Senin, 04 Agustus 2008

Post Operation Recovery

Aku sudah hilang akal menghadapi semuanya dan aku yakin semua anggota keluarga sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tapi kami memang tidak boleh putus asa.
Hari Minggu kemarin, usai makan siang, kami pergi ke Mall dekat rumah dengan niat beli printer. Pembantuku juga menitipkan kartu ATM untuk mengambil uang yang akan dipakai membeli baju renang anaknya. Karena ada dua kebutuhan, maka kami sepakat untuk berpisah dengan janji bertemu kembali, makan wafel di AW. Jadi suasananya memang agak santai, sambil bercanda. Anakku ikut bapaknya membeli printer dan flash disk.

Adikku, baru pulang ke rumah 2 sehari sebelumnya. Hari Jum'at pagi, setelah 2 minggu dirawat di RS karena muntah-muntah tak terkendali. Masa perawatannya di RS diakhiri dengan tindakan operasi pengangkatan kantung empedunya yang sudah pecah. Bulan Oktober 2007 yang lalu dia juga sempat dirawat di RS untuk operasi tumor. Keluar dari RS, suaminya bilang, dia masih ingin tinggal di rumah ibunya sampai sebelum masuk bulan puasa agar bisa beristirahat dengan baik

Sabtu kemarin, dia kelihatan jauh lebih segar dari biasa. Bermain di ruang keluarga dengan 2 anaknya yang datang berkunjung. Sore, dia makan seporsi besar siomay yang dipesan melalui kakak lelakinya. Sempat kutegur karena bumbu siomay terasa pedas. Tapi dijawabnya "Nggak apa-apa, kok, Kan cuma sedikit". Kemudian sambil makan siomay. dia bercerita pada ipar dan anak-anaknya bahwa selama di rumah sakit dia bebas makan apa saja termasuk mie goreng, pizza, sate dan lain-lain.
Aku yang mendengar di dekatnya cuma bisa membatin "Duh... dia tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahannya dalam menahan nafsu makan. Selalu menomorsatukan nafsu dibandingkan akal sehat."

Minggu pagi, di pasar, pembantuku meminta ijin untuk beli kue bugis dan kacang bogor untuknya. Sebelumnya, kulihat sudah disiapkan spageti atas permintaannya juga, di meja makan. Entah ketololan apa lagi yang menguasai diri. Nafsu untuk makan enak mengalahkan akal sehat. Dimakannya langsung 4 buah kue bugis. Kue yang mengandung karbohidrat tinggi disertai lemak dan gula dari kelapa/unti. Pantangan besar buat penderita DM yang sudah kehilangan empedu. Kalau hanya memakan 1 buah saja, mungkin masih bisa ditolerir.

Padahal, niat membelikan kue, bukan untuk dimakan sekaligus sebanyak itu. Lagipula, kalaupun dokter memperbolehkan makan apa saja dan tidak ada pantangan, tetapi penderita seharusnya mampu menahan diri. Tahu batas!. Ya.. kami kecolongan lagi, seperti waktu-waktu sebelumnya. Ternyata menghadapi pasien dewasa yang kekanak-kanakan lebih berat daripada menghadapi pasien anak-anak.

8 tahun bolak-balik RS. Entah sudah berapa ratus kali jarum infus menusuk nadi baik di tangan maupun kaki. Entah berapa puluh kali infus dimasukkan ke dalam lambung langsung melalui sayatan pisau bedah di leher. Dan entah sudah berapa ratus juta terbuang percuma karenanya. Semua sudah habis-habisan.
Secara psikologis, keluarganya sudah babak belur, tapi tetap saja si pasien tidak mau bangkit dan sadar akan tanggung jawab. Obat hanya pendukung, namun kesembuhan terutama harus datang dari keinginan diri sendiri dan niat yang kuat untuk menjaga diri. Bukan mengumbar nafsu saat dinyatakan "semua penyebab penyakit sudah diangkat".

Pulang dari Mall menjelang ashar, sambil membuka pintu pagar pembantuku lapor;
"Di dalam ada bapak... Saya takut bu... Bapak marah-marah, mbentak-bentak. Suaranya keras sampai kemana-mana...!"

Aku langsung masuk ke kamar ibuku. Tempat adikku terbaring sambil menangis dan mengerang seperti anak kecil. Tak tahan dengan kesakitan di lambungnya. Ini tentu akibat pedasnya siomay dan kue bugis yang sudah dimakannya. Si suami masih dengan bentakan-bentakan, menyuruhnya diam dan menahan untuk tidak memuntahkan isi perut. 

Sambil memberi tanda agar si suami keluar kamar, kukatakan : "Hanya anak kecil di bawah 10 tahun yang menangis meraung-raung kala kesakitan. Orang dewasa tidak akan melakukan itu. Mereka akan mengatur nafas, sambil berzikir. Kita yang mengatur diri untuk bertahan dari rasa sakit dan obat-obatan hanya pendukung. Bukan yang utama. Kamu pernah belajar reiki, nah lakukan itu!".

Di ruang makan, kukatakan kekecewaan pada iparku atas perlakuannya membentak-bentak adikku. Aku sungguh mengerti dan menghargai pengorbanannya, sudah merawat istri selama 8 tahun. Mungkin sekarang dia sudah mencapai garis batas kesabaran. Tetapi membentak-bentak seenaknya bukanlah perlakuan yang bisa diterima siapapun juga. Ini salah satu bentuk KDRT. Kelakuan adikku memang keterlaluan dan membuat orang yang melihatnya menjadi “sebal”.

"Hubungan suami istri macam apalagi kalau hanya diisi dengan bentakan-bentakan...? Coba istikharah, minta petunjuk jalan apa yang harus diambil”
“Dia mesti diperlakukan begitu supaya berhenti mencoba muntah! Coba lihat begitu kubentak, langsung berhenti muntahnya”

Aku cuma bisa menghela napas.., sedih. “Kan, aku sudah bilang! Periode recovery ini kritis sekali. Dia sudah terlalu lama menjadi pusat perhatian dengan sakit menahunnya. Comfort zone nya adalah dalam kesakitannya dan tentu tidak mudah keluar dari kondisi ini. Ini ibarat orang kena narkoba. Addicted”.
“Tapi sampai kapan….? Ada anak-anak dan aku harus kerja cari makan. Aku sudah habis-habisan dan terpuruk. Masa dia tidak mau mengerti?”
“Bukan soal mengerti atau tidak! Ini masalah psikologis. Kesakitan dan penderitaan menahun menjadi addicted dan tanpa sadar kalian semua sudah sakit jiwa. Jadi perlu penanganan psikiater”.
“Kan sudah …! Dia sudah 4x ketemu psikiater. Sudah menyadari kesalahan-kesalahannya dan mau memperbaikinya.”
“Tapi, konsultasi dan realitas berbeda… Perlu waktu yang panjang dan kesabaran yang tak terukur buat semuanya”
“Jujur saja… aku sampai bilang kalau dia mau melepaskan tanggung jawab sebagai istri, aku terima. Tapi sembuh dulu, baru lakukan apa maunya..”

Aku terhenyak tapi lega dengan perkataan itu. “Lakukan saja. Jangan sungkan untuk mengambil keputusan seekstrim itu. Katakanlah sampai dengan keputusan bercerai. Aku bisa menerima keputusan itu” Dia terkesiap mendengarnya….
“Tidak, bukan itu maksudku! Sama sekali tidak ada niat untuk bercerai. Bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana aku mendidik anak-anak mengenai rasa tanggungjawab terhadap keluarga, kalau di ujung jalan seperti ini kuceraikan istriku? Kalau mau, mestinya sudah kulakukan 5 tahun yang lalu. Bukan sekarang saat sudah berada di ujung penyembuhan dan semua sudah habis-habisan!”
“Ajak anak-anak bicara dengan baik-baik mengenai kemungkinan ini. Perceraian bukan berarti mereka tidak bisa berhubungan dengan ibunya. Tidak ada kata bekas ibu. Kamu sendiri punya hak untuk menata kehidupan pribadi, tidak melulu mengurus orang sakit. Pikirkan itu! Aku sudah cukup menghargai semua pengorbananmu.”
“Tidak… bagaimana kalau dia tidak tahan, lalu betul-betul sakit jiwa hingga perlu masuk RSJ. Bagaimana anak2ku harus menerima kenyataan ibunya gila?”
“Belum tentu, siapa tahu dia juga merasa terbebaskan. Tapi kusampaikan bahwa sebagai sebagai wakil keluarga, aku siap menerima resiko itu. Pikirkan baik-baik. Minimal, bebanmu sedikit berkurang.”

Ibuku yang mendengar percakapan itu, pergi meninggalkan kami dengan mata berkaca-kaca. Mempersiapkan diri untuk melakukan terapi. Dia juga penderita DM.
DM merupakan penyakit degeneratif yang tak tersembuhkan. Penyakit berkepanjangan yang tak tertangani dengan baik bisa membuat porak poranda keluarga penderita. Kuat dugaan ada mal praktek dalam penanganan adikku. Mal praktek yang dilakukan oleh dokter dan tanpa sadar didukung oleh suami karena “ketotolan, kesombongan dan kekeraskepalaan”nya. Nasi memang sudah jadi bubur. Entah sampai kapan bisa tertangani masa recovery ini. Ini memang bukan lagi medical recovery tetapi psychological recovery. Dan aku tidak tahu sampai kapan harus menghadapinya.

10 komentar:

  1. Assalamu alaikum mbak,
    terima kasih sudah sharing. Jadi teringat dengan kakak sepupu yang juga menderita DM dan akhirnya kembali kepada Sang Khalik Desember 2007. Ujian ini memang berat bukan hanya untuk yang bersangkutan tetapi seluruh keluarganya.
    Semoga keluarga besar mbak diberi kekuatan menghadapi semua ini dan diberikan yang terbaik.

    BalasHapus
  2. Amiinn,
    Terima kasih atas doanya.
    wassalam

    BalasHapus
  3. Semoga selalu diberi kekuatan ya, Mbak...

    BalasHapus
  4. Bagian dari perjalanan hidup......

    BalasHapus
  5. Tapi aku lagi nggak suka jalan-jalan... wakakak, nggak nyambung lagee!

    BalasHapus
  6. Bu...belajar tentang kehidupan ternyata susah ya,aku juga kadang-kadang sangat sulit untuk bersabar ,kalo gak dikasih makanannya..takut darah tingginya kumat, tapi kalo dikasihin makanannya..takut kadar gula darahnya naik...dilemma

    BalasHapus
  7. mungkin jadi pelajaran buat kita juga. jaga makanan sejak muda, supaya penyakit degeneratif nggak timbul saat umur mulai melewati angka 35-40

    BalasHapus
  8. nah ini mb Lina...aku sempet didiagnosa cancer kemaren di payudara,alhamdulillah ternyata bukan,kemudian benjoalan sebesar telur itu diangkat.Tapi terus terang akibat diagnosa tsb aku juga mulai menahan diri dari mkn2an pantangan,terutama goreng2an yg merangsang zat karsinogen aktif.udah mulai tua juga soalnya ,35 thn

    BalasHapus
  9. Alhamdulillah..
    Kamu diberi hidayah Allah SWT sehingga atas kesadaran sendiri lalu mulai menahan diri, karena kalau hanya atas anjuran orang lain tanpa kesadaran diri, maka upaya itu jadi sia-sia

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...