Kamis, 17 Juli 2008

Jakarta Megacity? Nggak lah yaw!!!


Jakarta Megacity? Nggak lah yaw!!!

Selasa malam yang lalu, lewat dari jam 22, saya masih menyelesaikan jahitan blouse yang sudah tertunda sekitar satu bulan, di kamar sambil mendengarkan siaran Metrotv. Suami seperti biasa menginap di rumah ibunya. Ini kewajiban seminggu sekali yang sudah dijalaninya hampir lima tahun. Tiba-tiba ada bunyi halus menandakan sms masuk;

“ Lihat Jak-tv, nanti koreksi ya!”, begitu yang tertera dalam layer telpon genggam. Terpaksa channel dipindahkan mencari Jak-tv yang sangat jarang ditonton, karena penerimaan gambarnya buram.

Jak–tv  sedang menayangkan talkshow yang dipandu oleh Dedi–Miing–Gumilar, dengan nara sumbernya ada 3 orang, 2 lelaki yang saya lupa nama dan profesinya. Sedang satunya lagi, perempuan cantik yang kelihatannya sedang naik daun di jajaran pejabat teras DKI Jakarta. Dia, Sylviana Murni yang walikota Jakarta Pusat.

Mereka memperbincangkan mengenai problematika yang dihadapi Jakarta serta kemungkinan menjadikan Jakarta sebagai Megacity; yang mencakup wilayah Jabodetabek. Dengan demikian diharapkan problematika Jakarta dapat dilihat diperlakukan sebagai problem nasional yang perlu mendapat dukungan pemerintah pusat. Inilah yang saya pahami dari “pendengaran” sambil lalu. Maklum saya menyimak talkshow sambil menjahit. Namun demikian, saya sempatkan juga membalas sms tadi.

“Wah, saya bukan pendukung Jakarta Megacity. Fungsi dan beban Jakarta malah mestinya dikurangi. Ambil contoh New York dan Washington DC, Sydney dengan Canberra. Jakarta dan pulau Jawa sudah terlalu padat dan pembangunan di Indonesia ini tidak merata. Bila Jakarta menjadi Megacity, maka pemerataan pembangunan dan jumlah penduduk tidak akan tercapai/merata”.
“Di lain pihak saya setuju dengan pemikiran itu. Ada delegation of authority atau amalgamasi….”
“Tapi statement nya tidak begitu lho! Atau, itu jawaban normatif sebagai pejabat pemerintah…?”
“Hehehe…..”

Komunikasi sms, berakhir. Malam memang sudah larut, sudah nggak ada yang mau ditulis. Lagipula, sudah lewat tengah malam.
*****

Jakarta
Megacity? Saya nggak tahu apa konsepnya, tapi, menurut saya, ini kemauan politik dan ambisi penguasa DKI sebagai masyarakat biasa, kita nggak ngerti apa latar belakang dari pemikiran untuk menjadikan Jakarta sebagai Megacity.

Buat saya sih, simple aja…. (penguasa) Jakarta kebanyakan maunya. Segala macam fungsi mau diambil. Misalnya saja sebagai pelabuhan laut/udara utama di Indonesia, ibukota Negara, pusat pemerintahan negara, kota penyedia jasa, tujuan wisata belanja dan lain–lain …. Nggak tahu pusat-pusat apa lagi deh, kebanyakan maunya! Akibat banyaknya fungsi tersebut, maka lebih 60% peredaran uang (ada yang tahu persisnya berapa?) di Indonesia ada di Jakarta. Dampaknya, Jakarta seperti berlian berkilau di tengah lautan kemiskinan.

Jadi semua orang berlomba-lomba mendekati, mencoba meraih, siapa tahu dapat bongkahannya. Walaupun kecil, dengan penuh perjuangan, tapi ada kebanggaan bagi yang bisa meraihnya. Itu sebabnya di kalangan orang terpelajar di Indonesia, kesuksesan karier, menjadi kurang berarti  bila tidak diperolehnya darii belantara Jakarta. Itu sebabnya, Jakarta menjadi tujuan, mencari nafkah, memburu karier dan kesuksesan.

Jakarta kemudian “gelagapan diserang” pendatang dari segala penjuru negeri. Para pendatang bermodal cekak atau modal dengkul mulai mencari lahan-lahan tempat tinggal. Mula-mula tanah kosong kebun yang tidak terurus yang diserobot oleh para squatters, emper toko dan troitoir dengan dalih berdagang, lalu bantaran kali …. Bantaran rel kereta api, taman-taman umum…. terakhir kolong jembatan.

Sementara kaum bermodal membeli tanah membangun perumahan. Mula-mula membangun rumah bernuansa alami. Memiliki halaman yang luas. Makin lama makin banyak. Yang membangun rumah. Akhirnya harga tanah semakin mahal sehingga halaman rumah menjadi semakin kecil. Tidak ada lagi halaman atau taman luas tempat bermain anak. Semua tanah terbangun berdesak-desakan. Sumpek, panas dan tidak ada resapan air hujan. Habislah sudah tanah Jakarta. Jalan keluarnya, menggunakan penyejuk udara dan rumah menjadi bertumpuk-tumpuk meninggi seperti rumah burung. "Sok" modern sementara secara sosio budaya masyarakat belum terlalu siap untuk hidup di rumah susun 

Namun demikian, pembangunan tidak berhenti … Harga tanah di Jakarta yang semakin mahal tidak menyurutkan kaum terpelajar untuk berduyun-duyun meraih asa dan karier ke Jakarta. Akhirnya pembangunan rumah menjalar ke luar Jakarta, mula-mula di kecamatan yang berbatasan dengan Jakarta seperti di antaranya Ciputat, Cireundeu, Ciledug dan Pondok Gede. Sekarang, tengoklah, kita tidak bisa lagi melihat batas wilayah Jakarta dengan kabupaten-kabupaten tetangganya kecuali melalui sepotong tugu. Secara factual, Jakarta sudah menjadi Megacity walaupun secara administratif, masih ambigu. Ada bagian administratif yang sudah menyatu, seperti wilayah pengamanan polisi, administrasi kendaraan dan immigrasi.

Padahal, masalah Jakarta tidak akan berhenti. Jumlah penduduk yang tinggi, terutama di siang hari menimbulkan berbagai masalah baru. Mulai dari kemacetan karena pertambahan jumlah kendaraan tidak terkejar oleh pertambahan jalan. Hutan beton menyebabkan jumlah air hujan tak terserap tanah dan mengakibatkan banjir, karena rawa penampung air telah hilang dan kanal tak mencukupi. Kalaupun ada, maka sungai, kanal dan kali sudah dangkal berlumpur  serta keruh beracun. Sementara masalah-masalah yang ada belum tertangani, jumlah penduduk yang datang tidak juga berkurang.

Seandainya sebagian fungsi Jakarta, misalnya saja ibukota Negara dipindahkan ke salah satu kota di luar Jawa. Katakanlah, ekstrimnya ke salah satu kota di Irian/Papua. Mau tidak mau bagian wilayah yang terpilih akan menjadi sorotan mata masyarakat Indonesia. Pemerintah pusat “terpaksa” membangun infrastruktur di Irian/Papua untuk mendukung aktifitasnya.

Di sana akan dibangun industri, pembangkit listrik dan lain-lain. Alam Irian yang kaya sumber mineral/pertambangan dan migas sangat mendukung. Hasil pertambangannya, bila dikelola dengan baik dan tidak dikorupsi sangat mampu membangun semua kebutuhan tersebut tanpa membebani APBN.

Masalahnya, adakah pejabat yang mau pindah dari comfort zone nya di Jakarta untuk berjibaku membangun daerah timur yang “tertinggal” yang walaupun sudah ada menteri Negara khusus sejak beberapa periode pemerintahan tetapi tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.

Di lain pihak, DKI Jakarta pun belum tentu “rela” kehilangan fungsinya yang paling prestigious tersebut dan pasti akan mati-matian mempertahankannya walaupun untuk itu pemerintah daerah terseok-seok dibuatnya. Padahal …. andaikan ada yang berani ambil langkah ekstrim memindahkan ibukota Negara ke Timika misalnya, percaya deh…. wilayah timur Indonesia akan langsung bersinar dan tidak perlu lagi ada menteri Negara pembangunan kawasan timur Indonesia.

Ya…. Namanya juga ngomong dan nulis…., enak kan? Nggak ada resiko, paling dikomentarin atau dimusuhin orang…. Hehehe, maaf ya….  

5 komentar:

  1. huehehe seru juga baca tulisan ini.... saya lahir di jakarta, makanya lulus kuliah, gak mau kerja di jakarta.. sumpek, macet... dll... tapi, setelah 7 tahun merantau, apa daya...harus balik lagi ke jakarta... dan tiap hari, pasti ada aja omelan saya ttg jakarta... hehehehe

    BalasHapus
  2. Jadi, setuju kalo fungsi Jakarta sebagai ibukota negara dipindahkan ke luar Jawa? Biar ada pemerataan gitu....

    BalasHapus
  3. hehehe... setuju sama tulisan ini. Belum genap 2 thn balik lagi ke Jakarta. Rasanya udah mau depresi gara2 macetnya. Pengennya sih mindahin ibu bapak ke manaa gitu.. ke Mojokerto atau Malang. Surarabaya juga gak apa2. Menurutku Jakarta udah gak nyaman jadi tempat tinggal. Dibandingin sama Surabaya, malu banget deh. Surabaya biar panasnya kaya' gitu tapi keliatan lebih nyaman, lebih bersih dan lebih teratur. Cuma sementara ini, gak ada pilihan lain... hiks..

    BalasHapus
  4. Bukan nggak ada pilihan lain... TETAPI memilih untuk tetap tinggal di Jakarta dengan segala macam kelebihan dan kekurangannya

    BalasHapus
  5. Kurangnya kemauan politik.
    Lemahnya partai politik.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...