Minggu, 28 Desember 2008

Bandung, ketika liburan tiba

Libur akhir tahun tiba. Penduduk Jakarta, kemana lagi berlibur kalo bukan ke Bandung? Jaraknya nggak terlalu jauh, hanya 2 jam via tol Cipularang. Apalagi buat kami yang tinggal tidak jauh dari JORR, wuah…. asyik deh … hanya + 1km dari tumah langsung masuk toll – keluar toll sudah sampe di Bandung.

Makanan dan jajanan di Bandung, asyik. Udaranya lumayan sejuk, walau Bandung sekarang tambah gersang seperti banyak kota-kota di Indonesia yang wawasan pimpinan daerahnya hanya berpikir bahwa pembangunan berarti membangun fisik kota tapi melupakan keseimbangan elemen perkotaannya lainnya.

Maka, jadilah kota-kota itu gersang. Pohon peneduh yang umurnya sudah lebih dari umur Negara ini karena umumnya ditanam oleh Belanda yang sangat peduli dengan keseimbangan lingkungan, habis ditebang demi yang namanya pembangunan kota.

Dan… jadilah kota di Indonesia tidak memiliki trottoir alias tempat pejalan kaki yang nyaman di bawah naungan dan keteduhan pohon. Tidak lagi memiliki selokan yang memadai dalam arti lebar, cukup dalam dan alirannya lancar.

Maka terjadilah perebutan secuil wilayah di pinggiran jalan yang gersang antara pengendara mobil yang tidak menemukan tempat parkir yang layak, sehingga harus memparkir mobilnya di badan jalan yang kosong dengan pejalan kali, pengendara motor yang selalu ingin cepat-cepat tiba di tempat tujuan, penunggu kendaraan umum yang tidak mempedulikan lokasi shelter pemberhentian serta para pedagang kaki lima yang memanfaatkan kerumunan manusia.

Maka …. segala macam buangan dari yang sopan (mana ada buangan yang sopan… hiks … hiks…), maksudnya kertas Koran, kertas pembungkus, kertas semen dan lain-lain ….. sampai dengan buangan air sisa pencuci sayur dan piring para pedagang kaki lima serta sampah sayur mayur busuk yang akhirnya menyebarkan aroma tak sedap.

Nah, kembali ke Bandung lagi ….. Kedatangan penduduk Jakarta untuk menghabiskan liburan tentu membawa segala dampak ikutannya. Di satu sisi, mereka membawa dampak positif. Ada pergerakan uang dari Jakarta ke Bandung. Semacam pemerataan pendapatan.

Penghasilan penduduk Jakarta dibawa ke Bandung dalam bentuk pengeluaran biaya penginapan, belanja-belanji di FO, Distro, tempat-tempat makanan dan oleh-oleh, tempat-tempat wisata di sekitar kawasan Bandung. Ada gairah ekonomi yang bertumbuh. Klop dengan kreatifitas orang Bandung.

Itu sebabnya, walau Brownies kukus Amanda banyak dijual di Jakarta, Soes Merdeka buka cabang di Jakarta begitu pula pisang molen Kartika Sari mudah ditemui atau bahkan sudah pula ada tiruannya, tapi outlet nya di Bandung tetap saja penuh pengunjung yang memborong untuk dibawa sebagai oleh-oleh pulang ke Jakarta.

Ke Bandung tanpa membawa kue-kue dari toko Bawean atau batagor kingsley, surabi enhai dan banyak lagi makanan yang sebetulnya mudah ditemui di Jakarta, tapi menjadi trade mark nya wisata kuliner Bandung. Belum pas. Rasanya kalau ke Bandung tidak mencicipi dan membawa oleh-oleh makanan …Itu positifnya.

Pagi ini Pikiran Rakyat, Koran tua dari Bandung memberitakan bahwa tingkat hunian hotel di Bandung pada liburan akhir tahun ini mencapai 100%. Kemarin, saat berwisata ke Kawah Putih, lahan parkir seluruh restoran di sepanjang jalan Ciwidey terlihat penuh terutama yang bertulisan boelh sambil petik strawberry.

Bahkan Kawah putih memberlakukan system buka tutup setiap 20 menit karena begitu padatnya pengunjung walau akibatnya terjadi antrian dan kemacetan luar biasa di mulut gerbang Kawah Putih. Jalan-jalan pusat belanja FO dan Distro sudah sangat macet dan tidak nyaman dilalui.

Begitu pula saat makan malam di resto Atmosphere di kawasan Cikawao, kami cukup kesulitan mendapatkan tempat yang nyaman dan relaxing. Nyaman dalam arti dapat tempat lesehan karena kalau makan di resto di Bandung yang sejuk,  sambil duduk di kursi, sedikit mengurangi kenyamanan tubuh 

Melihat kenyataan tersebut, sulit terbantahkan bahwa Bandung sudah menjadi kawasan wisata akhir pekan dan musim liburan bagi penduduk Jakarta yang paling mudah dan terjangkau.

Tapi lihat dampak negatifnya …. Memang, bukan tanpa alasan kalau penjajah Belanda menjuluki Bandung sebagai Parijs van Java. Paris di jantung Eropa memang kota yang udaranya cukup nyaman termasuk pada musim dingin, tentu bila dibandingkan dengan Belanda. .

Bandung di akhir tahun 60an hingga akhir 70an terkenal nyaman dan penuh bebungaan. Rumah - rumah besar dengan halaman luas dan asri tanpa pagar. Membingkai jalan raya yang sangat teduh menciptakan suasana kota yang akrab lingkungan dan akrab pula bertetangga. Wewangian bunga baik dari pohon peneduh jalan seperti Tanjung atau perdu kemuning harus mengelus indra penciuman saat menyusuri jalan pada malam hari yang sejuk.Rasanya romantis sekali.

Kawasan perumahan elite yang asri dan nyaman seperti di Jl. Dago, Jl. Cipaganti, Jl. Cihampelas, Jl Riau dan jalan–jalan di sekitarnya begitu nyaman, teduh dan asri. Atau jalan Pasteur dengan jejeran palem rajanya yang khas. Begitu juga juga wilayah yang kata Lita Koeswandi “Kawasan Bandung lama” seperti Jl. Braga, Jl. Suniaraja dan bahkan alun-alun Bandung. Kesemuanya sekarang sudah berubah sangat total.

Daerah yang tadinya asri, sejuk penuh dengan pepohonan sekarang sudah menjadi  daerah yang super duper muaaaceeettttt…. Pohon-pohon peneduh yang berumur ratusan tahun sudah menghilang dari tepi jalan. Rumah-rumah asri berhalaman luas telah berubah menjadi FO lalu distro. Trottoir yang dulu kala menjadi tempat duduk sambil menikmati suguhan bandrek/bajigur di jalan Braga, persis seperti di kawasan Champs Elysees Paris, seperti juga di jalan–jalan lainnya sudah berubah menjadi lahan parkir yang juga dipenuhi oleh pedagang kaki lima.

Mall demi Mall dibangun di Bandung tanpa memikirkan jangkauan area layanannya serta dampaknya pada pasar tradisional, sementara bagian pusat kota lama dibiarkan terlantar menjadi kumuh sesak dan gersang. Sementara jalan–jalannya dibiarkan berlubang. Palem Raja yang menjadi ciri khas jalan Pasteur telah berganti dengan jembatan layang pasopati yang angkuh, tidak bersahabat dan sangat tidak manusiawi.

Sepertinya, aliran uang yang menggerakkan roda perekonomian kota Bandung menguap tak berbekas. Tidak membuat pemerintah daerah kemudian memiliki pemasukan tambahan yang membuat mereka kemudian mampu membangun dan menata kota. Yang terlihat malah kebalikannya … pemerintah kota Bandung malah seolah tertimpa beban berat dan kewalahan memikulnya sehingga tidak mampu menata kotanya.

Padahal…. Di Bandung ada ITB dengan program study perencanaan kota, arsitektur, teknik lingkungan, planologi dan lain–lain yang tergabung di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Atau ada Arsitektur di Universitas Parahyangan yang sangat terkenal atau Universitas Pajajaran dan bahkan di sini pula pusatnya pendidikan para pamong praja.

Kelihatannya para pakar dari berbagai institusi pendidikan, yang notabene merupakan “para pendidik” para calon birokrat pemerintahan tersebut tidak bisa bersinergi dengan pemerintah daerah untuk memecahkan berbagai masalah sosial, ekonomi dan budaya perkotaan di Bandung yang sudah akut.

Masing-masing berjalan sendiri dengan visi dan misinya masing-masing. Yang satu, mungkin dianggap “keras kepala”, mentang-mentang tahu segala sehingga dianggap terlalu “idealis” dan mengada-ada, sementara yang lain sebagai “penguasa wilayah” yang menganggap diri “maha tahu” atas segala problematika daerahnya menjadi keminter tidak mau mendengar. Belum lagi kalau sudah bicara mengenai kepentingan politik atau uang….!!! Berraaattt …!!!

Akhirnya, masyarakat awam cuma tinggal berharap kapan tiba waktunya semua komponen bangsa ini melupakan kepentingan sesaat nya untuk mulai berpikir tentang bagaimana memajukan kehidupan rakyat untuk kemakmuran dan kesejahteraan kita semua. Mimpi, kali ye…???

2 komentar:

  1. Tulisan yg bagusss mb. Aku jg setuju. Begitulah org kalo orientasinya cuma uang. Baca bukunya John Perkins yg Confession of An Economic Hitman. Dia blg tdk akan ada masa depan buat cucu kita kalo tdk ada masa depan buat anak kita. Nah pembangunan (penghalusan dr kata exploitasi) yg tdk ramah lingkungan suatu saat kita sdr yg akan merasakan dampaknya. Miris bgt.

    BalasHapus
  2. Sebetulnya, akibat eksploitasi ini sudah banyak dirasa. Dari mulai banjir, longsor, kemarau panjang, hujan yang sangat besar disertai angin puting beliung....

    Tapi kita mungkin terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa semuanya merupakan peringatan Allah SWT

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...