Monumen Nasional |
Ini pertanyaan iseng .... Andaikan RUU Pornografi disahkan menjadi UU, apakah semua masyarakat akan juga mengevaluasi semua elemen bangunan, gambar/logo atau apapun juga yang menggunakan atau mengambil simbol-simbol benda/tradisi yang bisa dikategorikan dalam pornografi?
Contoh jelas yang sudah sangat meluas di masyarakat adalah penggunaan simbol lingga dan yoni dalam berbagai konsep disain/rancangan bangunan dan elemen artistik, antara lain pada Monumen Nasional alias tugu MONAS yang menjadi lambang kota JAKARTA sang ibukota negara
Contoh jelas yang sudah sangat meluas di masyarakat adalah penggunaan simbol lingga dan yoni dalam berbagai konsep disain/rancangan bangunan dan elemen artistik, antara lain pada Monumen Nasional alias tugu MONAS yang menjadi lambang kota JAKARTA sang ibukota negara
Lingga tertua yang pernah diketahui di Indonesia, berasal dari prasasti Canggal, yang berasal dari halaman percandian di atas gunung Wukir di Kecamatan Sleman. Dari prasasti yang ditulis tahun 732 M tersebut diketahui bahwa Raja Sanjaya yang beragama Siwa telah mendirikan sebuah Lingga di atas bukit, dan dimungkinkan bangunan Lingga tersebut ialah candi yang hingga masih ada sisa-sisanya di atas gunung Wukir.
Kata Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ”tanda padanan phallus atau kelamin laki-laki”. Di dalam buku Iconographic dictionary of the India religion Hinduism–Buddhism–Jainism diuraikan bahwa Lingga (linggam) antara lain berarti simbol atau lambang jenis kelamin laki-laki. Lingga menurut paham Hindu disebut sebagai lambang kesuburan.
Biasanya Lingga di tempatkan di atas sebuah vulva (yoni). Yoni di sini berarti simbol alat kelamin wanita, sebagai simbol dari unsur wanita. Yoni dianggap sebagai unsur sakti dan seringkali disatukan di dalam susunan Lingga. Lingga Yoni juga dipercaya sebagai sumber dari kesuburan. Di jaman dahulu, golongan penganut kepercayaan kepada lingga–yoni tersebut kadang menyiramkan air pada Lingga dan kemudian air yang mengalir melalui yoni ditampung dan selanjutnya disiramkan pada tanaman padi atau tanaman lainnya.
Penggunaan symbol lingga–yoni sebagai lambang kesuburan dan kesinambungan kehidupan tidak berhenti hingga disini. Berbagai bangunan keagamaan mengadopsi lingga–yoni ke berbagai elemen bangunan kuil, pura, candid an bahkan tanpa kita sadari berbagai alat bantu kehidupan kita juga merupakan penerapan dari konsep lingga–yoni. Salah satunya, sebut saja alu dan lumpang yang jaman dulu merupakan bagian dari peralatan dapur setiap rumah tangga. Alu yang terbuat dari batu atau kayu berbentuk bulat memanjang merupakan pengejawantahan dari bentuk lingga sedangkan lumpang berbentuk mangkuk (cekung) yang menampung lingga merupakan penerapan dari yoni.
Selain itu, pasti banyak elemen dan peralatan yang berada di rumah yang prinsip kerja dasarnya merupakan adaptasi dari lingga dan yoni. Lihat saja cara kerja jack pada kabel tv, saat kita memasang flash disk … Itu sebabnya, tanpa kita sadari, kalau kita meminta/membeli suatu peralatan listrik, kita akan bila ke pelayan toko :
“minta kabel lengkap dengan jack nya. Yang lelaki dan perempuannya ya….”
Nah, kembali ke judul artikel ini, apakah Jakarta perlu mengubah lambang kotanya yaitu monument nasional alias MONAS?
Konon, menurut Wikipedia online, Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah salah satu dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Rancangan arsitektur tugu ini dibuat oleh Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan perhitungan struktur Ir. Rooseno. Mulai dibangun Agustus 1959 kemudian diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1961 oleh Presiden pertama RI Soekarno. Monas resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.
Bentuk Tugu peringatan ini merupakan sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni sebagai simbol kesuburan dengan tinggi 132 m. Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumpang). Alu dan lumpang merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia.
Aplikasi lingga–yoni pada bentuk arsitektur Monas cukup halus. Berbeda dengan gedung Sapta Pesona, tempat menteri Pariwisata berkantor, yang juga mengadopsi bentuk lingga. Gedung Sapta Pesona menurut saya dengan sangat vulgar menerapkan bentuk lingga dengan sangat kasat mata.
Jadi… apakah kedua bangunan di Jakarta tersebut serta banyak candi–candi yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia yang tentu saja memasukkan unsur lingga–yoni harus dihancurkan? Dan masyarakat pedesaan tidak boleh lagi menggunakan alu dan lumpang…? Dan masyarakat perkotaan tidak boleh menggunakan alat-alat elektronika karena prinsip sambungan nya menggunakan konsep lingga–yoni. Lelaki dan perempuan, bersatu.
hahahaha .........jeli juga yahh .....
BalasHapusdipakein baju aja kali ....
ide bagus juga nih... sekalian bantu industri tekstil Indonesia yang lagi megap2
BalasHapusyaelah mbak...ga usah dipikirin kalee
BalasHapusudah ada pasal di RUUnya yang ngatur tentang penggunaan 'itu' untuk seni & budaya ;)
hehehe... kan judulnya pertanyaan iseng... ah si oom kurang menyimak woro2 tulisan di atas deee
BalasHapushehe...segitunya mbak mikirnya.
BalasHapushihi... nggak dipikir kok, cuma sekelebat aja timbul ide, setelah nulis ttg gedung porno...
BalasHapuscermat skali pengamatannya !
BalasHapusditutup pake terpal aja Monasnya, malu kalo keliatan publik, huehehehe...
Yang mesti ditutup, bukan MONAS Ly, tapi gedung Sapta Pesonanya Departemen Pariwisata. Monas sih udah cukup sopan...
BalasHapusSekarang RUU tsb udah jadi UU. Tapi tayangan di TV makin menjadi-jadi. Nampaknya UU ini sangat tidak bergigi. Apa ini bukan pemborosan? Untuk merancangnya saja biayanya udah sangat banyak. Setelah jadi malah dicuekin. Banyak pula Perda yang seperti ini nasibnya, seperti tentang Larangan Merokok Di tempat Umum, Larangan Menyeberang Jalan sembarangan, dll. Semuanya tumpul. Aturan ya aturan, pelanggaran jalan terus!
BalasHapusKan ada pameo bahwa UU - Perda dan sejenisnya dibuat bukan untuk ditaati tetapi untuk dilanggar..... (ironi...!!!)
BalasHapus