Rabu, 23 Juli 2008

Uang bukan segalanya

Kita seringkali salah menafsirkan uang/kekayaan dalam keseharian. Mengukur segalanya demi uang/kekayaan dengan kamuflase "kebutuhan dasar untuk hidup". Mungkin karena kita masih hidup di negara "dunia ke tiga", dimana kebutuhan dasar masyarakat berupa sandang, pangan dan papan rata-rata secara nasional belum terpenuhi secara layak. 



Tengok saja catatan dari Departemen Pekerjaan Umum; masih ada lebih dari 7 juta rumah yang harus dibangun agar setiap keluarga menempati rumah yang layak. Masih banyak kelaparan/busung yang ditemui walaupun diupayakan untuk disembunyikan dengan berbagai dalih. Akses terhadap layanan kesehatan. 

Belakangan ini memang ada Askeskin yang memungkinkan rakyat "miskin" memiliki akses pelayanan kesehatan, tetapi masyarakat golongan "tanggung" yang tidak memiliki cukup dana untuk membeli polis asuransi kesehatan, bisa dibuat miskin seketika, bila ada nggota keluarganya yang sakit dan harus dirawat di RS/rumah dalam jangka waktu yang panjang. Aduh,... banyak deh yang bisa diungkapkan untuk menunjukkan betapa "uang/kekayaan" memang masih memegang peran penting buat kita semua. 

Minimal buat kita yang masih dalam tahap "memetuhi kebutuhan hidup dasar yang layak", walaupun definisi inipun sangat relatif dan nggak habis-habisnya diperdebatkan. Tapi, apa iya, "uang" menjadi dasar pertimbangan dalam setiap langkah kita?



Week end lalu, aku dapat sms dari teman. Dia berencana keluar dari kantor tempat dia selama 16 tahun "mengabdi dan mendapat kepercayaan besar" dari pemilik perusahaan.
"Gila lu ......! Bos lu bisa mati berdiri kalo elo keluar!"
"Iya..., semua orang bilang, gua gila. Tapi gua udah nggak tahan lagi....!"
"Ya udah, besok setelah rapat, kita ketemu n ngobrol ya.....”
"Besok aku nggak bisa ikut rapat..."
"Ya sudah, elo kirim email deh. CV dan segala macam. Mungkin aku bisa bantu, tapi elo gak bisa main ditempat yang sama. Mesti keluar dari cangkang!"

16 tahun bukan waktu yang singkat. Kepercayaan dari pemilik perusahaan juga bukan suatu yang mudah diraih. Pasti ada sesuatu yang nggak bener, kalau orang yang sudah bekerja selama itu tiba-tiba memutuskan untuk keluar dari perusahaan.

Pagi itu, sambil mengendarai mobil menuju Kedoya, temanku itu menelpon, menceritakan sebab-sebab keputusannya itu. 
"Aku lelah menjadi perfectionist", begitu semburannya saat telpon tersambung.
“He … padahal aku kagum sama cara kerjamu lho….”
“Nggak…, yang ini serius! Aku lelah jadi perfectionist dan aku nggak mau gila karenanya…!”
“Aduh, duh… tenang dong, ada apa nih?”

“Aku akhirnya disadarkan, bahwa belakangan ini aku sudah sering melalaikan waktu shalat karena pekerjaan. Di rumah, aku jadi orang yang terlalu menuntut pada anak dan suami dan karenanya seringkali terjadi pertengkaran. Aku nyaris bekerja 24 jam dan 7 hari seminggu karena boss bisa saja meminta saya menyelesaikan urusan kantor hampir setiap saat.  Kamu ingat nggak, tahun lalu aku terpaksa cuti karena aku merasa ada yang nggak beres di badanku. Selalu sakit kepala dan muntah-muntah sementara hasil pemeriksaan lab, normal semua. Aku sudah pernah menjadi pasien psikiater”.

“Tapi… boss kan sayang banget sama kamu.”
“Nggak … aku akhirnya sadar itu dilakukan bukan karena sayang … tapi dia memeras semua kemampuanku!”
“Aduh, jangan gitu ah … Pasti ada take n give nya lah… Kalo nggak, mana mungkin kamu tahan sampai 16 tahun begitu?”
“Tapi, ucapannya saat kasus itu membuka mataku dan menyadarkanku. Aku nggak bisa bekerja lagi di situ. Lama-lama, bisa gila beneran, aku.”
“Ya… ya…., kalau memang begitu, cari pekerjaan lain aja. Sekalian cari yang sangat berbeda lingkupnya, supaya traumanya hilang”.


Uang/kekayaan dan karier memang bisa menjerat kita. Semoga kita menjadi orang yang tahu kapan harus berhenti.

4 komentar:

  1. walah, kalo saya sih sandang pangan papannya belom lengkap mbak. jadi yo masih harus kerja keras. meskipun nyadar hidup udah tinggal separo tp bekal akhirat belum lengkap, tapi tetep aja harus jumpalitan cari rejeki. namun emang perlu mawas diri sih, biar gak keblinger.

    BalasHapus
  2. Setiap orang punya ukuran masing-masing untuk kecukupan materi. Asal tahu batas, karena batas manusiawi itu berbeda dengan batas versi Allah SWT dan semoga kita nggak salah menetapkan batas2 itu

    BalasHapus
  3. Memang uang bukan segalanya, tapi bagiku yg sedang butuh2nya, uang sangat mempengaruhi hidupku.. hikz.. apapun kondisinya walo sgt tidak menyenangkan terpaksa ditahan2i (T_T)

    BalasHapus
  4. ah Jean, kamu paling bisa deh

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...