La Semaine derniere, le professeur de langue francaise a CCF, nous a pose une question ..... La question est partagee en deux ... celle pour des etudiantes mariees (les meres ayant des enfants plus de 20 ans) et pour des etudiants celibataires.
Pertanyaannya hampir senada, yaitu …. Kalau seandainya kita memiliki uang yang cukup. Apakah saat akan menikah, uang tersebut akan digunakan dan dihabiskan untuk pesta pernikahan atau sebagian untuk pesta pernikahan sederhana dan sisanya untuk membeli rumah?
Di kelas saat itu hanya ada satu orang lelaki berumur 28 tahun dan kebetulan sedang mempersiapkan pernikahannya. Sedangkan yang lainnya adalah gadis-gadis berumur antara 25 – 30 tahun dan ada 4 orang ibu, termasuk saya, yang memiliki anak berumur di atas 20 tahun.
Hampir semua gadis-gadis tersebut menyatakan hanya menginginkan pesta sederhana di antara keluarga dan kawan dekat serta ingin menggunakan dana pernikahan dari orang tua, bila diijinkan, untuk membeli rumah saja. Pendapat ibu-ibu, terbagi dua, sama rata. Dua orang ibu menginginkan pesta mengingat banyaknya relasi yang harus diundang, walaupun mereka sadar bahwa pesta pernikahan di kalangan middle up di Jakarta yang paling sederhana saja, akan memakan biaya minimal 200 juta. Bahkan salah satu ibu menyatakan bahwa biaya konsumsi pernikahan di Hotel Mulia minimal 350 ribu per pax plus-plus (pajak-pajak sebesar 21%). Biaya ini belum termasuk additional booth.
Itu baru biaya makanan. Belum lagi bicara mengenai pakaian pengantin, cetak undangan, pakaian orang tua, para among-tamu. Biaya dekorasi pelaminan dan hiasan bunga. Souvenir sebagai ucapan terima kasih, perias pengantin dan banyak hal-hal lainnya.
Seorang teman yang menikah hampir setahun yang lalu, bercerita bahwa satu buah kebaya berpayet yang dijahit di penjahit yang juga bekerja di salah satu perancang busana terkenal di Jakarta, berharga paling murah enam belas juta rupiah. Padahal untuk pernikahannya, dia memerlukan 2 buah kebaya. Untuk akad nikah dan resepsi. Ini belum termasuk pakaian pengantin pria dan kain songketnya (dia berasal dari Tapanuli Utara). Songket sutera Palembang yang paling sederhana, paling murah, sekarang berharga kira-kira 3 juta rupiah.
Ipar saya, yang mengkhususkan diri dalam menerima pesanan dekorasi bunga untuk pernikahan, mengatakan bahwa dekorasi bunga yang paling sederhana dan hanya untuk di gedung resepsi saja, berharga minimal dua puluh juta rupiah. Padahal ... pesta besar yang diselenggarakan di hotel-hotel itu, mewah dan meriah dengan bunga yang khusus dibuat sesuai dengan thema dan permintaan sang pengantin. Ada yang meminta khusus anggrek bulan putih saja. Atau bunga lily dan anyelir saja. Bahkan ada yang khusus meminta dihias dengan mawar hijau atau mawar ungu yang eksklusif. Duh ... padahal, seusai pesta, bunga-bungaan segar yang serba indah dan eksklusif itu hanya akan masuk tong sampah .... Alangkah mubazirnya ....
Bentuk undanganpun tidak bisa dianggap enteng. Dari yang sangat sederhana hingga sangat mewah yang tersimpan dalam kotak mewah dan eksklusif. Selain itu, sudah umum sekarang bahwa pasangan calon pengantin juga mempersiapkan satu seri pre-wedding photograph yang akan menghiasi undangan serta ruang pesta. Ini juga memerlukan persiapan dan biaya yang tidak sedikit.
Mengapa harus mengadakan pesta besar?
Orang Minang, menyebut pesta pernikahan sebagai “Baralek Gadang”. Artinya… kira-kira, berpesta besar. Jadi pesta besar mungkin sudah jadi budaya Indonesia.
30 tahun yang lalu, para orang tua selalu “memaksakan” diri untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan bagi anak-anaknya. Mereka takut, kalau anak-anaknya menikah secara diam-diam - tanpa pesta, akan muncul gunjingan-gunjingan bahwa pasangan tersebut menikah karena “kecelakaan”. Sekarang .. keadaannya berbeda. Orangtua dari perempuan yang sedang hamil muda, bahkan tidak segan menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya.
Teman kursus, lelaki yang sedang menyiapkan pesta pernikahannya tersebut mengatakan bahwa dia menyetujui untuk menyelenggarakan pesta besar karena seluruh keluarga besarnya yang berasal dari Sumatera Selatan itu menginginkannya. Alasannya karena dia, anak pertama lelaki dari keluarganya. Bapaknya juga anak lelaki pertama di keluarganya. Dia juga merupakan anak lelaki pertama dari seluruh anggota keluarga besarnya yang menikah. Jadi karena ini adalah pesta pernikahan pertama di keluarga besar, maka seluruh anggota keluarga menginginkan agar pernikahannya diselenggarakan dengan baik dan meriah. Entah siapa yang harus menanggung biaya pernikahan tersebut. Sebagai anak yang baik, dia patuh mengikuti keinginan keluarga besarnya tersebut. Atau mungkin sebetulnya, dia juga menginginkan pesta meriah tersebut.
Adik saya, yang memiliki anak lelaki berumur 25 tahun lulusan fakultas psikologi di salah satu universitas negeri sudah mulai berhitung-hitung mengenai jumlah “undangan” wajibnya kelak. Yaitu orang-orang yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Itupun belum termasuk daftar undangan dari suaminya. Mungkin juga dia sudah mulai berhitung, biaya yang harus disiapkannya kelak.
Menyelenggarakan pesta pernikahan secara besar-besaran bagi anak-anaknya, merupakan pola pikir sebagian besar keluarga Indonesia. Bulan-bulan menjelang Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah merupakan bulan baik untuk menyelenggarakan pernikahan. Bayangkan, pada bulan-bulan baik tersebut, setiap minggu kami menerima undangan. Bukan hanya satu, tetapi dua bahkan tiga buah undangan sekaligus. Jadi, kami sendiri harus pandai memilah mana yang “wajib” dihadiri, mana yang dapat diabaikan. Kondisi jalan di Jakarta yang sarat dengan kemacetan memyebabkan acara pesta pernikahan menjadi beban tersendiri. Terkadang, kami harus berjibaku dengan kemacetan, menempuh perjalanan minimal 45 menit, bahkan hingga 90 menit untuk mencapai gedung resepsi. Belum hilang kelelahan selama perjalanan, kami masih harus antri hanya untuk memberikan ucapan selamat yang hanya memakan waktu tidak lebih dari 5 menit saja. Ini tentu bukan pengalaman yang menyenangkan, apalagi bila pesta pernikahan diselenggarakan pada hari kerja.
Bagaimana mempersiapkan biaya pernikahan?
Pada masyarakat pedesaan atau perkampungan, pesta pernikahan anak, merupakan tanggung jawab keluarga besar atau kaum kerabat secara bergotong royong. Paman-bibi dari calon pengantin, bahkan hingga kerabat sekampung atau satu marga, masing-masing bergotong royong membiayai pernikahan calon pengantin. Entah apakah kebiasaan ini juga masih terjadi pada masyarakat perkotaan yang lebih individualistis.
Menarik sekali dicermati, bahwa pesta meriah yang menelan biaya ratusan juta rupiah, tidak hanya diselenggarakan oleh kalangan pengusaha atau kalangan yang bekerja di sektor swasta yang dikenal bergaji besar. Tetapi juga mampu diselenggarakan oleh pegawai negeri yang setiap saat selalu mengeluh akan besaran gaji yang “hanya cukup untuk makan seminggu”. Mereka bahkan mampu menyelenggarakan pesta pernikahan anak-anak mereka di gedung-gedung “berkelas”, sebut saja semisal Balai Kartini, Panti Sudirman, Gedung Departemen Keuangan atau Manggala Wanabakti. Bahkan hingga di hotel-hotel berbintang 5 sekalipun.
Seorang kenalan suami bercerita, bahwa untuk menyelenggarakan pernikahan anak gadis tunggalnya, dia terpaksa “berhutang”, karena dana simpanannya ternyata tidak mencukupi untuk menyelenggarakan pesta seperti yang diinginkannya. Menarik untuk dipertanyakan; bila memang tidak mampu, mengapa harus menyelenggarakan pesta mewah? Mengapa tidak menyelenggarakannya secara sederhana saja?
Jawabannya sebetulnya sangat sederhana .... Anaknya hanya satu. Itu akan merupakan satu-satunya pesta yang diselenggarakannya. Jadi dia ingin segalanya serba sempurna. Snobisme? Entahlah ... setiap orang punya hak untuk melakukan apa saja sesuai dengan kemampuan dan kemauannya.
Apakah menikahkan anak tanpa menyelenggarakan resepsi merupakan suatu kehinaan? Sesuatu yang mencoreng nama baik keluarga? Bukankah lebih baik menyelenggarakan pernikahan secara sederhana daripada terbelit hutang karenanya? Entahlah ... Yang pasti, sampai detik ini, saya baru mengalami satu kali saja ... seorang teman kuliah dulu, menikah dan memberitahukan pernikahannya melalui sepucuk kartupos. Padahal ... pernikahan tersebut dilaksanakan hampir 30 tahun yang lalu, kala pernikahan diam-diam masih sarat dengan tudingan miring dari masyarakat. Dan saya yakin, teman saya tersebut menikah secara baik-baik, bukan dilatarbelakangi oleh suatu “kecelakaan”.
Semoga saja ... niat baik melepas anak mengarungi bahtera perkawinan diselenggarakan juga dengan cara yang baik dan halal. Baik dalam tata cara dan halal asal-usul biayanya, agar berkah Allah SWT menyertai perjalanan pasangan baru tersebut.
Wallahu alam.
Lebak-bulus 6 agustus 2006 jam 22.25
reedited 7 Januari 2012 jam 04.00
Yang paling layak dicintai adalah cinta itu sendiri dan.. Yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri #BadiuzzamanSaidNursi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺
Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa Mensholatkan kita... Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...
-
3/5 Berusaha dan terus berusaha. Hari itu, adalah hari ke 14 menstruasi ... Masih sederas hari pertama dan tidak ada tanda-tanda mereda...
-
Sebelum tulisan ini dilanjutkan, saya perlu meminta maaf terlebih dulu pada mereka yang berprofesi sebagai supir pribadi. Sungguh, tidak ...
-
Hari ini, Sabtu 18 Agustus 2007, majelis rumpi dibuka kembali. Mestinya classe conversation dimulai Sabtu tanggal 11. tapi karena hari sa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar