Apa yang akan kita lakukan bila suatu hari, kita melihat/bertemu teman lama atau saudara dekat yang menjadi pejabat di tengah suatu pertemuan/perhelatan umum. Mendekat lalu menegurnya dengan nuasa akrab seperti biasanya/dulu kita lakukan atau pura-pura tidak melihat agar yang bersangkutan tidak merasa terganggu oleh kehadiran kita yang datang dari lingkungan berbeda dengan lingkung gaulnya saat ini?
Jujur saja, aku nggak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai saat ini aku cenderung diam dan menjauh. Nggak mau mengganggu. Bukan karena sombong, tapi ada rasa khawatir si teman yang pejabat enggan dikenali oleh orang yang tidak berasal dari kalangan sosialnya sekarang. Takut dikatakan "cari muka atau menjilat". Boleh jadi ini suatu prasangka buruk, tapi tentu ada alasan yang valid untuk itu.
Iparku yang pernah menjadi pejabat eselon ke 2 di suatu kementrian bercerita. Sang menteri kebetulan adalah teman baiknya sejak jaman kuliah dulu dan masih tetap berteman baik sampai si teman menjadi menteri. Itu juga sebabnya dia diangkat menjadi pejabat eselon 2 di kementrian tersebut. Saat masih kuliah di salah satu fakultas di UI, sang menteri konon bukan "orang gaul" dan cenderung diremehkan oleh teman-teman kuliah yang rada borju. Dicuekin abis lah dia. Tapi saat si teman merangkak naik menjadi anggota DPR, pengurus suatu partai yang cukup berpengaruh dan kemudian akhirnya menjadi menteri, teman-teman kuliah dulu yang semula menjauh, mendadak menghubungi iparku untuk mendapatkan akses berhubungan dengan sang menteri. Menjilat-lah....
Aku sendiri punya dua kali pengalaman pahit. Yang pertama saat aku meneruskan kembali kuliah yang sudah tertunda selama 4 tahun, gara-gara ikut suami ke perancis. Saat pulang, aku cuma punya waktu 1 tahun untuk menyelesaikan kuliah. Satu semester untuk kerja praktek dan seminar dan satu semester lagi untuk bikin tugas akhir. Maklum, sudah hampir habis batas masa study. Nggak tanggung-tanggung memang, Aku menghabiskan waktu 10 tahun kuliah walau disela 4 tahun cuti. Bukan waktu yang sebentar walaupun saat itu kuliah masih terdiri dari 10 semester. Dalam kondisi seperti itulah, aku kembali kuliah. Beberapa assisten dosen muda dari mata kuliah yang diseminarkan adalah teman seangkatanku. Teman satu group main, malah. Tapi itu sudah berlalu sekitar 4 tahun sebelumnya.
Semula aku senang sekali, melihat hal ini. Ketemu teman lama walau dalam status yang berbeda. Mereka sudah jadi dosen muda, sementara aku masih tertatih-tatih mengingat kembali pelajaran yang sudah hilang dari otak, meneruskan kuliah.
Masuk semester ke 10, saat masuk studio untuk membuat tugas akhir, aku mendapat kenyataan berbeda. Entah bagaimana asal mulanya, seorang as-dos yang teman mainku itu membentak
"Status kita berbeda... anda mahasiswa, jadi tempatkan diri sebaik-baiknya.".
Mungkin aku dianggapnya "ngegampangin" sementara peserta tugas akhir lainnya yang notabene 5 tahun lebih muda dari usia kami, begitu hormat pada sang as-dos.
Jujur aja, aku kaget bukan main. Nggak sangka, bahwa waktu mampu mengubah keakraban. Sejak itu aku menarik diri dari ruang gaul teman seangkatanku. Bentakan tak terduga itu begitu membekas hingga bertahun-tahun kemudian.
Pengalaman ke dua, saat umroh di tahun akhir 95/96. Di dalam group ternyata ada teman lama yang juga tetangga di Kampung Ambon. Temanku itu beberapa kali main ke rumah untuk pinjam meminjam buku atau membuat tugas. Dia, saat bertemu dalam perjalanan umroh, sudah menjadi Direktur suatu RS terkenal di Jakarta Selatan. Konon kabarnya, bapaknya menjadi salah satu pemegang saham RS tersebut. Jadi pantaslah kalau dia ditunjuk jadi direktur RS, walau bidang pendidikan S1nya nggak nyambung dengan urusan RS.
Saat kutegur dengan mengingat kedekatan jaman mahasiswa dulu, si teman menjawab sangat seperlunya dan selama dalam perjalanan yang memakan waktu hampir 2 minggu itu, dia selalu menjaga jarak. Duh, hati rasanya mengkerut banget.... aku berpikir, apa karena aku masuk group peserta dari Bekasi sementara dia dari Pondok Indah yang sangat elite.... Atau karena dia sudah menjadi direktur RS terkenal, sementara aku betul-betul anonym. Duh, sampe segitunya ya buruk sangkaku.... (astaghfirullah...!!!)
Beberapa hari yang lalu, usai rapat, saat bermaksud makan siang di Pacific Place - Senayan, dari seberang void, aku lihat istri seorang dirjen yang kerap muncul di media cetak/tv sedang berhandai-handai dengan beberapa orang perempuan lainnya. Mungkin istri sesama dirjen di departemen tempat suami-suami mereka bekerja. Ada keraguan dalam hati. Akan kutegurkah dia atau pura-pura nggak lihat saja. Akhirnya... aku melepaskan niat menegurnya. Takut dia merasa terganggu.
Ingatanku melayang ke era hampir 30 tahun yang lalu di Perancis. Ibu dirjen itu kukenal betul secara pribadi. Tapi itu terjadi di tahun 80-84 di Perancis. Saat itu suamiku dan sang dirjen sedang mendapat beasiswa dari pemerintah Perancis - BGF alias boursier du gouvernement francais. Kami semua tinggal di region Parisienne. Kami di Stains-St Denis di utara (banlieu) Paris sedang sang DirJen yang kuliah di Sorbonne dan keluarganya serta sebagian besar BGF tinggal di Anthony - di bagian selatan. Nah, apartemen sang Dirjen ini merupakan tempat singgah kami. Tempat kumpul para BGF dan keluarganya sebulan sekali, dimana si dirjen (bukan istrinya) yang selalu memasak makan siang buat kami dan semua tamunya, di dapurnya yang sempit. Itu masa indah yang tidak akan terlupa dari ingatan. Tapi, akankah keakraban itu masih ada? Entahlah ... sudah lama aku nggak berhubungan lagi. Terakhir aku ketemu sekitar 8 tahun yang lalu, makan malam di Nanaban Tei - Menteng. Sekarang, nomor telpon rumah mereka yang aku miliki tidak lagi dapat dihubungi, begitu juga dengan nomor hp mereka.
Di suatu kesempatan melayat sepupu bapakku, aku bertemu dengan salah seorang menteri. Adik sang menteri menikah dengan anak sepupu ayahku itu. Sebetulnya sang menteri memiliki hubungan kekeluargaan - jauh, dengan kami (bapakku dan tentu saja sepupu bapakku itu). Kakek buyut sang menteri dan kakek bapakku adalah kakak beradik.
Nah saat ngobrol, entah tulus atau sekedar basa-basi (maklum... pejabat publik, kan harus pandai mengambil hati rakyat), sang menteri berkata ;
"Ayo main dong ke rumah....", begitu katanya.
Entah kegilaan apa yang muncul di kepala, aku spontan menjawab; "Ntar deh kalau mas.... tidak jadi menteri lagi"
"Lho kenapa...?"
"Saya nggak suka dengan protokoler menteri..., ribet"
Aku sendiri akhirnya merasa menyesal. Menyesal karena merasa tidak mampu berbasa-basi atau bermanis-manis saat bicara. Duh... mudah-mudahan puasa yang akan datang sebentar lagi, mampu memperbaiki lisanku.
Jujur saja, aku nggak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai saat ini aku cenderung diam dan menjauh. Nggak mau mengganggu. Bukan karena sombong, tapi ada rasa khawatir si teman yang pejabat enggan dikenali oleh orang yang tidak berasal dari kalangan sosialnya sekarang. Takut dikatakan "cari muka atau menjilat". Boleh jadi ini suatu prasangka buruk, tapi tentu ada alasan yang valid untuk itu.
Iparku yang pernah menjadi pejabat eselon ke 2 di suatu kementrian bercerita. Sang menteri kebetulan adalah teman baiknya sejak jaman kuliah dulu dan masih tetap berteman baik sampai si teman menjadi menteri. Itu juga sebabnya dia diangkat menjadi pejabat eselon 2 di kementrian tersebut. Saat masih kuliah di salah satu fakultas di UI, sang menteri konon bukan "orang gaul" dan cenderung diremehkan oleh teman-teman kuliah yang rada borju. Dicuekin abis lah dia. Tapi saat si teman merangkak naik menjadi anggota DPR, pengurus suatu partai yang cukup berpengaruh dan kemudian akhirnya menjadi menteri, teman-teman kuliah dulu yang semula menjauh, mendadak menghubungi iparku untuk mendapatkan akses berhubungan dengan sang menteri. Menjilat-lah....
Aku sendiri punya dua kali pengalaman pahit. Yang pertama saat aku meneruskan kembali kuliah yang sudah tertunda selama 4 tahun, gara-gara ikut suami ke perancis. Saat pulang, aku cuma punya waktu 1 tahun untuk menyelesaikan kuliah. Satu semester untuk kerja praktek dan seminar dan satu semester lagi untuk bikin tugas akhir. Maklum, sudah hampir habis batas masa study. Nggak tanggung-tanggung memang, Aku menghabiskan waktu 10 tahun kuliah walau disela 4 tahun cuti. Bukan waktu yang sebentar walaupun saat itu kuliah masih terdiri dari 10 semester. Dalam kondisi seperti itulah, aku kembali kuliah. Beberapa assisten dosen muda dari mata kuliah yang diseminarkan adalah teman seangkatanku. Teman satu group main, malah. Tapi itu sudah berlalu sekitar 4 tahun sebelumnya.
Semula aku senang sekali, melihat hal ini. Ketemu teman lama walau dalam status yang berbeda. Mereka sudah jadi dosen muda, sementara aku masih tertatih-tatih mengingat kembali pelajaran yang sudah hilang dari otak, meneruskan kuliah.
Masuk semester ke 10, saat masuk studio untuk membuat tugas akhir, aku mendapat kenyataan berbeda. Entah bagaimana asal mulanya, seorang as-dos yang teman mainku itu membentak
"Status kita berbeda... anda mahasiswa, jadi tempatkan diri sebaik-baiknya.".
Mungkin aku dianggapnya "ngegampangin" sementara peserta tugas akhir lainnya yang notabene 5 tahun lebih muda dari usia kami, begitu hormat pada sang as-dos.
Jujur aja, aku kaget bukan main. Nggak sangka, bahwa waktu mampu mengubah keakraban. Sejak itu aku menarik diri dari ruang gaul teman seangkatanku. Bentakan tak terduga itu begitu membekas hingga bertahun-tahun kemudian.
Pengalaman ke dua, saat umroh di tahun akhir 95/96. Di dalam group ternyata ada teman lama yang juga tetangga di Kampung Ambon. Temanku itu beberapa kali main ke rumah untuk pinjam meminjam buku atau membuat tugas. Dia, saat bertemu dalam perjalanan umroh, sudah menjadi Direktur suatu RS terkenal di Jakarta Selatan. Konon kabarnya, bapaknya menjadi salah satu pemegang saham RS tersebut. Jadi pantaslah kalau dia ditunjuk jadi direktur RS, walau bidang pendidikan S1nya nggak nyambung dengan urusan RS.
Saat kutegur dengan mengingat kedekatan jaman mahasiswa dulu, si teman menjawab sangat seperlunya dan selama dalam perjalanan yang memakan waktu hampir 2 minggu itu, dia selalu menjaga jarak. Duh, hati rasanya mengkerut banget.... aku berpikir, apa karena aku masuk group peserta dari Bekasi sementara dia dari Pondok Indah yang sangat elite.... Atau karena dia sudah menjadi direktur RS terkenal, sementara aku betul-betul anonym. Duh, sampe segitunya ya buruk sangkaku.... (astaghfirullah...!!!)
Beberapa hari yang lalu, usai rapat, saat bermaksud makan siang di Pacific Place - Senayan, dari seberang void, aku lihat istri seorang dirjen yang kerap muncul di media cetak/tv sedang berhandai-handai dengan beberapa orang perempuan lainnya. Mungkin istri sesama dirjen di departemen tempat suami-suami mereka bekerja. Ada keraguan dalam hati. Akan kutegurkah dia atau pura-pura nggak lihat saja. Akhirnya... aku melepaskan niat menegurnya. Takut dia merasa terganggu.
Ingatanku melayang ke era hampir 30 tahun yang lalu di Perancis. Ibu dirjen itu kukenal betul secara pribadi. Tapi itu terjadi di tahun 80-84 di Perancis. Saat itu suamiku dan sang dirjen sedang mendapat beasiswa dari pemerintah Perancis - BGF alias boursier du gouvernement francais. Kami semua tinggal di region Parisienne. Kami di Stains-St Denis di utara (banlieu) Paris sedang sang DirJen yang kuliah di Sorbonne dan keluarganya serta sebagian besar BGF tinggal di Anthony - di bagian selatan. Nah, apartemen sang Dirjen ini merupakan tempat singgah kami. Tempat kumpul para BGF dan keluarganya sebulan sekali, dimana si dirjen (bukan istrinya) yang selalu memasak makan siang buat kami dan semua tamunya, di dapurnya yang sempit. Itu masa indah yang tidak akan terlupa dari ingatan. Tapi, akankah keakraban itu masih ada? Entahlah ... sudah lama aku nggak berhubungan lagi. Terakhir aku ketemu sekitar 8 tahun yang lalu, makan malam di Nanaban Tei - Menteng. Sekarang, nomor telpon rumah mereka yang aku miliki tidak lagi dapat dihubungi, begitu juga dengan nomor hp mereka.
Di suatu kesempatan melayat sepupu bapakku, aku bertemu dengan salah seorang menteri. Adik sang menteri menikah dengan anak sepupu ayahku itu. Sebetulnya sang menteri memiliki hubungan kekeluargaan - jauh, dengan kami (bapakku dan tentu saja sepupu bapakku itu). Kakek buyut sang menteri dan kakek bapakku adalah kakak beradik.
Nah saat ngobrol, entah tulus atau sekedar basa-basi (maklum... pejabat publik, kan harus pandai mengambil hati rakyat), sang menteri berkata ;
"Ayo main dong ke rumah....", begitu katanya.
Entah kegilaan apa yang muncul di kepala, aku spontan menjawab; "Ntar deh kalau mas.... tidak jadi menteri lagi"
"Lho kenapa...?"
"Saya nggak suka dengan protokoler menteri..., ribet"
Aku sendiri akhirnya merasa menyesal. Menyesal karena merasa tidak mampu berbasa-basi atau bermanis-manis saat bicara. Duh... mudah-mudahan puasa yang akan datang sebentar lagi, mampu memperbaiki lisanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar