Rabu, 06 Agustus 2008

"Are You Playing Games?"

Ini ada artikel psikologi yang bagus untuk dicerna. Semoga bermanfaat dalam kehidupan terutama dalam kehidupan berumah tangga.___

Sumber: "Are You Playing Games?" oleh Lianawati, Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Psikologi Ukrida.

Adakah yang pernah mengalami salah satu hal berikut ini saat bertengkar: Ingin mengatakan kepada pasangan bahwa kita telah memaafkannya, namun yang keluar malah kata-kata menyakitkan. Kita ingin pasangan memahami apa yang membuat kita kesal, namun kita malah semakin kesal karena pasangan tidak berespons seperti yang kita inginkan. Kita ingin pasangan meminta maaf terlebih dahulu, namun yang muncul malah rasa sakit hati karena ternyata pasangan bisa bertahan untuk tidak memulai berbaikan. Atau, ketika sama-sama sedang marah, yang terucap adalah daftar kekesalan yang bertumpuk sehingga mengejutkan pasangan yang tidak menduga bahwa selama ini pasangannya menyimpan kekecewaan demikian besar.
Jika kita mengalami satu saja dari hal di atas, itu berarti kita sudah memainkan sebuah permainan (game) dalam hubungan kita dengan pasangan. Istilah permainan itu dikemukakan pertama kali oleh Eric Berne, pakar transactional analysis yang terkenal dengan bukunya berjudul Games People Play. Transactional analysis cukup dikenal dalam bidang komunikasi dan pemasaran. Namun, Berne sendiri memakai konsep ini sebagai sebuah psikoterapi, khususnya dalam masalah keluarga, atau yang terkait dengan relasi.
Dinamakan transactional analysis karena terapis yang menggunakan metode ini akan membantu kliennya menganalisis interaksinya dengan orang lain. Interaksi–interaksi yang tidak tepat akan membawa kedua pihak pada hubungan yang tidak sehat.
Untuk dapat menganalisis interaksi, kita harus memahami lebih dahulu bahwa tiap individu memiliki tiga kondisi ego (ego states) yang menggambarkan keberfungsian dari keadaan dirinya. Kondisi ego ini adalah anak (child), orangtua (parent), dan dewasa (adult).
Kita dikatakan sedang dalam kondisi ego anak jika menampilkan karakteristik anak-anak seperti spontan, impulsif, berpusat pada diri sendiri, mencari kesenangan, senang bermain-main, berorientasi pada perasaan, cemas, mencari persetujuan orang lain, patuh, kooperatif, ataupun membantah. Contoh yang paling sederhana adalah, "Yuk, kita bermain."
Ego kita dalam kondisi orangtua jika kita menampilkan karakteristik yang khas orangtua baik sebagai orangtua yang mengasuh (nurturing) maupun mengontrol (controlling). Sifat mengasuh muncul dalam memuji, menenangkan, dan membantu. Contohnya, "Ya sudah, yang sabar, ya."
Sifat mengontrol dapat berupa tidak menyetujui suatu perilaku, menemukan kesalahan orang lain, ataupun berprasangka. Contohnya, "Kamu kalau jalan pakai mata, dong."
Kondisi ego yang dewasa tampil dalam bentuk pernyataan atau sikap yang rasional, objektif, dan penuh pertimbangan. Contohnya, "Kamu sudah memikirkan risiko berbisnis dengan dia?" Perlu diperhatikan kondisi ego dewasa di sini tidak selalu mengacu kepada sikap yang dewasa. Dapat pula sekadar menyatakan data faktual, misalnya, "Hari sudah larut malam." Atau, "Sekarang sudah pukul 12."
Tampil Seimbang
Kondisi ego itu tidak ada kaitannya dengan usia seseorang. Seorang anak kecil dapat saja menampilkan kondisi ego orangtua ketika menghibur temannya agar tidak menangis lagi. Seorang kakek dapat menampilkan kondisi ego anak ketika menginginkan es krim cokelat, sementara ia terkena diabetes. Seorang remaja dapat menampilkan kondisi ego dewasa ketika membatalkan kencannya karena harus belajar untuk ujian akhir. Seorang anak balita juga dapat menampilkan kondisi ego dewasa dengan mengatakan hujan sedang turun.
Selain itu, tidak ada yang buruk ataupun baik dari masing-masing kondisi ego. Yang terpenting adalah ketiga kondisi ego itu tampil seimbang dalam diri kita, dan kita fleksibel dalam menggunakannya sesuai keperluan.
Sebagai contoh, ada pasangan suami istri bernama Anton dan Deisy Suatu hari Deisy mengajak Anton menonton film Kungfu Panda. Ajakan Deisy itu menunjukkan kondisi ego anak yang ingin bersenang–senang dengan menonton film. Yang Deisy inginkan tentunya jawaban yang mendukung keinginannya untuk menonton (bersenang-senang). Dengan perkataan lain, Deisy menginginkan Anton menjawab dengan kondisi ego anak juga.
Jika Anton menjawab, "Wah, boleh juga idemu," Deisy tentu akan senang karena respons Anton sesuai dengan yang diharapkan. Atau bila Anton menjawab dengan ego dewasa, "Memang apa yang menarik dari film itu?", responsnya pun masih belum bertentangan dengan tuntutan Deisy. Interaksi seperti itu antara Anton dan Deisy dinamakan complementary transactions, karena saling melengkapi. Transaksi seperti itu adalah transaksi positif dalam sebuah relasi.
Tetapi, jika Anton menjawab, "Kamu ini sudah tua kok senangnya nonton film anak kecil", kritik Anton jelas menampilkan kondisi ego orangtua. Dengan respons seperti itu dapat dibayangkan perasaan Deisy yang kesal karena tidak direspons dengan tepat.
Respons Anton itu membuat interaksi di antara mereka menjadi crossed transactions. Crossed karena respons yang diberikan tidak sesuai tuntutan lawan bicara kita. Sampai di situ, Deisy dapat mengembalikan situasi menjadi complementary transactions jika ia mencoba lebih objektif dengan menampilkan kondisi ego dewasa seperti, "Tapi film itu sarat nilai-nilai positif lho."
Sayangnya, yang sering terjadi, respons yang tidak sesuai keinginan kita akan kita tanggapi dengan respons yang juga tidak tepat. Deisy, misalnya, akan merajuk, yang berarti ia kembali menampilkan kondisi ego anak. Bukan tidak mungkin akan terjadi pertengkaran karena masalah sepele terkait dengan film Kungfu Panda itu. Anton akan mengomentari sikap kekanakan Deisy, sementara Deisy akan mengatakan Anton tidak pernah memedulikan keinginannya. Kondisi seperti inilah yang disebut Berne dengan melakukan permainan.
Secara khusus, permainan antara Deisy dan Anton ini disebut dengan kegemparan (uproar) karena berakhir dengan pertengkaran. Permainan ini dapat diartikan sebagai interaksi yang akhirnya membawa kita pada perasaan yang negatif.
Selain crossed transactions, ada lagi yang dinamakan ulterior transactions. Misalnya Anita mengatakan kepada Iwan, suaminya, "Aku benci sama kamu. Kamu jahat." Iwan yang mendengarnya akan menanggapi dengan, "Ya, aku memang jahat. Aku pantas untuk dibenci." Padahal Anita tidak sungguh-sungguh membenci Iwan. Yang ia inginkan dari perkataannya itu adalah Iwan merespons dengan meminta maaf dan mengatakan ia mencintai Anita.
Jadi, dalam ulterior transactions, pesan yang terucap tidak sama dengan pesan yang ingin disampaikan. Ada makna lain yang terselip di dalamnya. Atau sering disebut sebagai pesan tersembunyi (hidden message). Pesan seperti itu tentu sulit dipahami bahkan oleh pasangan yang telah menikah puluhan tahun sekalipun. Akhirnya ulterior transactions pun dapat membawa pasangan ke dalam permainan berjenis uproar.
Pecundang

Sayangnya, dalam berelasi, kita sering melakukan permainan-permainan itu. Kita senang dengan permainan karena senantiasa berharap dapat memenangkan permainan. Padahal, dalam sebuah hubungan, siapa pun yang memenangkan permainan itu tidak akan membuat hubungan itu menjadi lebih baik. Sebaliknya, yang terjadi, membuat hubungan menjadi lebih buruk. Berne bahkan dengan tegas mengatakan, siapa pun yang memainkan permainan adalah pecundang. Karena dengan bermain, mereka menghindari interaksi yang sehat dan bermakna.
Dengan demikian, permainan hendaknya tidak dimulai. Jika sudah telanjur dimulai, permainan itu harus dihentikan. Bukan berarti kita harus menanggapi semua keinginan pasangan agar respons selalu sesuai tuntutan pasangan. Kadang memang ada baiknya keinginan itu ditanggapi secara rasional dengan menampilkan kondisi ego yang dewasa. Dengan perkataan lain, yang terpenting adalah menciptakan complementary transactions yang positif.
Hal lain yang lebih penting adalah menghindari percakapan yang mengandung pesan-pesan tersembunyi (ulterior transactions). Percakapan seperti ini membuka celah untuk terjadinya kesalahpahaman. Kita harus ingat, relasi tentu bukan persoalan tebak-menebak.
Jadi, katakan saja kebutuhan kita apa adanya dengan perkataan yang mudah dipahami. Jika telanjur sudah terjadi, ulterior transactions ini harus dihentikan. Caranya, dengan mencoba memahami pasangan untuk dapat mengambil makna tersembunyi. Atau langsung menanyakan kepadanya apa sebenarnya yang ingin disampaikan pasangan atau tindakan apa yang ia harapkan dapat kita lakukan untuknya. Cara itu lebih mudah dan dapat menyadarkannya bahwa kita sangat ingin menyenangkannya, namun tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, kita akan terhindar dari permainan yang hanya dapat membawa kita pada pertengkaran yang lebih hebat.
So, are you playing games? Please, stop it right now.

9 komentar:

  1. kalo tebak-ebak buah manggis boleh ?

    BalasHapus
  2. u r welcome. Semoga bermanfaat

    BalasHapus
  3. Boleh aja... kalo kalian berdua memang suka buah manggis.
    Paling anak2 lu bingung... Ini ayah sama bunda lagi jadi anak2 lagi....
    Masa kecil kurang bahagia kali ye... (wakakak)

    BalasHapus
  4. how to stop? I realize I'm playing the games, but don't know how to stop.
    apa ini berarti harus selalu bersikap asertif? ada situasi di mana kita mengira, sikap asertif hanya akan memperburuk keadaan. well, karena kita sudah terbiasa dengan 'play the game.'
    saya pernah mencoba untuk 'stop playing', tapi reaksi dari orang yang saya ajak bermain itu malah ekstrim. Ya sudah. Let's play the game again then.

    o iya, game ini kan bukan cuma kasus sama pasangan kan ya? sama pihak lain (orang tua, saudara kandung) juga?

    BalasHapus
  5. Once we decided to stop the game, then do it! Jangan terpancing lagi untuk kembali masuk ke dalam permainan, walaupun reaksinya ekstrim. Saya baru saja mengalaminya ... (lihat blog sebelum ini) dan saya bertekad untuk betul2 stop the game dengan segala resiko yang harus ditanggung. Untuk itu saya bicara secara bertahap dengan seluruh keluarga besar untuk mendukung tindakan saya.

    BalasHapus
  6. tau aja..... dan lagi, buah manggis mah ndak usah di tebak, wong udah tau kok dari contekan diluar :))
    msa kecil sering makan manggis jadi tau persisi gimana nebak isinya :P

    BalasHapus
  7. kembali kasih...
    semoga bermanfaat

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...