya di DKI Jakarta.
Good and Clean Governance memang masih jauh panggang dari api.
Memang prilaku aparat publik seperti itu sanagat mengesalkan, namanya aparat publik tetapi sikapnya berlawanan dengan yang seharusnya dilakukan untuk melayani masyarakat dengan tulus, sepenuh hati dan tidak mempersulit urusan yang semestinya mudah menjadi sangat sulit, budaya amplop juga masih sangat kental dan melekat dengan pejabat / aparat pulik. budaya semacam itu di era reformasi dan keterbukaan sekarang ini perlu di gempur habis. bukankah begitu?
BalasHapusTeladan Umar ibn Khattab sebagai pejabat publik hanya didengar/dibaca sambil lewat. Tidak berbekas dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Allah SWT mengampuni mereka andaikan mereka melakukannya tanpa sadar/tidak mengetahui betapa beratnya amanah yang disandang sebagai aparat publik
BalasHapushe hebeda banget sama di Jepang........kalo kita keliatan bingung.ada yang datang yang memang bertugas menerangkan..........................
BalasHapusBukan memaklumi....
BalasHapusTapi pelayanan publik di Indonesia memang tidak bisa dibandingkan dengan pelayanan publik di negara maju.
Lurah Mana Nih? di Jaksel-kan? Kasih tau dong mbaak, biar tak bikin kaphok.
BalasHapushehehehe Dulu gue pernah sengaja cari perkara di kelurahan gue. Ampe seru loh.
Nanti saya tanya teman yg ngurus keterangan hilang itu ya. Semoga dia nggak keberatan ngasih tahu (terutama kalo urusannya udah beres)
BalasHapusSambil lewat? Gak juga mbak!
BalasHapusMereka itu tiap jam sholat, langsung mabur ke masjid. Sujudnya ampe dahi hitam saking lamanya bersujud (katanya khusuk booow). Tapi kelakuan lebih mirip hewan kalau lihat uang. Selalu berkelit bahwa kesejahteraan mereka tidak diperhatikan pemerintah, padahal pernah ada penelitian dari Ausaid kalau gak salah, bahwa pekerjaan di sebuah kelurahan dengan jumlah pegawai 50-75 orang Indonesia seharusnya bisa dikerjakan oleh 10-12 orang. Wahahahah lucu banget.
Andaikan mereka mendengarkan dan ibadahnya dilaksanakan dengan baik dan benar,. Bukan hanya "mengejar tanda hitam di kening untuk menunjukkan ritual ibadah", mereka pasti tidak akan melakukan hal yang tercela dengan dalih apapun. Karena yang dikejar adalah ridho dan berkah Allah SWT. Wallahu'alam
BalasHapusDi Jakarta ini sy pernah juga ditipu oleh penjual bergelar Haji, herannya kalo ditemui malah ketawa-ketawa, sudah muka tembok kali ya, berbeda banget dengan haji-haji yang saya kenal di daerah saya, minimal untuk urusan dengan orang lain, mereka lurus dan sesuai dengan aturan agamanya. Apa haji ga ada kode etiknya ya?
BalasHapusHaji juga manusia ... hehehe, bukan membela. Menurut saya haji atau bukan, manusia hendaknya berdagang dengan baik dan benar. Setiap agama tentu memberikan "garis tegas" tentang tata cara bermasyarakat, jadi soal tipu menipu bukan soal haji atau bukan, tapi memang pada dasarnya perilakunya memang sudah rusak
BalasHapus