Selasa, 28 Oktober 2008

80 tahun SUMPAH PEMOEDA; betulkah kita sudah bersatu?

beberapa hari lagi, kita akan memperingati Sumpah Pemuda saat 80 tahun yang lalu, para pemuda dari berbagai organisasi indische yang saat itu dikenal sebagai Jong Java, Jong Ambon, Jong Sunda, Jong Celebes, Jong_Batak, Jong_Sumatranen_Bond, Jong_Islamieten_Bond dan lainnya menyelenggarakan Kongres Pemoeda.Pada hari ini pula, di sebuah gedung yang sekarang dinamakan Gedung Joeang yang terletak di Jl Menteng Raya no 31–Jakarta, dibacakan SOEMPAH PEMOEDA.

Saat itu, tidak ada atau belum ada negara atau wilayah bernama Indonesia. Namun para pemuda–pemudi tersebut yang sudah merasakan pahit getirnya dibawah penjajahan asing merasakan betul bahwa “bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh”. Mungkin, semangat dan visi kebersamaan itu pula yang menyatukan mereka sehingga terjadilah apa yang dinamakan Kongres Pemoeda 1928 yang merupakan tonggak persatuan Indonesia.

Hari ini 80 tahun kemudian, agaknya kita harus merefleksikan dan mengevaluasi kembali semangat dan misi yang dibawa oleh para pemuda dari berbagai suku dan daerah dari sebuah wilayah luas di kawasan khatulistiwa jajahan Belanda bernama Indische.Benarkah Indonesia sudah bersatu?Ini pula yang selalu menggelitik dalam pikiran. 

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang sangat luas dan terdiri dari 17.508 pulau, 8.844 buah pulau di antaranya telah memiliki nama. Di antara sedemikian banyaknya pulau yang dimiliki, hanya 6.000 pulau yang dihuni. selebihnya tentu menjadi pulau tak berpenghuni dan bisa jadi dianggap “tak bertuan” yang bisa jadi rawan penjarahan oleh Negara tetangga, terutama pulau–pulau yang terletak di lautan lepas. Kasus “penjarahan” pulau oleh Negara tetangga ini, seperti telah terjadi beberapa waktu yang lalu atas pulau Sigitan dan Sipadan bisa menjadi contoh nyata.

Pulau–pulau berpenduduk dihuni oleh masyarakat yang kemudian menyebut diri suku, tribu dengan bahasa, tradisi dan budayanya masing-masing. Di antara 2 bahasa yang paling banyak digunakan di Indonesia yaitu bahasa Jawa dan Melayu, masih terdapat bahasa daerah dan dialek. Bayangkan ada ratusan bahasa daerah yang seringkali menjadi bahasa utama penduduk setempat. Bahkan di Irian–Papua, ada sekitar 500 an bahasa lokal untuk hanya sekitar 3 juta penduduk.

Bisa dibayangkan betapa repotnya mengurus Indonesia apabila tidak disepakati sebuah bahasa yang diterima secara universal.Tidak mudah pula menyatukan pendapat, menyatukan visi dan misi. Apalagi untuk membagi kekayaan tanah air ini secara adil bagi kemakmuran dan kemajuan Negara. Bagaimana “memberi pengertian” kepada daerah “kaya” sumber alam agar mau berbagi dengan saudaranya yang hidup di wilayah “miskin” sumberdaya alam agar satu tidak merasa lebih rendah dari yang lain.

Mungkin itu sebabnya, sejarah Indonesia mencatat para pemimpin Negara ini lama kelamaan cenderung menjadi otoriter dalam menjalankan pemerintahannya. Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa ini memang menjadi godaan yang luar biasa bagi para pemimpin dalam menjalankan amanah dari rakyat.

Otoritas Daerah yang semula di”gadang–gadang” salah satu sarana untuk melakukan pemerataan dalam berbagai bidang, pada kenyataannya cenderung diselewengkan untuk “menjadikan” kembali kepala daerahnya sebagai “raja kecil” di daerah. Kekuasaan yang berlebih di tangan “orang yang salah” bisa menjadi boomerang bagi maksud dan tujuan yang baik. Power tends to corrupt.

Mulai dari diri sendiri.
Kemajemukan Indonesia yang tercermin dalam bahasa–dialek, suku bangsa, tradisi mau tidak mau mempengaruhi tata cara kehidupan sehari-hari. Benarkah Indonesia sudah bersatu, meleburkan diri menjadi yang satu; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa?
Pada kenyataannya, kebanggaan sebagai “anak daerah” dengan segala embel – embel tradisi, kekayaan budaya dan bahasa menjadikan “seseorang” atau suatu suku “merasa” lebih dari yang lain. Mitos yang banyak dipercayai masyarakat turut “menghambat” pembauran dan penghapus sekat kedaerahan. Sebut saja adanya larangan pernikahan antara perempuan Jawa dengan lelaki Sunda yang dikaitkan dengan peristiwa Perang Bubat.

Seorang kawan wanita yang berasal dari Madura bercerita, bahwa keluarga besarnya berpesan dan meminta dengan sangat agar tidak menikah dengan suku–suku tertentu. Atau yang paling konyol adalah pesan orangtua agar anak-anaknya hanya menikah dengan pasangan yang sesuku. Andaikan anjuran tersebut hanya anjuran agar anak-anak menikah dengan pasangan seagama, maka hal ini masih dapat diterima karena agama merupakan pedoman hidup.

Dalam bidang politik, pemilihan kepala daerah selalu diramaikan oleh pro dan kontra antara calon putra daerah dan pendatang. Calon yang bukan berasal dari suku dimana dia mencalonkan diri, tidak akan pernah dianggap sebagai putra daerah walaupun dia hidup dan bertempat tinggal di wilayah tersebut sejak kelahirannya.

Atau selalu ada anekdot, bila pimpinan suatu instansi berasal dari suatu daerah atau suku tertentu, maka seluruh jajaran di bawahnya akan di dominasi oleh staff yang berasal dari daerah yang sama dengan daerah si pimpinan. Dan konon, kondisi ini sangat terasa di instansi pemerintah.

Saat ini ada kecenderungan, semakin kaya seseorang, maka saat merayakan pernikahan anak–anaknya, maka dia akan berusaha menyelenggarakannya dengan upacara adat selengkap yang dimungkinkan dengan dalih memelihara tradisi dan kebudayaan.

Memang, meleburkan diri menjadi satu bisa jadi berarti menghilangkan identitas. Manakala identitas yang hilang tersebut bernama keragaman bahasa, tradisi, kesenian dan budaya, tentu akan banyak golongan yang berkeberatan. Atau, apakah kita harus menggabungkan semua keragaman bahasa, budaya, kesenian dan tradisi menjadi satu budaya dan tradisi baru?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...