Malam takbiran yang lalu, kami ber 9, dengan adik, ipar dan keponakan nonton film Laskar Pelangi - LP di Citos, jam pertunjukan 21.45. Agak malam, karena sudah terlambat untuk pertunjukan jam 19.00. Selain karena film LP memang banyak peminatnya, tapi juga karena, acara nonton itu mendadak muncul di kepala usai menjemput suami dari mesjid Al Hikmah – Elnusa tempatnya itikaf 10 malam terakhir Ramadhan.
Masih terbayang hingga kini, betapa anak-anak LP, terutama Lintang, dalam kemiskinannya, sangat menikmati masa sekolah. Kelihatannya, sekolah di SD Muhammadiyah yang kumal itu menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Tempat menjalin keakraban dan bersenang-senang.
Mungkin karena suasana pedalaman Belitong yang indah mempengaruhi suasana belajar, Tentu bila dibandingkan dengan Jakarta yang ruwet, macet dan semrawut. Macet menjelang tiba di sekolah mempengaruhi suasana hati sehingga gedung mewah dan fasilitas lengkap tak mampu memupus kelelahan anak.
Anak SD di kota besar sekarang, Jakarta misalnya, relatif susah untuk bangun pagi, mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Padahal kemacetan memaksa anak sudah harus berangkat pada jam 06.00. Sarapan pagipun terkadang harus dilakukan di dalam kendaraan.
Beruntunglah kalau pagi masih bisa di antar orangtua dengan kendaraan pribadi. Tapi, bagaimana dengan anak-anak yang harus berangkat dengan kendaraan umum. Tentu mereka harus berangkat lebih pagi lagi. Bukan tidak mungkin, mereka tidak sempat sarapan dulu di rumah.
Sekolah, sekarang tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan. Bagaimana bisa, kalau berangkat ke sekolah saja sudah memerlukan perjuangan keras seperti itu.
Sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar yang nyaman. Bagaimana mungkin bisa nyaman, kalau memegang pensil masih belum ajeg … membaca masih terbata-bata tetapi buku pelajaran yang tebal, penuh tulisan dengan bahasa “tingkat tinggi” yang sukar dimengerti anak yang baru lepas dari botol susu, tetapi sudah harus dicerna mereka.
Tentu, sekolah juga menjadi tempat yang menakutkan, bila usai terperangkap dalam kelas yang “dingin”, kehangatan rumah yang dirindukan masih akan dipenuhi lagi oleh kecerewetan ibu, mengingatkan anak untuk mengikuti les tambahan ini atau kursus itu. Belum lagi tumpukan pekerjaan rumah dari guru, latihan untuk mengulang pelajaran di sekolah.
Tidaklah mengherankan, bila anak-anak mengalami stress luar biasa pada hari-hari pertama masuk sekolah di kelas I SD dulu. Alasan sakit kepala, sakit perut dan mules pada jam berangkat sekolah sering terjadi.
Tahun 60an …. Anak SD kelas I dan II hanya belajar Menulis, membaca dan berhitung. Merekapun hanya punya buku teks bahasa Indonesia. Judulnya sederhana sekali. Buku Bahasaku dan Bacaan Bahasaku karangan Purwadarminta. Buku bahasaku berisi pelajaran bahasa yang pada umumnya berisi teks dan pertanyaan, lalu ada latihan-latihannya yang sekarang mungkin lebih beken dengan sebutan pelajaran Tata Bahasa.
Buku Bacaan Bahasaku, berisi teks bacaan. Cerita-cerita pendek yang sangat menarik. Ceritanya sederhana, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dicerna anak. Nama tokohnyapun sangat sederhana, Amir, Tuti, Sudin, Muntu. Sama sederhananya dengan perikehidupan yang terpancar dalam teks buku pelajaran bahasa tersebut. Jadi, belajar bahasapun menjadi sangat menyenangkan.
Anak-anak SD baru mulai belajar menulis, karena masa sekolah di taman kanak-kanak - TK memang seperti bermain di taman. Aktifitas anak di TK hanya bermain, bernyanyi atau menguatkan syaraf motoril tangan dengan mengolah “malam” atau sekarang disebut dengan nama keren “plastisin”. Sangat berbeda dengan anak-anak TK sekarang.
Hari-hari pertama di SD dimulai dengan belajar mengenal dan menulis abjad, pengenalan huruf besar dan huruf kecil di buku khusus pelajaran menulis bergaris 5. Pelajaran menulis indah inipun berlangsung hingga murid duduk di kelas enam. Bedanya, di kelas 6, murid menulis dengan tinta dan mata pena. Pelajaran yang menuntut kesabaran dan kehati-hatian, karena kalau tidak hati-hati, maka tinta akan mblobor dari mata pena membasahi tulisan. Itu sebabnya, anak-anak yang bersekolahdi SD hingga akhir tahun 60an rata-rata memiliki tulisan yang indah dan teratur rapih.
Matematika…..? Waduh… sama sekali tak dikenal. Yang dikenal adalah pelajaran berhitung. Di kelas 1, anak hanya diajari pelajaran penambahan dan pengurangan. Di kelas 2 perlajaran pembagian dan perkalian. Baru di kelas 3 dan 4, anak diajari kombinasi penambahan dan pengurangan serta pembagian dan perkalian. Pelajaran berhitung dengan format teks baru diajari di kelas 5 dan 6.Pelajaran Ilmu Bumi (ingat lho … istilahnya ilmu bumi, bukan geografi) baru mulai diajari di kelas 3, lalu bertambah dengan ilmu hayat di kelas 4. Sederhana sekali ya. Nggak ada tuh yang namanya PPKn, IPS, IPA, PLKJ dan lain-lain. Paling ditambah dengan pelajaran Budi Pekerti mulai di kelas 3, yang berupa cerita-cerita keteladanan.
Lalu, bagaimana dengan ulangannya? Biasanya setiap selesai mengajarkan satu topik, katakanlah penambahan 1 hingga 10, keesokan harinya akan ada ulangan dalam bentuk mencongak. Guru menyebutkan operasi penambahannya, misalnya saja 1+1, lalu murid tinggal menulis jawabnya di kertas. Kalau pelajaran bahasa, biasanya dalam bentuk dikte. Guru membaca teks 1 atau 2 kali, lalu murid menuliskan apa yang didengarnya.
Sederhana sekali. Tidak ada minggu ulangan umum entah apa yang dinamakan mid tes ehb dan lain-lain yang mencekam anak. Dengan demikian, anak sekolah jaman dulu tidak ada yang stress.
Sekolah betul-betul menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Tempat yang dirindukan. Apalagi, jaman itu, kendaraan masih langka, jadi jalanpun masih sepi, pepohonan masih rimbun. Udara lebih sejuk tak berpolusi. Dengan suasana dan materi pengajaran yang sangat sederhana tersebut, apakan anak-anak jaman dulu kurang intelek? Yang pasti, pada umumnya anak-anak jaman dulu sangat suka membaca buku pelajaran bahasaku ditambah dengan majalah si Kuncung.
Masih teringat ada satu teks dalam buku bacaan bahasaku …:
“Aduh mak…, perutku sakit…
”“Mari nak…. Kutolong pijit… dst …
(maaf lupa terusan teks nya)
Atau satu lagu yang juga tercantum dalam buku tersebut…
“Kupu-kupu yang lucu….
Kemana engkau terbang
Hilir mudik mencari
Bunga-bunga yang kembang
Berayun-ayun pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu,
Merasa lelah… dst
Ah, tentu anak-anak jaman sekarang akan berpikir Jadoel banget. Ini bukan soal jadoel atau modern. Tapi tentang bagaimana menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi anak-anak sekolah terutama anak-anak SD di kelas-kelas awal. Karena sekolah sekarang tidak lagi menawarkan system belajar yang nyaman bagi anak. Sekolah sudah menjadi monster yang merenggut keceriaan anak.
Tidak mengherankan bila sekarang ini, di Singapore, Jepang dan bahkan di Indonesia, anak SD pun sudah mengenal upaya “BUNUH DIRI” karena tidak kuat menahan beban. Apapun bentuk beban yang mereka tanggungkan.
Masih terbayang hingga kini, betapa anak-anak LP, terutama Lintang, dalam kemiskinannya, sangat menikmati masa sekolah. Kelihatannya, sekolah di SD Muhammadiyah yang kumal itu menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Tempat menjalin keakraban dan bersenang-senang.
Mungkin karena suasana pedalaman Belitong yang indah mempengaruhi suasana belajar, Tentu bila dibandingkan dengan Jakarta yang ruwet, macet dan semrawut. Macet menjelang tiba di sekolah mempengaruhi suasana hati sehingga gedung mewah dan fasilitas lengkap tak mampu memupus kelelahan anak.
Anak SD di kota besar sekarang, Jakarta misalnya, relatif susah untuk bangun pagi, mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Padahal kemacetan memaksa anak sudah harus berangkat pada jam 06.00. Sarapan pagipun terkadang harus dilakukan di dalam kendaraan.
Beruntunglah kalau pagi masih bisa di antar orangtua dengan kendaraan pribadi. Tapi, bagaimana dengan anak-anak yang harus berangkat dengan kendaraan umum. Tentu mereka harus berangkat lebih pagi lagi. Bukan tidak mungkin, mereka tidak sempat sarapan dulu di rumah.
Sekolah, sekarang tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan. Bagaimana bisa, kalau berangkat ke sekolah saja sudah memerlukan perjuangan keras seperti itu.
Sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar yang nyaman. Bagaimana mungkin bisa nyaman, kalau memegang pensil masih belum ajeg … membaca masih terbata-bata tetapi buku pelajaran yang tebal, penuh tulisan dengan bahasa “tingkat tinggi” yang sukar dimengerti anak yang baru lepas dari botol susu, tetapi sudah harus dicerna mereka.
Tentu, sekolah juga menjadi tempat yang menakutkan, bila usai terperangkap dalam kelas yang “dingin”, kehangatan rumah yang dirindukan masih akan dipenuhi lagi oleh kecerewetan ibu, mengingatkan anak untuk mengikuti les tambahan ini atau kursus itu. Belum lagi tumpukan pekerjaan rumah dari guru, latihan untuk mengulang pelajaran di sekolah.
Tidaklah mengherankan, bila anak-anak mengalami stress luar biasa pada hari-hari pertama masuk sekolah di kelas I SD dulu. Alasan sakit kepala, sakit perut dan mules pada jam berangkat sekolah sering terjadi.
Tahun 60an …. Anak SD kelas I dan II hanya belajar Menulis, membaca dan berhitung. Merekapun hanya punya buku teks bahasa Indonesia. Judulnya sederhana sekali. Buku Bahasaku dan Bacaan Bahasaku karangan Purwadarminta. Buku bahasaku berisi pelajaran bahasa yang pada umumnya berisi teks dan pertanyaan, lalu ada latihan-latihannya yang sekarang mungkin lebih beken dengan sebutan pelajaran Tata Bahasa.
Buku Bacaan Bahasaku, berisi teks bacaan. Cerita-cerita pendek yang sangat menarik. Ceritanya sederhana, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dicerna anak. Nama tokohnyapun sangat sederhana, Amir, Tuti, Sudin, Muntu. Sama sederhananya dengan perikehidupan yang terpancar dalam teks buku pelajaran bahasa tersebut. Jadi, belajar bahasapun menjadi sangat menyenangkan.
Anak-anak SD baru mulai belajar menulis, karena masa sekolah di taman kanak-kanak - TK memang seperti bermain di taman. Aktifitas anak di TK hanya bermain, bernyanyi atau menguatkan syaraf motoril tangan dengan mengolah “malam” atau sekarang disebut dengan nama keren “plastisin”. Sangat berbeda dengan anak-anak TK sekarang.
Hari-hari pertama di SD dimulai dengan belajar mengenal dan menulis abjad, pengenalan huruf besar dan huruf kecil di buku khusus pelajaran menulis bergaris 5. Pelajaran menulis indah inipun berlangsung hingga murid duduk di kelas enam. Bedanya, di kelas 6, murid menulis dengan tinta dan mata pena. Pelajaran yang menuntut kesabaran dan kehati-hatian, karena kalau tidak hati-hati, maka tinta akan mblobor dari mata pena membasahi tulisan. Itu sebabnya, anak-anak yang bersekolahdi SD hingga akhir tahun 60an rata-rata memiliki tulisan yang indah dan teratur rapih.
Matematika…..? Waduh… sama sekali tak dikenal. Yang dikenal adalah pelajaran berhitung. Di kelas 1, anak hanya diajari pelajaran penambahan dan pengurangan. Di kelas 2 perlajaran pembagian dan perkalian. Baru di kelas 3 dan 4, anak diajari kombinasi penambahan dan pengurangan serta pembagian dan perkalian. Pelajaran berhitung dengan format teks baru diajari di kelas 5 dan 6.Pelajaran Ilmu Bumi (ingat lho … istilahnya ilmu bumi, bukan geografi) baru mulai diajari di kelas 3, lalu bertambah dengan ilmu hayat di kelas 4. Sederhana sekali ya. Nggak ada tuh yang namanya PPKn, IPS, IPA, PLKJ dan lain-lain. Paling ditambah dengan pelajaran Budi Pekerti mulai di kelas 3, yang berupa cerita-cerita keteladanan.
Lalu, bagaimana dengan ulangannya? Biasanya setiap selesai mengajarkan satu topik, katakanlah penambahan 1 hingga 10, keesokan harinya akan ada ulangan dalam bentuk mencongak. Guru menyebutkan operasi penambahannya, misalnya saja 1+1, lalu murid tinggal menulis jawabnya di kertas. Kalau pelajaran bahasa, biasanya dalam bentuk dikte. Guru membaca teks 1 atau 2 kali, lalu murid menuliskan apa yang didengarnya.
Sederhana sekali. Tidak ada minggu ulangan umum entah apa yang dinamakan mid tes ehb dan lain-lain yang mencekam anak. Dengan demikian, anak sekolah jaman dulu tidak ada yang stress.
Sekolah betul-betul menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Tempat yang dirindukan. Apalagi, jaman itu, kendaraan masih langka, jadi jalanpun masih sepi, pepohonan masih rimbun. Udara lebih sejuk tak berpolusi. Dengan suasana dan materi pengajaran yang sangat sederhana tersebut, apakan anak-anak jaman dulu kurang intelek? Yang pasti, pada umumnya anak-anak jaman dulu sangat suka membaca buku pelajaran bahasaku ditambah dengan majalah si Kuncung.
Masih teringat ada satu teks dalam buku bacaan bahasaku …:
“Aduh mak…, perutku sakit…
”“Mari nak…. Kutolong pijit… dst …
(maaf lupa terusan teks nya)
Atau satu lagu yang juga tercantum dalam buku tersebut…
“Kupu-kupu yang lucu….
Kemana engkau terbang
Hilir mudik mencari
Bunga-bunga yang kembang
Berayun-ayun pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu,
Merasa lelah… dst
Ah, tentu anak-anak jaman sekarang akan berpikir Jadoel banget. Ini bukan soal jadoel atau modern. Tapi tentang bagaimana menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi anak-anak sekolah terutama anak-anak SD di kelas-kelas awal. Karena sekolah sekarang tidak lagi menawarkan system belajar yang nyaman bagi anak. Sekolah sudah menjadi monster yang merenggut keceriaan anak.
Tidak mengherankan bila sekarang ini, di Singapore, Jepang dan bahkan di Indonesia, anak SD pun sudah mengenal upaya “BUNUH DIRI” karena tidak kuat menahan beban. Apapun bentuk beban yang mereka tanggungkan.
ttg sekolah yg berubah menjadi institusi yang mengungkung anak-anak, bagaimana komunikasi antara orang tua dan gurunya ya? orang tua yang peduli seharusnya bergerak untuk mengubah keadaan. guru yang masih mau berpikir seharusnya terbuka terhadap masukan dan berani mengganti pola pengajaran. makasih ceritanya, Mbak Lina!
BalasHapusteorinya begitu, tapi pada kenyataannya, orangtua bahkan banyak yang "menekan" sekolah dan guru untuk mengikuti "maunya" mereka supaya anak2 diberi pelajaran yang "canggih" supaya nggak kalah bersaing.
BalasHapusSepertinya anak jadi "pelampiasan" ambisi orangtua
ah ya, saya lupa bahwa masih saja ada orang tua yang seperti itu. dan saya menyadari bahwa sekolah yang membebaskan anak dengan pola pengajaran yang tidak konvensional biasanya ber-SPP mahal. tetapi pengembangan komunitas, termasuk meningkatkan kualitas pendidikan anak, bisa dimulai kapan saja, tidak harus saling menunggu.
BalasHapuso..begitu ya mb..pendidikan di tnh air skrg.Mungkin ortunya bnyk berpikir untuk mempersiapkan diri anak menghadapi pasar bebas,jd hrs siap bertarung.
BalasHapusanak saya kelas 1 sd di Jepang.........pelajarannya hanya berhitung dan belajar bahasa, sesekali musik.............
BalasHapusmemang banyak ortu yang menjadikan anak2 mereka sasaran pelampiasan ambisi. anak2 hrs ikut berbagai kursus, kata mereka "hari gini kalo santai2 nanti besar mau jadi apa...." mereka sedang mempersiapkan anak mereka menjadi "robot"
BalasHapusPikirannya memang begitu, tapi kasihan anak2. Stress berat .... Padahal keberhasilan di masa depan kan nggak semata-mata ditentukan oleh nilai akademis. Ada banyak faktor lainnya seperti kemampuaan bersosialisasi, networking, kreatifitas dll
BalasHapuswah, seperti saya di tahun 60an ya.... Hasil akhirnya, Jepang jadi negara maju, kan?
BalasHapusparanoid ya....
BalasHapusMemang kita perlu mempersiapkan anak-anak dengan baik, tapi juga mesti jaga keseimbangan supaya si anak nggak stress dan masih bisa "menikmati dunia"
ya dan mesti ada sinergi yang baik dan kesamaan visi antara ortu dan sekolah. kalo nggak, nggak akan jalan.
BalasHapus