Kita seringkali salah menafsirkan uang/kekayaan dalam keseharian.
Mengukur segalanya demi uang/kekayaan dengan kamuflase "kebutuhan dasar
untuk hidup". Mungkin karena kita masih hidup di negara "dunia ke
tiga", dimana kebutuhan dasar masyarakat berupa sandang, pangan dan papan
rata-rata secara nasional belum terpenuhi secara layak.
Tengok saja catatan
dari Departemen Pekerjaan Umum; masih ada lebih dari 7 juta rumah yang harus
dibangun agar setiap keluarga menempati rumah yang layak. Masih banyak kelaparan/busung
yang ditemui walaupun diupayakan untuk disembunyikan dengan berbagai dalih.
Akses terhadap layanan kesehatan.
Belakangan ini memang ada Askeskin yang
memungkinkan rakyat "miskin" memiliki akses pelayanan kesehatan,
tetapi masyarakat golongan "tanggung" yang tidak memiliki cukup dana
untuk membeli polis asuransi kesehatan, bisa dibuat miskin seketika, bila ada
nggota keluarganya yang sakit dan harus dirawat di RS/rumah dalam jangka waktu
yang panjang. Aduh,... banyak deh yang bisa diungkapkan untuk menunjukkan betapa
"uang/kekayaan" memang masih memegang peran penting buat kita semua.
Minimal buat kita yang masih dalam tahap "memetuhi kebutuhan hidup dasar
yang layak", walaupun definisi inipun sangat relatif dan nggak habis-habisnya
diperdebatkan. Tapi, apa iya, "uang" menjadi dasar pertimbangan dalam
setiap langkah kita?
Week end lalu, aku dapat sms dari teman. Dia berencana
keluar dari kantor tempat dia selama 16 tahun "mengabdi dan mendapat
kepercayaan besar" dari pemilik perusahaan.
"Gila lu ......! Bos lu bisa mati berdiri kalo elo keluar!"
"Iya..., semua orang bilang, gua gila. Tapi gua udah nggak tahan
lagi....!"
"Ya
udah, besok setelah rapat, kita ketemu n ngobrol ya.....”
"Besok aku nggak bisa ikut rapat..."
"Ya sudah, elo kirim email deh. CV dan segala macam. Mungkin aku
bisa bantu, tapi elo gak bisa main ditempat yang sama. Mesti keluar dari
cangkang!"
16 tahun bukan waktu yang singkat. Kepercayaan dari pemilik perusahaan
juga bukan suatu yang mudah diraih. Pasti ada sesuatu yang nggak bener, kalau
orang yang sudah bekerja selama itu tiba-tiba memutuskan untuk keluar dari
perusahaan.
Pagi itu, sambil mengendarai mobil menuju Kedoya, temanku itu menelpon,
menceritakan sebab-sebab keputusannya itu.
"Aku lelah menjadi perfectionist", begitu semburannya saat
telpon tersambung.
“He … padahal aku kagum sama cara kerjamu lho….”
“Nggak…, yang ini serius! Aku lelah jadi perfectionist dan aku nggak mau
gila karenanya…!”
“Aduh, duh… tenang dong, ada apa nih?”
“Aku akhirnya disadarkan, bahwa belakangan ini aku sudah sering
melalaikan waktu shalat karena pekerjaan. Di rumah, aku jadi orang yang terlalu
menuntut pada anak dan suami dan karenanya seringkali terjadi pertengkaran. Aku
nyaris bekerja 24 jam dan 7 hari seminggu karena boss bisa saja meminta saya
menyelesaikan urusan kantor hampir setiap saat. Kamu ingat nggak, tahun
lalu aku terpaksa cuti karena aku merasa ada yang nggak beres di badanku.
Selalu sakit kepala dan muntah-muntah sementara hasil pemeriksaan lab, normal
semua. Aku sudah pernah menjadi pasien psikiater”.
“Tapi… boss kan sayang banget sama kamu.”
“Nggak … aku akhirnya sadar itu dilakukan bukan karena sayang … tapi
dia memeras semua kemampuanku!”
“Aduh, jangan gitu ah … Pasti ada take n give nya lah… Kalo nggak, mana
mungkin kamu tahan sampai 16 tahun begitu?”
“Tapi, ucapannya saat kasus itu membuka mataku dan menyadarkanku. Aku
nggak bisa bekerja lagi di situ. Lama-lama, bisa gila beneran, aku.”
“Ya… ya…., kalau memang begitu, cari pekerjaan lain aja. Sekalian cari
yang sangat berbeda lingkupnya, supaya traumanya hilang”.
Uang/kekayaan
dan karier memang bisa menjerat kita. Semoga kita menjadi orang yang tahu kapan
harus berhenti.
walah, kalo saya sih sandang pangan papannya belom lengkap mbak. jadi yo masih harus kerja keras. meskipun nyadar hidup udah tinggal separo tp bekal akhirat belum lengkap, tapi tetep aja harus jumpalitan cari rejeki. namun emang perlu mawas diri sih, biar gak keblinger.
BalasHapusSetiap orang punya ukuran masing-masing untuk kecukupan materi. Asal tahu batas, karena batas manusiawi itu berbeda dengan batas versi Allah SWT dan semoga kita nggak salah menetapkan batas2 itu
BalasHapusMemang uang bukan segalanya, tapi bagiku yg sedang butuh2nya, uang sangat mempengaruhi hidupku.. hikz.. apapun kondisinya walo sgt tidak menyenangkan terpaksa ditahan2i (T_T)
BalasHapusah Jean, kamu paling bisa deh
BalasHapus