Minggu, 16 November 2008

Ayo, kembali ke pasar tradisional

Seperti layaknya masyarakat kota besar, sejak awal menikah saya tidak pernah menginjakkan kaki ke pasar tradisional di Indonesia. Saat masih kuliah dulu dan tinggal di Slipi, saya masih suka ikut ke pasar tradisional di Grogol. Kemudian saat tinggal di Kampung Ambon Jakarta Timur, saya selalu belanja ke pasar, yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah. Kebetulan pasar tradisional itu kondisinya lumayan bersih.

Selama 4 tahun tinggal di Eropa, saya selalu belanja di pasar tradisional atau pasar kaget di plasa/tempat parkir linkungan yang bersih dan teratur. Minimal setiap hari minggu, lalu masak-masak bikin gado2 atau soto ayam, mengundang bujangan-bujangan yang tentunya jarang makan masakan indonesia.

Kembali ke Indonesia, belanja ke pasar dilakukan oleh ibu saya, karena selama 4 tahun saya tinggal dengan ibu sambil mengumpulkan uang pembayar uang muka rumah.

Saat tinggal di Kemang Pratama, selama 12 tahun saya lebih sering belanja di tukang sayur, setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, atau menitipkan uang kepada pembantu. Satu minggu sekali saya ke pasar swalayan, saat itu ada Goro yang letaknya tidak jauh dari Kemang Pratama, untuk belanja ikan dan daging. Jadi praktis tidak lagi menginjakkan kaki ke pasar tradisional.

Tahun 2000 saat saya kembali tinggal serumah dengan ibu, saya tidak juga kembali ke pasar tradisional. Malas..... Kondisi pasar yang becek dan bau sampah menghilangkan keinginan saya untuk belanja ke sana. Apalagi ibu saya masih cukup kuat untuk belanja ke pasar. Tugas saya paling hanya beli keperluan "kering" di Makro atau Carrefour. Lebih menyenangkan karena bisa dilakukan kapan saja dan yang penting bisa dilakukan bersama dengan anak dan suami. Usai belanja bisa nongkrong di food court sambil ngobrol. Belanja jadi acara keluarga.

Masalah timbul saat ibu saya sering jatuh sehingga membahayakan bila beliau harus ke pasar dan naik tangga. Mau tidak mau, saya harus belanja ke pasar. Warung sayur dekat rumah tidak selalu lengkap isinya. Kalau harus ke Carrefour, tidak selamanya saya punya waktu usai pulang kantor, karena seringkali baru tiba di rumah sesudah jam 20.00. Jadi pilhannya mau tidak mau, pasar tradisional di Pondok Labu dengan gunungan sampah yang baunya minta ampun, lengkap dengan lalat hijau yang besarnya juga minta ampun.

Untuk menyiasatinya, saya berbagi dengan pembantu. Saya membeli sayur-mayur, telur dan lain-lain di kios langganan ibu saya, di pasar atas istilah yang digunakan untuk gedung pasar Jaya. Lalu membeli buah-buahan di pinggir jalan. Sedangkan pembantu saya membeli ayam potong (segar), bumbu-bumbu dan lainnya di pasar bawah, kios yang becek dan baunya minta ampun itu. Biasanya sambil menunggu pembantu, saya membeli majalah atau tabloid
dan membacanya di tempat parkir.

Lalu mulailah ada permintaan dari ibu untuk membeli kue-kue kecil, semisal cenil, lupis atau lapek bugis. Setiap minggu, para penjual langganan itu selalu menghampiri saya dan mengingatkan .... "Bu... jangan lupa lupis/cenilnya... Biasa kan...? Maksudnya biasa jumlah bungkusannya, yaitu 5 buah seharga total 10 ribu.

Atau... si loper koran dan majalah, langsung menghadang saya di tempat parkir dan menaruh 3 sampai 5 buah tabloid untuk dipilih. Lalu pergi lagi menjajakan dagangannya. Sepertinya dia sudah yakin sekali bahwa saya memang akan membeli.

Sungguh, awalnya, saya merasa jengkel dan terganggu dengan ulah mereka. Saya merasa di fait accompli untuk membeli. Pernah sekali saya menolak dengan tegas tawaran mereka. Tapi melihat wajah dan sorot matanya yang menyiratkan kekecewaan.. Ah saya merasa sangat berdosa. Memang, akhirnya saya jadi menambah alokasi belanja rutin dengan hal yang tidak terlalu perlu, yaitu pembeli kue2 tradisional dan tabloid. Nilainya memang sangat relatif, tapi dari keuntungan itulah, penjual/pedagang kecil itu menyambung hidup. Akhirnya ... saya hanya bisa berharap, semoga niat saya membeli dagangan mereka bisa membantu mereka dan Insya Allah, "keborosan" saya tidak membuat saya menjadi miskin.

Dari interaksi rutin tersebut, menjelang lebaran saya mendapat bingkisan kue kampung dari penjual langganan tersebut. Rasanya terharu, dalam kekurangannya mereka masih berpikir untuk menyenangkan para pelanggannya.

11 komentar:

  1. betul2x buat cermin untuk org2x yg kikir...
    disini juga ada mb Lina pasar tradisional,namanya"Flea market &farmer market" ,sy jg sng kesana cuma agak jauh letaknya

    BalasHapus
  2. Iya, orang2 kecil itu ternyata lebih ikhlas dalam menjalani hidup
    Rejeki sedikit langsung dibagi-bagi, tanpa itung2an

    BalasHapus
  3. Palmeriam.... pasar tradisional langganannya orang2 Matraman ..
    (kak Desi juga tuh berarti).. pasar tradisional yg letaknya ditengah2 ibukota ini juga sama kondisinya seperti gambaran pasar tradisional umunya.

    Namun saat ini pasar tsb baru saja direnovasi, menjadi pasar semi modern, 3 lantai. semoga gambaran becek, kotor dan kumuh nya hilang

    ohiya ... postingan ini jadi mengingatkan saya saat dahulu diajak ibu ke pasar palmeriam, dengan segala kenangannya, dan juga kenangan saat mendekati lebaran diberikan kue kaleng KG oleh penjual sembako langganan ibu saya dan juga bingkisan lebaran oleh penjual bumbu2 masakan...

    "org2 kecil tersebut sungguh mengajarkan arti berbagi ya??"

    BalasHapus
  4. Dulu, sampai tahun 1965 (saya di kelas 4 SD), setiap pagi, karena saya sekolah siang di SD Muhammadiyah jl. KH Ahmad Dahlan dan tinggal di Kayumanis, sebelah pabrik permen dan sekarang jadi kantor kelurahan Kayumanis, saya disuruh ibu saya belanja harian dulu ke pasar. Ya pasar Pal Meriam itu. Wah... sayang saya sudah nggak bisa lagi menggambarkan wajah pasar Pal Meriam di tahun1965 itu

    BalasHapus
  5. setuju, Mbak Lina. saya juga selalu berusaha berbelanja di farmers market atau toko kecil. supermarket pilihan kedua, Wal Mart dan sejenisnya pilihan terakhir. bayangkan kalau semua orang pergi ke Wal Mart untuk berbelanja, toko2 kecil mati, lalu para pemiliknya terpaksa bekerja di Wal Mart untuk menyambung hidup. ironis.

    BalasHapus
  6. Ini yang mulai terjadi di Indonesia, karena pemerintah kurang membatasi expansi nya Carrefour

    BalasHapus
  7. ...membuat saya bertanya-tanya apakah masih ada orang pemerintahan yang peduli akan hal ini.

    BalasHapus
  8. Kita cuma bisa berdoa, semoga Allah membuka pintu hati para pembuat kebijakan publik untuk memikirkan masa depan bangsa dan negara

    BalasHapus
  9. kalau membuka pintu hati betul2 bisa dilakukan lewat studi banding ke luar negeri seperti yang beberapa kali dilakukan para pejabat itu, saya menanti-nanti aksi dan perubahannya.

    BalasHapus
  10. Ternyata, study banding tidak mampu membuka pintu hati pejabat publik. Mereka tidak melakukan STUDY BANDING yang konon artinya mempelajari, membandingkan masalah, mengkajinya dan kemudian menerapkan. Yang mereka lakukan adalah jalan-jalan, shopping. Study banding cuma kamuflase aja dan ini sudah jadi rahasia umum

    BalasHapus
  11. itulah masalahnya :( kalau berpikiran baik, studi banding memang perlu untuk membukakan mata dan pikiran. sekarang kata "studi banding" sudah identik dengan jalan2 dan berbelanja di luar negeri karena kelakuan mereka. saya ingin tahu seperti apa laporan studi banding para pejabat itu, kalau pernah ada...

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...